Bagikan:

JAKARTA - Tragedi Semanggi I menjadi salah satu tonggak penting yang menandai runtuhnya rezim otoritarian dan bangkitnya era demokrasi. Puncaknya terjadi pada hari ini 13 November 22 tahun lalu atau pada 1998. Dalam tragedi tersebut terpampang jelas bagaimana brutalnya aparat yang menghujani para demonstran dengan peluru tajam. Perisitwa itu menjadi momentum bahwa militerisme harus lenyap dari bumi Indonesia. 

Lengsernya Soeharto tak pelak membuat Indonesia betul-betul bebas dari masalah. Peran Soeharto dianggap masih terlalu kuat pada proses pembentukan pemerintahan baru. Pada masa transisi pemerintahan baru, masyarakat menganggap Orde Baru masih berupaya menanam pengaruhnya.

Proses transisi dibuka dengan menggelar Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu dan membahas agenda-agenda pemerintahan selanjutnya. Mahasiswa skeptis karena masih menganggap pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie dan para anggota DPR/MPR masih berbau Orde Baru.  

Oleh karena itu mahasiswa menolak Sidang Istimewa sekaligus menentang dwifungsi ABRI. Saat itulah mahasiswa dan elemen masyarakat kembali turun ke jalan. 

Sejak 11 November 1998, mahasiswa dan masyarakat mulai bergerak dari Jalan Salemba. Lalu bentrok dengan aparat pun tak dapat dihindari. Massa bentrok dengan Pamswakarsa di kompleks Tugu Proklamasi. 

Lalu pada 12 November 1998, ratusan ribu mahasiswa dan peserta demosntrasi lainnya bergerak menuju gedung DPR/MPR. Namu mereka tak berhasil menerobos barikade petugas. Bagaimana tidak, satuan dari TNI, Brimob, dan Pamswakarsa bersatu untuk menghadang massa. Dan bentrok pun terjadi kembali.

Puncaknya terjadi hari ini 13 November 22 tahun lalu atau pada 1998. Mahasiswa dan masyarakat bergabung menuju Semanggi. Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan hingga puluhan ribu. 

Namun tentunya aparat juga tak kalah persiapan. Kendaraan lapis baja dikerahkan untuk membendung massa. Hal itu membuat masyarakat kocar kacir. Namun para mahasiswa memilih bertahan. 

Bentrokan berdarah

Ketika mahasiswa bertahan, saat itulah aksi brutal terjadi. Petugas keamanan membredel mahasiswa yang memilih untuk bertahan. Akibatnya mereka pun bergeletakan di jalan. 

Korban pertama yang diketahui meninggal dunia yakni seorang mahasiswa bernama Teddy Wardhani Kusuma. Korban kedua penembakan adalah Bernadus R Norma Irawan, ia adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya. Bernadus tertembak di dadanya dari arah depan saat menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Atma Jaya.

Mengutip berbagai sumber, penembakan tersebut terjadi dari pukul 3 sore hingga sekitar jam 2 pagi. Massa yang terus datang membuat pihak aparat melemparkan gas air mata. Tragedi tersebut menyebabkan 15 orang meninggal, 7 mahasiswa dan 8 warga. 

Meski huru-hara terjadi, diketahui bahwa sidang istimewa tetap berjalan. Seolah-olah tokoh-tokoh politik itu tidak peduli dan tidak mengangap penting suara dan pengorbanan masyarakat ataupun mahasiswa. 

Kebohongan 

Tragedi Semanggi akhirnya dibawa ke meja bundar. Namun boro-boro menangkap pelaku penembakan apalagi mengungkap dalangnya, Jaksa Agung Burhanuddin malah menyatakan bahwa dalam peristiwa tersebut tak terjadi pelanggaran berat.  

Mengutip Kompas, baru-baru ini keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II menggugat pernyataan Jaksa Agung Burhanuddin ke PTUN Jakarta. Gugatan tersebut dilayangkan setelah Burhanuddin mengatakan bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan termasuk pelanggaran HAM berat.

Pihak keluarga korban yang melayangkan gugatan yaitu Maria Katarina Sumarsih, ibunda almarhum Bernardinus Realino Norma Irmawan dan Ho Kim Ngo, ibunda almarhum Yap Yun Hap. 

Burhanuddin mengatakan bahwa peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran berat HAM dalam rapat kerja dengan Komisi III pada pemaparan terkait perkembangan penanganan kasus HAM pada Januari 2020.  Namun Burhanuddin tak menyebutkan kapan rapat paripurna DPR yang secara resmi menyatakan peristiwa Semanggi I dan II tidak termasuk pelanggaran HAM berat.

"Peristiwa Semanggi I, Semanggi II, telah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," kata Burhanuddin di Kompleks Parlemen, Senayan. 

Namun pertanyaan itu kini terbantah sudah. Mengutip Tirto, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, yang dipimpin Hakim Ketua Majelis Andi Muh. Ali Rahman, memutuskan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin bersalah karena menyatakan Tragedi Semanggi I dan II “bukan merupakan pelanggaran HAM berat” dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR pada 16 Januari 2020.

“Menyatakan tindakan pemerintah yang dilakukan Tergugat... adalah perbuatan melawan hukum oleh padan dan/atau pejabat pemerintahan,” tertulis dalam isi vonis. Selain melawan hukum, dalam pertimbangannya hakim juga menilai pernyataan Burhanuddin “mengandung asas kebohongan (bedrod).”