Bagikan:

JAKARTA - Banyak pemimpin sebuah kerajaan yang mengaku sosoknya sebagai dewa yang pantas disembah. Aleksander Agung, misalnya. Ia mengaku titisan dewa hingga tak memberi wasiat untuk penggantinya kelak. Ia merasa tak ada yang pantas menggantikannya. Kita juga mengetahui Firaun. Ia mengaku sebagai Tuhan yang patut disembah rakyatnya. Kerajaan Hindu di Indonesia pun memiliki sosok yang mirip. Dia adalah Kertajaya.

Sri Maharaja Kertajaya atau Raja Kertajaya, raja terakhir dari Kerajaan Kediri yang memerintah sejak 1194-1222. Pada akhir pemerintahannya, Kertajaya dikalahkan Ken Arok dari Tumapel atau Singasari. Kekalahan itu menandai berakhirnya masa Kerajaan Kediri.

Mengenai berdirinya Kerajaan Kediri. Pada awal berdiri, perang saudara membuat Kediri tidak stabil sehingga tidak diketahui perkembangannya. Lalu, Kerajaan Kediri kembali muncul dalam sejarah pada 1117. Saat itu Kediri berdiri di bawah kepemimpinan Sri Bameswara yang kemudian digantikan Jayabaya, yang mana mengalami masa kejayaan.

Melansir Historia, Selasa, 30 Juni 2020, Kertajaya diketahui menjadi raja terakhir Kediri dan salah satu raja terkejam dalam sejarah. Selain memimpin dengan kejam, ia dikenal kurang bijaksana. Kertajaya kerap mengaku dirinya sebagai dewa, yang mana membuatnya membenarkan segala tindakan kejam yang dilakukan.

Pada satu waktu, Kertajaya membuktikan dirinya adalah dewa dengan duduk di atas tombak tanpa terluka sedikit pun. Kertajaya memaksa para brahmana dan rakyat untuk menyembahnya, sesumbar mengatakan hanya Dewa Syiwalah yang mampu menaklukkannya.

Kertajaya tak segan menyiksa para Brahmana yang menolak menyembahnya. Penyiksaan akan dihentikan jika mereka mengakui sifat dewa Kertajaya. Jika tidak, mereka akan terus disiksa hingga meregang nyawa.

Keruntuhan

Merasa tindakan raja di luar nalar, para Brahmana kabur dari Kerajaan Kediri. Mereka juga mendakwahkan kesesatan Kertajaya pada setiap orang yang ditemui di perjalanan. Para Brahmana akhirnya pergi ke Tumapel dan meminta bantuan akuwu (bupati) yang saat itu dijabat oleh Ken Arok.

Dibantu Ken Arok, para Brahmana merencanakan pemberontakan terhadap Kertajaya. Brahmana juga memengaruhi rakyat untuk bersama Ken Arok menumbangkan Kertajaya. Saat itu Ken Arok juga ingin memerdekakan Tumapel dari kekuasaan Kediri.

“Para Brahmana yang berpengaruh lari ke timur untuk beraliansi dengan Ken Arok, perebut takhta dari Janggala,” tulis Ann R. Kinney dalam Worshipping Siva and Buddha: The Temple Art of East Java.

Mengetahui serangan yang direncanakan Tumapel, Raja Kertajaya mengirimkan pasukan. Namun, atas dukungan Brahmana dan rakyat, Tumapel berhasil melumpuhkan pasukan Kertajaya. Tumapel bahkan mengirim serangan balik ke Ibu Kota Kerajaan Kediri. Lewat serangan itu, Tumapel berhasil menguasai seluruh Ibu Kota Kerajaan Kediri. Ken Arok diketahui berhasil membunuh Kertajaya. Kerajaan Kediri pun runtuh.

Otomatis, seluruh Kerajaan Kediri jatuh ke tangan Tumapel. Ken Arok lalu mengubah Tumapel menjadi Kerajaan Singasari. Sementara, Kertajaya yang memimpin dengan kecongakan harus terguling akibat kecongakan itu sendiri.