Bagikan:

JAKARTA - Pada 29 Desember 2003, jurnalis Indonesia dari RCTI, Ersa Siregar meninggal dunia. Ia meninggal dalam tugas jurnalistiknya, dalam situasi penyanderaan, di tengah kontak senjata antara pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pasukan TNI Yonif Marinir VI, di Sungai Malehen, Simpang Ulim, Aceh Timur.

Mengutip berbagai sumber, Ersa tewas karena dua tembakan. Masing-masing di leher, yang tembus hingga ke tangan kanan dan di dada, yang tembus ke punggung. Sebelumnya pria kelahiran Brastagi disandera GAM sejak 29 Juni 2003. Ersa Siregar disandera bersama kameramen RCTI, Ferry Santoro dan sopir tim, Rahmatsyah. Keduanya selain Elsa berhasil pulang dengan selamat.

Ersa Siregar, bersama Ferry Santoro dan Rahmatsyah disandera GAM saat tengah melakukan peliputan di Kota Langsa. Di sana, Ersa dan Ferry ditugaskan meliput rilis penemuan senjata milik GAM oleh komandan marinir setempat.

Namun usai melakukan peliputan, mereka dihadang oleh kelompok GAM di perjalanan. Mereka menjadi sandera GAM dari Juni hingga Desember 2003. Ketiga sandera tidak kunjung dibebaskan. Namun mereka juga tidak disakiti atau dibunuh di dalam penyanderaan.

Melansir Tirto, Panglima GAM Tertinggi Aceh Timur Ishak Daud membuka pintu membebaskan mereka. Namun tidak cuma-cuma. Ia menuntut TNI menyetujui gencatan senjata selama dua hari di lokasi pembebasan sandera.

Namun pihak TNI tidak setuju dan meminta para sandera dibawa ke satu tempat untuk kemudian dijemput. Meski begitu pihak GAM bersikeras ingin menyerahkan sandera langsung.

Pada 17 Desember 2003, Rahmatsyah dibebaskan. Dibebaskannya Rahmatsyah jadi asa bagi keluarga dan pihak RCTI. Mereka yakin Ersa dan Ferry juga akan dibebaskan. 

Namun harapan adanya kesepakatan yang membebaskan Ersa dan Ferry tak kunjung datang. Akhirnya, Sabtu, 27 Desember 2003, Ishak Daud berkata akan menyerahkan sandera.

Tapi sampai Senin, 29 Desember 2003 pagi, belum juga ada kesepakatan. Komando Operasi TNI bersikukuh GAM harus menaruh sandera di satu tempat dan mereka akan menjemputnya. Sementara GAM juga tetap bersikeras untuk menyerahkan langsung.

Tewas karena peluru TNI

Kontak senjata antara GAM dan TNI lalu terjadi pada siang hari, di mana Ersa berada di lokasi. Ersa tertembak dan tidak selamat.  Dua peluru menembus tubuh Ersa. Dari sisi GAM, satu anggota mereka juga tewas.

Pada 30 Desember, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu mengatakan Ersa Siregar tewas karena peluru TNI. Ryamizard mengatakan hal tersebut adalah risiko yang dihadapi setiap wartawan perang. 

"Risikonya pelor. Kalau enggak mau tertembak, ya tak usah jadi wartawan perang," kata Ryamizard, mengutip Liputan 6.

Sementara, Ferry baru berhasil dibebaskan pada malam tahun baru 2004. Ia dibebaskan dengan diplomasi yang dilakukan organisasi pers dan Palang Merah Internasional (PMI).

Mengutip Merdeka, Ferry mengatakan pengalaman itu terus terkenang. Setelah sepuluh tahun peristiwa itu berlalu, Ferry sempat bertemu dengan komandan grup marinir yang menembaki dia dan Ersa saat bersembunyi di dalam gubuk.

"Kini saya dan dia berteman," tutup Ferry.