JAKARTA - Pada 19 September 1893, Gubernur Selandia Baru Lord Glasgow, menandatangani Undang-Undang Pemilu baru. Undang-undang ini begitu penting karena Selandia Baru menjadi negara dengan pemerintahan sendiri pertama di dunia, di mana wanita memiliki hak untuk memilih secara nasional.
Di sebagian besar negara demokrasi lain, termasuk Inggris dan Amerika Serikat (AS), wanita tidak memiliki hak pilih sampai setelah Perang Dunia I. Kepemimpinan dunia Selandia Baru dalam hak pilih wanita menjadi bagian sentral dari citra negara sebagai 'laboratorium sosial.'
Hak untuk Memilih bagi Wanita
Melansir New Zealand History, Sabtu 19 September, di Selandia Baru pada awal kolonial, seperti di masyarakat Eropa lainnya, wanita dikecualikan dari keterlibatan apa pun dalam politik. Saat itu Selandia Baru memiliki kelebihan penduduk pria, terutama di kota-kota sumber daya. Secara pragmatis, hal ini menempatkan wanita sebagai seorang istri, ibu, dan pedoman moral.
Kebanyakan orang menerima gagasan bahwa wanita secara alami cocok untuk urusan rumah tangga, seperti menjaga rumah dan membesarkan anak. Hanya pria yang cocok untuk kehidupan publik dan dunia politik yang kasar dan kacau.
Namun pada akhir abad ke-19, beberapa wanita mulai menantang pandangan sempit tersebut. Kesempatan baru terbuka bagi wanita dan anak perempuan dalam pendidikan menengah dan universitas, kedokteran, dan dalam pekerjaan gereja dan amal. Perhatian segera beralih ke hak hukum dan politik perempuan.
Kampanye hak pilih di Selandia Baru dimulai sebagai cabang yang sangat luas dari gerakan luas akhir abad ke-19 untuk hak-hak wanita yang menyebar ke seluruh Inggris dan koloninya, AS dan Eropa Utara. Gerakan ini dibentuk oleh dua tema utama: kesetaraan hak politik bagi wanita dan tekad menggunakannya untuk melakukan reformasi moral masyarakat.
Perintis hal pilih wanita di Selandia Baru terinspirasi oleh argumen persamaan hak dari filsuf John Stuart Mill dan feminis Inggris. Selain itu upaya misionaris dari Women’s Christian Temperance Union (WCTU) yang berbasis di AS juga memiliki andil dalam gerakan perempuan untuk miliki hak pilih di Selandia Baru.
Sejumlah politisi pria terkemuka di Selandia Baru, seperti John Hall, Robert Stout, Julius Vogel, William Fox, dan John Ballance, mendukung hak pilih wanita. Namun selama 1878, 1879 dan 1887 rancangan undang-undang (RUU) atau amandemen yang memperluas pemungutan suara untuk wanita selalu gagal lolos di Parlemen.
Di luar Parlemen, gerakan ini mengumpulkan momentum dari pertengahan 1880-an, terutama setelah pembentukan WCTU Selandia Baru pada 1885. Dipimpin dengan terampil oleh Kate Sheppard, juru kampanye WCTU dan lainnya mengorganisir serangkaian petisi besar kepada Parlemen. Pada 1891 lebih dari 9.000 tanda tangan telah dikumpulkan. Jumlah tersebut meningkat yaitu pada 1892 hampir 20.000 tanda tangan dan akhirnya pada 1893 hampir 32.000 tanda tangan diperoleh. Jumlah tersebut hampir seperempat dari populasi wanita dewasa di Selandia Baru saat itu.
BACA JUGA:
Penentang yang Muncul
Pada awal 1890-an, penentang hak pilih wanita mulai bergerak. Mereka memperingatkan bahwa gangguan apa pun terhadap peran gender 'alami' pria dan wanita mungkin memiliki konsekuensi yang mengerikan. Industri minuman keras, takut wanita akan mendukung tuntutan yang meningkat untuk pelarangan alkohol, melobi anggota Parlemen yang simpatik dan mengorganisir petisi tandingan.
Pemerintah Liberal, yang mulai menjabat pada 1891, terpecah belah karena masalah tersebut. Perdana Menteri (PM) Selandia Baru John Ballance pada prinsipnya mendukung hak pilih wanita. Tetapi secara pribadi, khawatir jika wanita akan memilih rival partainya. Banyak rekan kabinetnya, termasuk Richard Seddon yang merupakan teman perdagangan minuman keras, sangat menentang hak pilih wanita.
Pada 1891 dan 1892, DPR mengesahkan Undang-Undang Pemilu yang akan memberikan hak pilih kepada semua wanita dewasa. Namun, pada setiap kesempatan, para penentang menyabotase undang-undang di majelis tinggi yang lebih konservatif, Dewan Legislatif, dengan menambahkan amandemen yang licik.
Pada April 1893, Ballance meninggal dan digantikan oleh Seddon. Hati para pendukung hak pilih wanita tenggelam, tetapi setelah presentasi besar-besaran petisi ketiga, RUU lain dengan mudah disahkan di DPR.
Sekali lagi, semua mata tertuju pada Dewan Legislatif. Kepentingan penjualan minuman keras membuat munculnya petisi kepada dewan untuk menolak RUU hak pilih wanita. Keputusan tersebut disambut oleh demonstrasi massa. Mereka lalu memberi pendukung mereka di Parlemen kamelia putih untuk dikenakan di lubang kancing bajunya.
Seddon dan lainnya lagi-lagi mencoba meruntuhkan undang-undang tersebut dengan berbagai taktik curang, tetapi kali ini gangguan mereka menjadi bumerang. Dua anggota dewan oposisi, yang sebelumnya menentang hak pilih wanita, mengubah suara mereka untuk mempermalukan Seddon. Pada 8 September 1893 RUU untuk hak pilih wanita disahkan.
Meski setelah pengesahan RUU Masih ada yang menentang, pada 19 September, Lord Glasgow menandatangani RUU itu menjadi Undang-Undang. Semua wanita berusia 21 tahun berhak untuk memilih. Ucapan selamat mengalir dari para juru kampanye hak pilih di Inggris, Australia, AS, dan negara lain. Seseorang menulis bahwa pencapaian Selandia Baru memberi 'harapan dan kehidupan baru bagi semua wanita yang berjuang untuk emansipasi'.