Bagikan:

JAKARTA - Perang antara Azerbaijan dan Armenia kembali pecah sejak Minggu, 27 September. Kedua belah pihak kembali memperebutkan Nagorno-Karabakh. Sengketa kawasan itu jadi konflik paling panjang di wilayah bekas Uni Soviet. Sampai hari ini kedua negara masih bersiaga mengangkat senjata. Artileri, helikopter dan tank disiagakan di sepanjang perbatasan Nagorno-Karabakh.

Melansir Anadolu Agency, Kamis, 1 Oktober, dalam peperangan tersebut, pasukan Azerbaijan sedikitnya melumpuhkan 2.300 tentara Armenia dalam sebuah serangan balik. Jumlah itu didapat dari keterangan resmi Kementerian Pertahanan Azerbaijan. Mereka menyatakan korban tewas dan luka dari total 2.300 tentara yang dimaksud.

Bersamaan dengan itu, pasukan Azerbaijan juga telah menghancurkan 130 tank beserta kendaraan lapis baja, 200 lebih sistem artileri, 25 sistem pertahanan udara, enam zona komando, lima depot amunisi, hingga 50 senjata anti-tank, dan 55 mobil milik Armenia. Armenia melancarkan serangan balasan, membuat infrastruktur di wilayah itu mengalami kerusakan parah Beberapa warga sipil juga terluka akibat serangan tersebut.

Selasa, 30 September, Dewan keamanan PBB meminta Armenia dan Azerbaijan untuk segera menghentikan pertempuran. Tak hanya itu, Dewan Keamanan PBB mengutuk keras penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik kedua negara.

Meski begitu, Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev mengatakan negaranya telah sekuat tenaga mencoba melakukan perundingan. Akan tetapi, Armenia justru menghalangi proses tersebut. Lagipula, Nagorno-Karabakh berulang kali disebut-sebut sebagai bagian dari Armenia.

“Perdana menteri Armenia secara terbuka menyatakan bahwa Karabakh adalah (bagian dari) Armenia, titik. Dalam hal ini, proses negosiasi seperti apa yang dapat kita bicarakan," Kata Aliev, dikutip Associated Press, Selasa, 30 September.

Aliev menambahkan, sesuai prinsip-prinsip yang ditengahi oleh Minsk Group --didirikan pada tahun 1992 oleh organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE) untuk menyelesaikan konflik, wilayah di sekitar daerah otonom Nagorno-Karabakh harus dipindahkan ke Azerbaijan.

Aliev juga menyinggung kembali perkataan Perdana Menteri (PM) Armenia Nikol Pashinyan: Karabakh adalah Armenia dan bahwa kita harus bernegosiasi dengan apa yang disebut rezim boneka Nagorno-Karabakh, (dia) mencoba mendobrak format negosiasi yang telah ada selama 20 tahun.

Dalam suatu kesempatan, Pashinyan pun sempat berkata bahwa negosiasi merupakan hal yang paling sukar dibicarakan pada saat ini. "Sangat sulit untuk membicarakan negosiasi. Ketika operasi militer tertentu sedang berlangsung."

Awal mula konflik

Berdasarkan sejarahnya, Azerbaijan dan Armenia telah mulai permusuhan dengan ragam alasan, mulai dari etnis, agama, maupun politik. Dalam masalah agama, misalnya. Azerbaijan memiliki populasi mayoritas Muslim yang juga menampung banyak orang Turki. Sedangkan, Armenia adalah negara mayoritas Kristen yang didominasi oleh etnis Armenia.

“Akar konflik di Nagorno-Karabakh sudah ada sejak berabad-abad lalu, akibat kompetisi antara penduduk Kristen Armenia dan penduduk Muslim di bawah pengaruh Turki dan Persia. Pada akhir abad ke-19, daerah ini menjadi bagian Kerajaan Rusia. Pada akhir Perang Dunia I, Soviet membentuk daerah otonomi Nagorno-Karabakh di bawah Soviet Socialist Republic of Azerbaijan meskipun penduduknya mayoritas Armenia,” tertulis laporan Majalah Tempo berjudul Nagorno-Karabakh, Suatu Hari (2016).

Lantaran parlemen Nagorno-Karabakh lebih memilih untuk bergabung dengan Armenia pada 1980-an, hal itu memicu kekerasan yang makin lama membesar menjadi perang. Seperti yang sudah ditebak, pecahnya Uni Soviet membuat Nagorno-Karabakh kemudian memproklamirkan kemerdekaan. Tindakan itu jadi awal perang berdarah yang membunuh lebih dari 30 ribu orang dan membuat sekitar satu juta orang harus mengungsi.

Tercatat, etnis Armenia mengambil alih Nagorno-Karabakh, juga beberapa daerah Azerbaijan di luar Nagorno-Karabakh. Alhasil, upaya itu menciptakan buffer zone (zona penyangga) antara Nagorno-Karabakh dan Armenia. Sementara itu, Etnis Azeri (Azerbaijan) terpaksa melarikan diri keluar dari Nagorno-Karabakh ke Azerbaijan. Dan etnis Armenia melarikan diri dari Azerbaijan.

Turki dan Rusia

Kelak, perundingan damai berlangsung dengan dimediasi organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE) Minsk Group. Ini adalah sebuah badan yang dibentuk pada tahun 1992 dan diketuai oleh Prancis, Rusia, dan Amerika Serikat (AS). Mediasi itu membuahkan perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani pada 1994.

Kendati demikian, upaya damai itu belum tampak membuahkan hasil. Konflik-konflik masih berlanjut, terutama soal pelanggaran gencatan senjata yang terus terjadi di garis depan selama tiga dekade terakhir. Segala konflik itu terus memicu korban jatuh dari dua pihak.

“Rusia diduga ada di balik Armenia. Sedangkan Azerbaijan didukung Turki. Jika negara hebat seperti Rusia mau berhenti mendukung Armenia, negara penjajah dan teroris dalam konflik di Nagorno-Karabakh, Rusia akan memenangi hati 1,7 miliar populasi muslim," kata Yalcin Topcu, chief advisor Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, seperti dikutip dari APA, 21 November 2016.

Anggapan itu bukan pepesan kosong belaka. Rusia selama ini diketahui telah menjual senjata ke kedua sisi. Namun, dukungan lebih condong diberikan kepada Armenia, yang selama ini menjadi tempat Rusia membangun pangkalan militer. Sebaliknya Turki.

Seorang pengamat politik yang juga menjadi tim mediator Amerika Serikat untuk perdamaian Armenia-Azerbaijan pada 2000-an, Matthew Bryza mengungkap, Turki dengan semua kapasitasnya telah mendukung penuh Azerbaijan dalam perjuangan melindungi integritas teritorial. Dukungan secara langsung pun telah diucap oleh Presiden Turki Erdogan.

"Turki tidak akan menunjukkan keraguan untuk menentang serangan apapun terhadap Azerbaijan," ucap Erdogan.

Karena itu, Bryza menyebut konfilk antara Armenia-Azerbaijan justru telah menciptakan front kekuatan besar lainnya, yakni antara Ankara (Turki) dan Moskow (Rusia). Apalagi, baru-baru ini Turki dan Rusia tampak berselisih terkait beberapa konflik di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Tengah.

“Pemain utamanya adalah Rusia dan Turki,” kata Bryza, merujuk pada konflik Azerbaijan-Armenia dikutip TRT World.