JAKARTA - Berdasarkan sejarah, hiburan film masuk ke Hindia-Belanda pada akhir 1900. Kala itu, kehadiran film dalam negeri harus bersaing dengan hiburan lain, seperti tonil Eropa, tonil Melayu, sandiwara, serta pementasan wayang. Alhasil, hiburan film belum begitu digemari karena kebanyakan hanya berbentuk dokumenter yang cenderung kurang digemari kala itu.
Lantas, ketika film bercerita mulai menginvasi Indonesia dengan aktor dan cerita yang apik, keadaan mulai berubah. Di Jakarta, bioskop Metropole –yang biasa dikenal Megaria— jadi bukti bahwa hiburan film mulai sejajar dengan hiburan lainnya. Menariknya lagi, Metropole kini telah menjadi bioskop tertua yang masih bertahan di rimba Ibu Kota.
Meski bukan bioskop pertama di Jakarta, kehadiran Metropole yang dibangun 11 Agustus 1949 dan selesai pada 1951, terhitung istimewa. Salah satu yang membuat menarik adalah bangunan bioskop bernuansa art deco, yakni gaya bangunan yang berkembang setelah Perang Dunia II. Ciri utama gaya art deco adalah bangunan memiliki gaya kubisme, futuristik, geometris, dan bermenara.
Banyak orang mengira Metropole merupakan hasil rancangan arsitek Belanda, Johannes Martinus (Han) Groenewegen. Nyatanya, menurut sejumlah catatan sejarah, perancang bangunan Metropole adalah Liauw Goan Seng.
Metropole sempat mendapat gelar sebagai bioskop ternyaman pada masanya. Tercatat, 1.446 penonton dapat ditampung dalam bioskop. Tambah menarik lagi, bioskop juga dilengkapi dengan blower dan exhaust yang menambah daya tarik orang-orang untuk datang. Pada lantai atas bangunan terdapat pula ruang dansa. Sementara, di samping kanan bioskop dipenuhi toko-toko tekstil.
Tak heran, pada hari peresmiannya, sejumlah tamu besar ikut hadir. Beberapa di antara adalah Rahmi Rachim, istri Wakil Presiden Mohammad Hatta; Sultan Hamengkubuwono IX; hingga Haji Agus Salim. Film yang pertama kali diputar pun tak kalah istimewa karena menghadirkan film produksi Metro Goldwyn Mayer (MGM) karya George Sidney, Annie Get Your Gun (1950).
Selanjutnya, Metropole hanya memutar film-film luar negeri produksi MGM yang terkenal banyak memproduksi film-film kolosal, seperti Ben Hur (1959) hingga Cleopatra (1963). Oleh sebab itu, film-film masih dominasi oleh film luar negeri. Kondisi itu tak cuma berlangsung di Metropole. Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia Volume 2 (2009), menjelaskan, dari enam ratus bioskop di Indonesia, film-film dalam negeri hanya mendapat porsi 15 persen dari total film yang tayang.
“Peredaran praktis dikuasai oleh film Amerika dan produser Indonesia jangan berkhayal gampang memperoleh masa tayangan di bioskop-bioskop kelas satu. Cuma film PT. Perfini, Krisis (1953) yang berhasil diputar di bioskop Metropole, Jakarta berkat kualitasnya yang bagus dan daya tariknya yang kuat terhadap penonton. Pengusaha-pengusaha bioskop lebih memprioritaskan film Amerika ketimbang film Indonesia,” ungkap Rosihan Anwar.
Kesohornya Metropole
Nama Metropole tak lama berubah jadi Megaria. Euforia revolusi membuat semangat nasionalisme bangsa Indonesia meninggi. Karena itu, nama-nama asing mulai diganti dengan nama yang memiliki frasa terasa lokal.
Dikutip dari tulisan Dwi Wiyana di Majalah Tempo berjudul Megaria, Bukan Sekedar Kenangan (2007), pada masa gemilangnya di tahun 1950-1980-an, Megaria telah jadi bagian dari gaya hidup urban anak Jakarta. “Kelas menengah atas Jakarta menonton film legendaris War and Peace karya Leo Tolstoy," tertulis.
"Atau yang klasik, Gone with the Wind di Metropole. Aksi si blonde Marilyn Monroe atau Robert Mitchum yang gagah juga bisa dinikmati di gedung bioskop bergaya art deco dengan kapasitas 1.500 tempat duduk itu."
Megaria bukan sekadar tempat nonton bioskop. Mereka yang menonton juga dapat berjumpa dengan selebriti idola dan tokoh politik di Megaria. Sebut saja nama-nama yang kerap muncul, seperti Citra Dewi atau Rima Melati bahkan para menteri.
Siapapun yang pernah berkunjung ke Megaria pada masa itu niscaya akan dialiri sebuah kebanggan. Terutama, bagi mereka yang pernah mencoba menonton film di kelas loge. “Loge adalah kelas satu, dengan harga karcis saat matinee show --pertunjukan murah Sabtu siang— Rp4 per orang atau setara dengan Rp15 ribu pada zaman sekarang.”
Meski begitu, kejayaan Megaria sempat redup saat memasuki awal 1980-an. Megaria yang semula jadi tempat hiburan favorit warga Jakarta terancam kalah saing. Jumlah bioskop meningkat pesat dalam jumlah fantastis mencapai 162. Selain itu, maraknya acara televisi, penyewaan video --baik asli maupun bajakan— semakin membuat Megaria kewalahan. Untungnya, Megaria dapat melewati itu dengan rata-rata jumlah penonton 30 persen dari kepasitas total kursi.
Di tahun 2007, tersiar kabar bahwa bioskop Megaria yang berusia lebih dari setengah abad ingin dijual pada situs jual-beli properti. Berbagai penawaran sempat berdatangan. Ada yang ingin membangun jalan hingga yang ingin membuat pusat perbelanjaan. Banyak kalangan khawatir kisah Megaria berakhir sampai sana.
Beruntung, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta menegaskan tak akan membiarkan pembongkaran gedung terjadi. Kalaupun pemilik baru akan mengubah penggunaan bangunan itu atau membangun kawasan sekitarnya, ia harus mendapat izin dari Tim Sidang Pemugaran Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta.
Kiranya, itulah pasang surut dari bioskop yang sudah mengisi kebahagiaan dari banyak warga Jakarta. Uniknya, Megaria hingga kini masih tetap mengibur warga Jakarta. Namun, nama Megaria sudah berganti kembali menjadi Metropole 21. Tambahan angka 21 mengisyarakatkan bahwa bioskop ini telah dikelola oleh jaringan 21 Cineplex pada 1986. Lalu, berubah kembali menjadi Metropole XXI.