Gaya Kiai Sadrach Menyebarkan Ajaran Kristen dengan Budaya Jawa
Ilustrasi Kiai Sadrach (Raga Granada/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pada 14 November 1924 atau 96 tahun yang lalu, Kiai Sadrach meninggal dunia di usia yang sangat senja yaitu 90 tahun. Kiai Sadrach adalah seorang tokoh yang berpengaruh dalam penyebaran ajaran Kristen di Tanah Jawa. Keunikan Kiai Sadrach dalam penyebaran ajaran Kristen membuat dirinya begitu disegani dan memiliki banyak jemaat.  

Nama lahir Kiai Sadrach adalah Radin. Radin terlahir dari keluarga petani miskin. Menurut kajian jurnal berjudul Strategi Misi Sadrach Suatu Kajian yang Bersifat Sosio Historis oleh Silas Sariman, Radin sejak kecil sudah hidup berkelana dan mengemis. Radin  menjadi  pengemis  ketika masih pelajar, karena  sudah  menjadi tradisi  murid-murid  sekolah Alquran  dan  pesantren  untuk  mengemis sebagai  bagian  dari kurikulum. Radin lalu diadopsi oleh keluarga Muslim kaya. 

Radin menimba ilmu di sekolah Alquran yang juga mengajar pelajaran umum. Di sekolah tersebut, Radin diperkenalkan  dengan  pelajaran  dasar agama  Islam  dan  kewajiban  orang Jawa. Setelah lulus dari sekolah tersebut, Radin belajar dengan guru ngelmu Jawa, yang bernama Pak Kurmen di Semarang. 

Setelah berusia 17 tahun, Radin pindah ke Jombang untuk belajar di pondok pesantren. Radin menjadi santri yang sangat unggul di antara santri lainnya. Di pesantren Radin menimba ilmu, diajarkan untuk berkehidupan di masyarakat. Hal tersebut dianggap aspek paling penting dalam hidup. 

Radin Menjadi Sadrach 

Saat waktu liburan, Radin pergi ke Mojowarno untuk mendengarkan pengajaran dari Jellesma, misionaris Belanda. Saat itu, Radin untuk pertama kalinya menyentuh ajaran Kristen. Setelah itu, benih ajaran Kristen mulai mengetuk hatinya. Radin tertarik membahas Injil  keselamatan dan memutuskan mempelajarinya dengan baik. 

Meski demikian, Radin tidak langsung menganut agama Kristen. Hal tersebut dikarenakan Radin kembali meneruskan belajar ke pondok pesantren di Ponorogo. Di pesantren tersebut, Radin belajar  membaca  dan  menulis  aksara  Arab, menulis pegon (bahasa  Jawa  yang  ditulis dengan aksara  Arab), serta belajar membaca dan menulis aksara Jawa. Tidak heran jika Radin begitu cerdas karena ia mempelajari segalanya. 

Setelah lulus dari pondok pesantren, Radin memutuskan untuk ke Semarang. Radin belajar dan berguru kepada Hoezoo, seorang pengabar Injil di Semarang. Radin diterima sebagai murid katekisasi dan setiap hari Minggu mengikuti kebaktian. Ia lalu dikenalkan dengan Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, seorang pengabar Injil Jawa dari Jepara.  

Setelah bertemu Kiai Tunggul  Wulung, Radin semakin condong dengan agama Kristen. Radin lalu menyatakan kesediaannya untuk menjadi orang Kristen. Bersama dengan Kiai Tunggul Wulung, Radin pergi ke Batavia untuk menjadi murid Anthing dan ikut pendidikan Kristen yang dirikan oleh Anthing. Setahun  setelah  lulus  dari pendidikan tersebut, ia memutuskan untuk dibaptis dengan nama Sadrach.  

Pengabaran Injil oleh Kiai Sadrach 

Ilmu Kiai Sadrach dalam ajaran Jawa dan Kristen membuatnya menjadi pengabar Injil yang berbeda dari pengabar Injil lainnya. Kiai Sadrach menjadikan budaya Jawa sebagai identitas masyarakat. Kiai Sadrach mulai melakukan pengabaran Injil di wilayah Jawa Tengah dan daerah sebelah barat Yogyakarta. Mengutip jurnal Membangun Komunitas Kristen Kang Mardika: Kyai Sadrach dalam Sejarah Kekristenan di Jawa (1869-1923) oleh Samudra Eka Cipta, sosok Kiai Sadrach dikenal  pengikutnya sebagai 'Rasoel  Ing  Tanah  Jawi' karena mengembangkan  ajaran  'Kerasulan' yakni suatu Gerakan Reformis Gereja dalam sekte ajaran Protestan.  

Pengikut Kiai Sadrach di wilayah Muntilan dan Kulon Progo berkembang pesat selama kurun waktu 1869-1870. Usaha yang dilakukan oleh Kiai Sadrach berhasil diterima oleh masyarakat. Jemaat Kiai Sadrach  mencapai 7.000 pada 1890 dan 20.000 saat Kiai Sadrach meninggal. Jemaat tersebar di seluruh  karesidenan  Jawa Tengah dan sebagian Yogyakarta. Oleh karena itu, Sadrach bisa membaptiskan dan menskramenkan  seseorang yang  hendak masuk Kristen tanpa meminta persetujuan terhadap zending Belanda dan ZGKN, pemegang  otoritas kristenisasi di Jawa. 

Setelah berkelana berbagai daerah, Kiai Sadrach memutuskan untuk menghabiskan hidupnya di Purworejo. Kiai Sadrach juga membangun gereja yang unik. Ia membangun gereja tanpa tanda salib dan bergaya joglo. Setelah Sadrach meninggal dunia, pengurus Gereja  Kerasulan Baru  diteruskan oleh Yotham Martoreja.