Kemerdekaan Irak Setelah Inggris Akhiri Mandat dari Liga Bangsa-Bangsa
Ilustrasi Irak (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Pada 3 Oktober 1932, Irak diterima di Liga Bangsa-Bangsa sebagai negara yang merdeka. Karena konflik antara para pemimpin politik Irak pada dasarnya berpusat pada bagaimana mengakhiri mandat dan bukan pada hak kemerdekaan, Raja Fayal mencari kerja sama dengan para pemimpin oposisi setelah kemerdekaan. 

Melansir Britannica, Sabtu 3 Oktober, Inggris sebelumnya merebut Irak dari Turki Ottoman selama Perang Dunia I dan diberikan mandat oleh Liga Bangsa-Bangsa untuk memerintah Irak pada 1920. Sebuah monarki Hashemite diorganisir di bawah perlindungan Inggris pada 1921 dan pada 3 Oktober 1932, kerajaan Irak didirikan dan diberikan kemerdekaan. Pemerintah Irak mempertahankan hubungan ekonomi dan militer yang erat dengan Inggris, yang menyebabkan beberapa pemberontakan anti-Inggris. 

Pemberontakan pada 1941 menyebabkan intervensi militer Inggris dan pemerintah Irak setuju untuk mendukung upaya perang Sekutu. Pada 1958, monarki digulingkan dan selama dua dekade berikutnya Irak diperintah oleh serangkaian pemerintah militer dan sipil. 

Terlepas dari kemajuan material negara dan kegagalan monarki membuat generasi muda mulai kesulitan memberikan kepercayaan. Sebelum revolusi, Irak kekurangan kepemimpinan yang mampu mencapai kemajuan dan membangkitkan kepercayaan publik. Generasi baru menawarkan kepemimpinan seperti itu, tetapi para pemimpin yang lebih tua menolak dan memulai kebijakan luar negeri yang tidak populer. Hal tersebut termasuk aliansi dengan Inggris melalui partisipasi dalam Pakta Baghdad dan penentangan terhadap pembentukan Republik Arab Bersatu oleh Mesir dan Suriah.

Setelah Republik Irak berdiri, berbagai pertentangan dan pergolakan tetap terjadi selama bertahun-tahun. Berbagai gerakan yang dilakukan oleh pihak militer dilakukan untuk menggulingkan rezim pemerintahan yang memimpin. Hingga akhirnya Irak kembali melakukan revolusi pada 1968. Pemerintahan saat itu digulingkan oleh tentara dengan bantuan dari aktivis partai sipil. Selain pemerintahan yang korup, kegagalan Irak untuk mendukung negara-negara Arab lainnya secara memadai dalam Perang Enam Hari juga dianggap menjadi pemicu penggulingan pemerintah oleh tentara Irak. 

Pada 1979, Jenderal Saddam Hussein menjadi diktator Irak. Saddam mencapai posisi ini melalui kepemimpinannya di aparat keamanan dalam negeri. Saddam, melihat kegagalan partai di Irak pada 1963 dan memutuskan bahwa perbedaan pendapat tidak boleh diizinkan dalam barisan partai, tidak ada oposisi di luar partai yang harus ditoleransi, dan komitmen ideologis terhadap cita-cita partai saja tidak cukup untuk menjamin kesetiaan internal. Hingga akhirnya Saddam Husein menghilang — dan kemudian mati — dalam menghadapi invasi koalisi pimpinan AS ke Irak pada 2003. 

Irak terus mengalami pergolakan, baik politik dalam negeri maupun luar negeri. Selama bertahun-tahun harus menghadapi invasi AS, belum lagi kelompok ISIS yang merajalela ingin merebut pemerintahan. Campur tangan dari negara lain juga membuat Irak jauh dari kata damai. Wabah COVID-19 di negara itu pada Februari juga memperburuk situasi keuangan Irak. Hal tersebut dikarenakan penurunan permintaan minyak menyebabkan jatuhnya harga minyak.

Pada 7 Mei, pemerintahan baru dibentuk oleh Mustafa al-Kadhimi, perdana menteri ketiga yang ditunjuk sejak pengunduran diri Abdul Mahdi. Kadhimi, yang sebelumnya memimpin badan intelijen negara dari 2016 hingga penunjukannya sebagai perdana menteri, tidak terkait dengan faksi tertentu dan tidak memiliki sejarah politik. Tetapi banyak aktor politik dengan hati-hati berharap kepemimpinannya akan membawa pendekatan yang adil dalam menangani masalah negara. Peringatan Kemerdekaan Irak tahun ini diwarnai dengan demonstrasi massa yang menuntut lapangan kerja bagi kaum muda, layanan publik yang berfungsi, dan jaminan pemilihan yang transparan.