Menurut Studi, Orgasme yang Buruk Berdampak Negatif pada Hubungan Suami Istri
Ilustrasi pasangan konsensual (Unsplash/Damir Spanic)

Bagikan:

JAKARTA – Dalam hubungan suami istri, pakar membedakan antara kenikmatan dan orgasme. Orgasme diibaratkan satu menu dari makanan. Sedangkan kenikmatan adalah seluruh menu makanan, dari makanan pembuka hingga makanan penutup.

Sebuah studi tahun 2019, dilansir Healthline, yang diterbitkan dalam Archives of Sexual Behavior mendefinisikan tentang orgasme yang buruk. Orgasme buruk yang terjadi selama hubungan seks konsensual memiliki dampak negatif pada hubungan, seksualitas, dan atau kesehatan psikologis.

Menurut Marla Renee Stewart, seksolog dan tim penulis The Ultimate Guide to Seduction and Foreplay: Techniques and Strategies for Mind-Blowing Sex (Ultimate Guide Series) mendefinisikan orgasme yang buruk untuk orgasme yang dialami tanpa consent atau persetujuan.

Orgasme tersebut juga dikenal dengan disorgasmia atau orgasme yang menyebabkan rasa sakit fisik.

“Jika pengalaman fisik seseorang tentang orgasme memicu rasa malu, terkait dengan pengalaman traumatis, atau merasa sangat rentan sehingga membuat mereka sadar diri setelahnya, itu bisa menjadi pengalaman yang rumit dan tidak menyenangkan,” kata Aida Manduley, LSCW..

Manduley menerangkan lebih lanjut, secara klinis orgasme mengacu pada momen tertentu di mana ada pelepasan ketegangan dan energi, kontraksi otot (terutama di daerah genital), dan detak jantung meningkat.

Namun disamping momen orgasme yang buruk berefek pada hubungan sekaligus kesehatan psikologis, banyak keliru memahami tentang orgasme. Mandulay memberikan penjelasan untuk menjernihkan pemahaman. Bahwa ketika pasangan tidak orgasme, maka ego akan terluka.

Reaksi negatif akan bermunculan dan membuat lebih banyak tekanan pada pasangan untuk merasakan orgasme saat berikutnya mereka berhubungan seks. Ini secara tidak langsung membuat orgasme jadi satu ukuran kesuksesan pengalaman seksual.

“Ingin orgasme bukanlah hal yang buruk,” kata Manduley.

Tetapi ketika orgasme menjadi satu-satunya fokus seks, itu jadi hal buruk. Mengapa begitu? Sebab tekanan untuk ‘mencapai’ orgasme seringkali datang dengan mengorbankan hal-hal seperti keamanan, saling menghormati, koneksi, keintiman, dan kesenangan.