Fadli Zon Dorong Kesadaran Global, Ancaman Krisis Air Dunia di Depan Mata
Ketua Umum DPN HKTI, Fadli Zon bersama President World Water Council Loic Fauchon dan Menteri PUPR (Is)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Umum DPN HKTI, Fadli Zon mengatakan perlunya kesadaran global mengenai pentingnya pengelolaan air secara bijaksana di tengah ancaman krisis air dunia.

"Krisis air bersih memang telah menjadi ancaman nyata, bukan hanya bagi Indonesia, tapi juga bagi dunia," ujar Fadli dalam memperingati Hari Pangan Sedunia (World Food Day) yang diperingati setiap 16 Oktober, Senin 16 Oktober.

Sebagai catatan, PBB memproyeksikan bahwa krisis air akan melanda seluruh dunia pada tahun 2025 mendatang. Ini tentu saja harus diwaspadai oleh kita semua.

Kelangkaan air merupakan dampak nyata dari perubahan iklim, terus meningkatnya laju pertumbuhan penduduk, serta akibat aktivitas manusia. Jika selama ini banyak orang menganggap isu perubahan iklim sangat abstrak, maka kelangkaan air merupakan pukulan keras buat semua.

Pada 2030 diperkirakan kebutuhan air tawar global akan meningkat 40 persen lebih tinggi dibandingkan saat ini. "Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, kita perlu bersikap responsif. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya isu ketahanan air."

Jadi, pada peringatan Hari Pangan Sedunia tahun ini, ada dua isu krusial yang bertemu, yaitu soal ketahanan pangan dan juga ketahanan air. Ini menunjukkan bahwa isu pangan dan air adalah seperti dua sisi mata uang. Keduanya tak bisa dipisahkan.

Secara kebetulan, Indonesia akan menjadi tuan rumah World Water Forum ke-10 pada bulan Mei tahun 2024. Tema kegiatan itu adalah “Water for shared Prosperity”. Isu air merupakan isu signifikan dan krusial bagi komunitas global. Urgensi tersebut juga meningkat dan diakui oleh para pemimpin dunia dengan masuknya isu air dan sanitasi (water and sanitation) sebagai tujuan tersendiri dalam SDGs melalui Goal 6. Isu SDG 6 juga menjadi bahasan review mendalam di UN High Level Political Forum (HLPF) on Sustainable Development pada tahun 2023. HLPF adalah mekanisme global yang ada untuk melakukan review pelaksanaan SDGs.

"Saya telah bertemu dan berdiskusi dengan Presiden World Water Council pada 10 Oktober lalu, menekankan keterlibatan parlemen dan civil society seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dalam Forum Air tahun depan," katanya.

Dua momen ini mestinya menyadarkan semua pihak tentang betapa krusial dan mendesaknya isu pangan dan air ini. Pemerintah perlu merancang kebijakan berbasis pengetahuan, data, inovasi, serta kerjasama multipihak untuk mengatasi isu ini. Pemerintah perlu segera mengedukasi petani mengenai pentingnya mengelola dan menggunakan air secara efisien.

Apalagi saat ini sedang menghadapi fenomena el nino, di mana musim kemarau akan berlangsung lebih kering dan lama dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Fenomena ini makin menambah ancaman terhadap ketahanan pangan negeri Indonesia. "Dari data yang saya miliki, el nino tercatat menurunkan produksi padi kita antara 1-5 juta ton sejak 1990-2020," bebernya.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), realisasi produksi beras pada Februari dan Maret 2023 adalah masing-masing 2,8 juta ton dan 5 juta ton, atau lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya yang ditetapkan sebesar 3,6 juta ton dan 5 juta ton. Turunnya realisasi produksi ini tidak lepas akibat dari el nino.

Karena dampak perubahan iklim seperti el nino ini bersifat global, penurunan produksi ini bukan hanya dialami Indonesia, tapi juga oleh negara lainnya. Akibatnya, banyak negara yang selama ini dikenal sebagai produsen beras, kini telah membatasi, bahkan melarang ekspor beras sama sekali. "Ini tentu saja akan menjadi persoalan buat kita, karena selama ini kita masih butuh impor untuk mencukupi kebutuhan permintaan beras dalam negeri."

Pasar beras global belakangan memang mengalami turbulensi signifikan, terutama sejak India, eksportir beras terkemuka di dunia, mulai menerapkan serangkaian pembatasan ekspor pada bulan Juli lalu, termasuk larangan ekspor beras putih giling. Dominasi India sebagai pemasok beras putih dengan harga terendah, terutama ke Afrika Sub-Sahara sejak 2020, telah menimbulkan kekhawatiran tentang dampak potensial dari harga beras yang jauh lebih tinggi di wilayah yang bergantung pada impor ini.

"Persoalan-persoalan ini tak bisa diatasi pemerintah hanya dengan kebijakan yang sifatnya jangka pendek. Harus ada kebijakan strategis berjangka panjang untuk mengatasi soal pangan dan air ini. Jika tidak, kita akan menghadapi krisis pangan dan air sekaligus," tuntasnya.