Bagikan:

JAKARTA - Conservatory of Music UPH menggelar simposium dengan tajuk UPH Music Education X Music Therapy National Symposium pada 1-2 Desember.

Simposium ini menghadirkan beberapa pembicara dari dalam dan luar negeri. Mereka membahas berbagai tema menyangkut edukasi musik dan terapi musik.

Kezia Karnila Putri selaku dosen Conservatory of Music UPH sekaligus penyelenggara menyatakan bahwa simposium ini digelar untuk memberikan wawasan lebih untuk para mahasiswa, namun juga tidak tertutup untuk masyarakat umum.

Khususnya terapi musik, masih banyak orang yang belum mengenal istilah tersebut. Padahal, praktiknya sudah cukup lama berlangsung, terutama di Eropa dan Amerika Serikat.

“Terapi musik pada dasarnya penggunaan kegiatan-kegiatan musik baik itu berupa kegiatan pasif maupun kegiatan aktif, tapi untuk mencapai tujuan non-musikal seperti kebutuhan fisik, psikis, kebutuhan kognitif, kebutuhan bicara, dan lainnya,” kata Kezia saat ditemui usai simposium hari pertama.

Dalam pembelajaran terapi musik di perkuliahan, dipelajari berbagai hal, mulai dari teori hingga praktik lapangan.

“Jadi kita belajar sejarahnya terapi musik, pendekatannya terapi musik. Terus ada mata kuliah Teknik Terapi Musik, di mana kita belajar teknik-teknik terapi musik seperti Neurologic Music Therapy, ada Clinical Improvisation, ada Therapy Songwriting,” tutur Kezia.

“Nah, dari kelas teknik itu biasanya di tahun ketiga dan keempat itu ada empat semester dimana mahasiswa melakukan praktikum lapangan. Praktikum lapangan itu macam-macam, karena terapi musik itu luas tempat kerjanya, bisa di sekolah luar biasa, sekolah inklusi, sekolah mainstream atau di rumah sakit,” lanjutnya.

Sebagai pengajar di bidang musik terapi, Kezia berharap musik terapi bisa lebih dikenal masyarakat Indonesia. Dibandingkan dengan negara yang sudah lebih dulu mempraktikkan musik terapi, ia berharap pengembangan dan praktisi musik terapi di Tanah Air semakin banyak dan berkembanh.

“Yang pasti sih kita (Indonesia) secara SDM jauh lebih sedikit. Kalau di luar negeri tuh udah banyak banget SDM-nya, jadi advokasi untuk kerja lapangan musik terapi itu lebih luas dan lebih tinggi di sana. Kalau misalnya pekerjanya atau prakteknya di lapangan aja kita masih jarang lihat, bagaimana orang mau tahu terapi musik,” ujar Kezia.

“Jadi, itu yang sedang kita perjuangkan, kita berupaya membuat program pendidikan terapi musik bukan cuma pelatihan secara konvensional di universitas seperti ini, tapi juga sedang mengembangkam program yang menambah manusianya di lapangan dengan cara program pelatihan yang sifatnya hybrid,” lanjutnya.