Melacak Bukti Bahwa Perang (Tak) Menguntungkan Siapapun
Machine Gun Battalion in the Bicycle POW Camp, Batavia (Wikimedia Common)

Bagikan:

JAKARTA - Jatuhnya pesawat dari Ukraine International Airlines di Taheran –Iran-- yang memakan korban sebanyak 176 orang tewas, sungguh membawa duka. Apalagi, pesawat itu ditembak jatuh karena unsur tak sengaja dari angkatan bersenjata Iran, yang hingga hari ini negaranya telah siaga tinggi karena bersitegang dengan Amerika Serikat.

Gambaran di atas, cukup membuktikan bahwa perang sering kali menciptakan kesedihan yang mendalam. Tak hanya bagi mereka yang berseteru, terlebih orang-orang yang tak berdosa hingga tak tahu menahu malah ikutan jadi korban. 

Oleh karenanya, perang itu mirip dengan yang pernah terucap oleh Novelis Aldous Huxley . “Fakta yang paling mengejutkan tentang perang adalah korban dan instrumennya yang tak lain adalah manusia itu sendiri.”

Dampak Perang dari Masa Ke Masa

Mau perang kecil atau besar, perang terdahulu hingga terbaru, perang mempertahankan kedaultan sampai perang memperebutkan wilayah. Tetap saja yang dirugikan adalah rakyatnya sendiri. Bahkan perkara ini, sudah diteropong jauh-jauh hari oleh Ong Hok Ham dalam Kolomnya di Majalah Tempo tahun 1979, berjudul “Angkatan Perang Indonesia pada Abad ke- 17.”

Ia mengungkap terkait biaya besar untuk perang yang dikeluarkan dua kerajaan besar di Nusantara, Kerajaan Mataram dengan Sultan Agungnya yang konon memiliki armada sebanyak 300.000 prajurit. Serta Kerajaan Aceh yang dipimping oleh Sultan Iskandar Muda memiliki armada sebanyak 40.000.

Oleh karena hasrat perang tersebut “Baik Sultan Agung maupun Iskandar terpaksa mengadakan pajak baru, atau menaikkan yang sudah ada guna menutup biaya perang,” ungkap Ong Hok Ham.

Penarikan pajak besar-besaran sebagai dana perang tertuah dalam Amangkurat I, yang memerintah selama  31 tahun hanya berhasil mengumpulkan harta kerajaan kira-kira 350.000 real. Bahkan untuk mengalahkan pemberontakan Trunojoyo, raja Mataram berikutnya, Amangkurat II, selama 8 tahun berhutang pada VOC sebesar 1.540.000 real, yang berarti empat kali lipat lebih banyak dari jumlah harta tunai Mataram dari raja sebelumnya. 

Tak hanya itu, Sultan Iskandar Muda pun senada dibuat pusing oleh dana besar perang. Kemudian ia berinisiatif pada akhir pemerintahannya selain menaikkan pajak juga mendevaluasi mata uang Aceh, yang menyebabkan nilainya jadi seperempat mata uang emas yang dahulu.

Padahal sebelum devaluasi mata uang aceh sempat menjadi mata uang terpercaya –bahkan sampai India dan Turki. Namun setelah devaluasi, mata uang Aceh kehilangan kepercayaan selama-lamanya.

Mau tak mau, masyarakatlah yang lagi-lagi menjadi korban. Masyarakatlah yang lagi-lagi meresakan kepedihan mendalam sehabis perang. Dan masyarakatlah yang harus menanggung semua beban dari negara atau kerajaan yang bertikai.

Beranjak dari perang zaman kerajaan Indonesia, lalu beranjak ke mencekamnya perang-perang yang diakibatkan oleh proklamasi, kala Indonesia mulai memproklamirkan diri sebagai sebuah bangsa yang terucap langsung oleh dua orang Founding Father Indonesia, Soekarno – Hatta.

Masa-masa mencekam itu diingatkan kembali dalam cerpen yang dirangkum dalam buku Semua Untuk Hindia karya dari Iksaka Banu dengan judul “Selamat Tinggal Hindia.”

Dalam cerpen tersebut menceritakan bahwa sesudah proklamasi diucapkan, pemuda bumiputera larut dalam kebencian yang mendalam terhadap kulit putih. Itu semua terangkum dalam penggalan dialog:

“Proklamasi kemerdekaan serta lumpuhnya otoritas setempat membuat para pemuda bumiputera kehilangan batas logika antara ‘berjuang’ dan ‘Bertindak jahat’. Rasa benci turun-temurun terhadap orang kulit putih serta mereka yang dianggap kolabolator, tiba-tiba seperti menemukan pelampiasan di jalan-jalan lenggang, di pemukiman orang Eropa yang berbatasan langsung dengan kampung bumiputera”

“God Almachtig. Mayat-mayat ini seperti daging giling,” Hermanus Schrijven dari Utrechts Nieuwsblad membuat tanda salib setelah mengamati foto-foto itu.

“Kabarnya, para penjaga itu adalah Jawara atau perampok yang direkrut menjadi tentara. Sebagian rampasan dibagikan kepada penduduk dan kerap pula diambil sendiri,”

“Bandit patriot,” Jan Mengangkat bahu. “Terjadi pula semasa Revolusi Prancis, Revolusi Bolshevik, dan di antara para partisan Yugoslavia hari ini.”

“Anak-anak Revolusi,” aku Menimpali.

“Aku Benci perang,” Hermanus membuang puntung rokok.

Dalam penggalan cerpen di atas, Iksaka Banu mencoba mengambil sudut pandang sebagai seorang kulit putih Eropa, sembari menjelma mempelajari rasa takut mereka, ketika elit mereka kalah dan kabur entah kemana, lantas rakyatnya sendiri yang jadi korban.

Perang memang sering kali begitu. sehingga boleh saja banyak diantaranya –orang-orang-- menganggap perang membawa kesejahteraan berlabel Gold, Glory dan Gospel. Namun, disamping itu perang juga membawa kedukaan bagi mereka yang tak bersalah lalu setelahnya ditumbal untuk dijadikan korban keganasan perang.

Cerita lain tentang kesedihan korban perang, turut dituturkan oleh Eric Weiner di bukunya The Geography of Bliss yang menceritakan pengembaraannya ke Moldova, yang dewasa ini menjadi salah satu negara paling tidak bahagia di dunia.

Setelah sampai ke Moldova, ia kemudian berkenalan dengan empunya rumah yang akan dia tinggalinya selama di Moldova bernama Luba, seseorang yang merasakan dampak akibat dari perang.

“Luba lahir di Rusia, datang ke Moldova beberapa dekade lalu, satu dari jutaan orang Rusia yang menyebar ke negara-negara Uni Soviet, dengan maksud menyebarkan bahagia ala Rusia. Kehidupan dulu menyenangkan. Sebelum Tembok Berlin runtuh, Uni Soviet Jatuh, begitu juga hidup Luba” Ungkap Eric Weiner.

Kini hidup Luba berubah, cenderung acuh tak acuh, dan sering kali menyimpan kesedihan “Sekarang dia harus menghemat untuk bisa makan dan menyewakan kamarnya kepada seorang Amerika yang terobsesi pada pencarian kebahagiaan. Roda sejarah bisa begitu kegam,” tutup Eric Weiner.

Rangkuman kisah diatas sudah menjadi penegas bahwa perang baik dari Zaman Kerajaan hingga Indonesia merdeka, sungguh tidak menguntungkan siapapun juga, karena yang menjadi korbannya adalah manusia itu sendiri.

Rugi waktu, rugi uang, rugi pikiran, dan rugi harus bertaruh nyawa untuk hal yang tujuannya hanya berbau eksistensi berbentuk: Sejarah ditulis oleh pemenang…