JAKARTA - Pada 15 April 1996, sebuah insiden penembakan terjadi di Timika, Irian Jaya, yang hari ini disebut Papua. Penembakan menewaskan 16 orang, termasuk tiga perwira Kopassus, delapan perwira ABRI, dan lima warga sipil. Pelaku penembakannya, Letda Sanurip, seorang anggota Kopassus.
Penembakan terjadi di Bandara Timika. Salah satu korban penembakan itu adalah pilot Airfast, Michael Findlay dari Selandia Baru. Selain yang terpapar di atas, penembakan itu juga melukai sebelas orang lain.
Dilaporkan ada 52 butir peluru yang ditembakkan dari senapan Sanurip kepada para korban. Sanurip mendapat tembakan balasan dari prajurit lain di lokasi.
Sanurip lumpuh dengan tembakan di bagian kaki. Kepala Pusat Penerangan ABRI Brigadir Jenderal Amir Syarifudin saat itu menceritakan peristiwa berawal ketika Sanurip bangun pagi hari di dalam hanggar.
Setelah bangun, Sanurip sempat membuat kegaduhan, membuatnya ditegur oleh rekannya. Tak terima. Teguran itu berujung dengan pemberondongan peluru senapan yang dibawa Sanurip ke arah rekan-rekannya.
“Setelah menembaki rekan-rekannya, dia berlari keluar dari hanggar dan menembaki siapa saja yang ada di situ,” kata Amir.
Dendam Letda Sanurip dari Kopassus
Melansir Historia, Letnan Sanurip adalah instruktur penembak runduk. Ia sempat akan diterjunkan dalam operasi.
Namun, batal. Sanurip urung dilibatkan. Konon Sanurip kecewa. Ia tak terima dengan ketidakterlibatannya.
Sanurip stres, salah satu alasan yang membuatnya menembakkan peluru secara membabi buta. Namun pihak ABRI mengindikasikan Sanurip melakukan penembakan karena gangguan kejiwaan.
Gangguan kejiwaan itu muncul sebagai efek malaria yang merusak sistem sarafnya. Di sisi lain, terdapat keterangan berbeda dari mantan Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI Letnan Jenderal Soeyono.
Menurut Soeyono, Sanurip adalah penembak jitu dan pelatih tembak tempur yang seharusnya diterjunkan di daerah operasi untuk membantu pembebasan sandera oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Ia kecewa dan stres ketika tak dilibatkan dalam operasi.
Peristiwa 'mengamuknya' Sanurip disayangkan oleh Mayor Jenderal Theo Syafii. Seperti dikutip Kompas, ia mengatakan, “Kalau memang dia seorang letnan, benar-benar kejutan. Seharusnya dia sudah mampu menahan tekanan psikis yang dihadapinya,” kata Theo Syafii.
Di mata Theo Syafii, hal yang dialami Sanuri sangat lazim. Kopassus tentu memiliki banyak sumber daya manusia (SDM) untuk dimanfaatkan.
Dan Sanuri sendiri. Ia sejatinya adalah salah satu orang yang paling berperan membentuk kader penembak jitu untuk diterjunkan ke lapangan.
Kata Theo Syafii, begitu aneh melihat Sanuri. Ia harusnya terlatih untuk menerima kenyataan ketika dirinya tidak selalu diperintahkan ikut operasi.
Setelah penembakan itu Sanurip diboyong ke Jakarta. Benny Siga Butar-butar, dalam biografi Kepala Staf Umum ABRI Letnan Jenderal Soeyono berjudul Bukan Puntung Rokok (2003) menjelaskan Polisi Militer sempat kesulitan memeriksa Sanurip.
Tim pemeriksa kiriman Komandan Pusat Polisi Militer Syamsu Djalal tidak bisa masuk ke Ksatriaan Kopassus untuk menemui Sanurip. Ia curiga Komandan Jendral Kopassus saat itu, Prabowo Subianto menyembunyikan sesuatu.
Cerita akhir dari hidup Sanurip pun berbeda-beda. Terdapat berita yang beredar bahwa Sanurip dihukum mati pada 23 April 1997.
Namun Soeyono menjelaskan Sanurip meninggal karena bunuh diri. Soeyono saat itu tidak bisa mengikuti kelanjutan penyelidikan kasus Sanurip karena dinonaktifkan dari dinas.
“Yang saya dengar berikutnya adalah Sanurip mengalami keadaan yang mengenaskan karena bunuh diri di selnya,” tukas Soeyono.
Sebelumnya OPM menyandera Tim Lorentz ’95. Tim Lorentz '95 terdiri dari sebelas peneliti Indonesia dan Inggris.
Tim Lorentz '95 juga melibatkan dua perwakilan World Wildlife Fund (WWF) serta satu perwakilan United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Mereka dibebaskan pada 9 Mei 1996 setelah 130 hari disandera.
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam.