Hari Air Sedunia: Kebutuhan Air Meningkat, Ketersediaannya Menurun
Ilustrasi (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Kita harus sepakat, air merupakan kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan manusia atas air terus bertambah tiap hari, namun ketersediaannya terus berkurang. Sayangnya, banyak manusia yang kurang peduli menjaga kualitas air bersih. 

Hari ini, 22 Maret, dunia memperingati World Water Day atau hari air sedunia. Mengutip laman Parangtritis Geomaritime Science Park yang merupakan bagian dari Badan Informasi Geospasial (BIG), tujuan dibuatnya hari air sedunia tak lain adalah menyadarkan masyarakat dunia akan pentingnya air bersih dan pengelolaan sumber air yang berkelanjutan.

Hari air sedunia pertama kali disepakati pada tahun 1992 pada sidang umum PBB ke 47 di Rio De Janeiro Brasil. Setahun kemudian, pertama kalinya, peringatan ini diselenggarakan di seluruh dunia. Masayarakat dunia diimbau untuk memberi dukungan dalam konservasi air dengan cara mengurangi penggunaan air keran yang berlebihan. 

Air jadi kebutuhan manusia untuk mandi, mencuci piring, mencuci baju, sampai yang paling dibutuhkan yakni untuk minum. Bahkan dalam tubuh manusia 60 sampai 70 persen mengandung kadar air. 

Masih menurut laman BIG, rata-rata kebutuhan air manusia sebesar 60 liter per orang perharinya. Diperkirakan, setiap harinya kebutuhan air bersih akan meningkat dari tahun ke tahun seiring bertambahnya populasi manusia. 

Priyono dkk dalam Jurnal Ilmu Lingkungan (2014) mencatat, 6.121 miliar jumlah penduduk dunia memerlukan air bersih sebanyak 367 km3 per hari. Jumlah kebutuhan itu diprediksi melonjak pada 2025 sebanyak 492 km3 per hari. 

Tidak semua orang dapat memenuhi kebutuhan air secara sehat. Sementara, kuantitas air yang tidak bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan, terus meningkat. Sedangkan kualitas air untuk keperluan domestik terus menurun dari tahun ke tahun, menurut Priyono (2014). 

Masyarakat dunia menaruh harap kepada Indonesia untuk ikut andil dalam memperingati Hari Air Sedunia. Sebab, Indonesia adalah negara yang punya sumber daya air melimpah. Sementara menurut data Water Environment Partnership in Asia yang dikutip BBC, Indonesia merupakan salah satu negara terkaya dalam sumber daya air karena menyimpan 6 peren potensi air dunia. 

Sekitar 60 persen wilayah Indonesia merupakan air laut. Walaupun dari mayoritas air di Indonesia, hanya 2,5 persen yang merupakan air tawar. Namun sayangnya, sungai-sungai yang ada di Indonesia sekitar 56 persen sudah tercemar. Dengan kondisi ini, Indonesia mengalami krisis air bersih, khususnya di kota-kota besar, yang ada di pulau Jawa. 

Ilustrasi (Unsplash)

Menurut kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jawa diperkirakan akan kehilangan hampir seluruh sumber air pada tahun 2040. Menurut Peneliti Geoteknologi LIPI Heru Santoso, penyebab utama krisis air di Jawa karena alih fungsi lahan dari area resapan menjadi pemukiman dan daerah industri dan karena perubahan iklim. 

"Jawa masih menjadi daerah industri andalan. Tahun 2040 diprediksi semua wilayah di Pantai Utara Jawa mulai dari Banten sampai Surabaya akan menjadi wilayah urban yang berpotensi mengalami defisit ketersediaan air,” kata Heru mengutip laman resmi LIPI.

Selain karena alih fungsi lahan, krisis air bersih juga terjadi karena adanya perubahan iklim. "“Ada perubahan siklus air yang membuat lebih banyak air yang menguap ke udara karena peningkatan temperatur akibat perubahan iklim,” jelas Heru. 

Menurut Heru, kondisi ini berpengaruh pada keseimbangan neraca air. Keseimbangan neraca air akhirnya berpengaruh pada ketersediaan air mengingat kebutuhan air semakin meningkat akibat pertumbuhan penduduk serta perubahan lahan. 

Lewat proyeksi iklim Representative Concentration Pathways 4.5, rata-rata defisit air dalam setahun di Jawa terus meningkat sampai tahun 2070. “Daerah-daerah yang mengalami defisit air meluas, sementara wilayah-wilayah basah di bagian barat dan tengah Jawa semakin berkurang,” ujar Heru.

Heru menerangkan, yang penting untuk dilakukan orang banyak adalah membudayakan penghematan air. Pasalnya, ada daerah yang mengalami kekeringan, namun disaat yang bersamaan di daerah lain mengalami kelebihan air. Oleh karena itu neraca air ini harus diseimbangkan. 

Selain itu, hal lain yang bisa diupayakan untuk menanggulangi krisis air yakni dengan memberdayakan air marginal atau air payau. Namun sayangnya, saat ini menurut Heru belum ada teknologi murah yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam jumlah besar. Sementara di negara-negara Timur Tengah air laut sudah bisa disuling supaya bersih. 

Heru bilang, prinsip reuse dan recycle bisa jadi salah satu opsi untuk mengantisipasi potensi krisis air di Jawa. “Manfaatkan air-air marginal. Salah satunya dengan penyulingan air. Mungkin teknologinya masih mahal kalau sekarang, namun ke depan ini bisa bermanfaat,” pungkasnya.