Bagikan:

JAKARTA - Malnutrisi, yang mengacu pada kekurangan atau ketidakseimbangan asupan gizi, dapat berdampak buruk pada kesehatan tubuh, terutama pada anak-anak, remaja, hingga dewasa.

Malnutrisi bukan hanya masalah kekurangan makanan, tetapi juga bisa terjadi akibat pola makan yang tidak seimbang, kekurangan mikronutrien, atau ketidakmampuan tubuh untuk menyerap gizi dengan baik.

Akibat kondisi ini, pengidapnya dapat mengalami berbagai keluhan kesehatan yang terkait dengan gangguan fungsi tubuh. Dampak malnutrisi tidak hanya dirasakan dalam jangka pendek, tetapi juga dapat mempengaruhi perkembangan fisik, mental, dan kualitas hidup seseorang dalam jangka panjang.

Ada beberapa dampak malnutrisi yang dialami oleh anak-anak hingga dewasa di Indonesia. Berikut 4 dampak malnutrisi menurut Herrio Hattu, Country Director of Indonesia Nutrition International, saat ditemui di Jl. Haji R Rasuna Said, Jakarta Selatan pada Rabu, 8 Januari 2025.

1. Stunting

Indonesia memiliki prevalensi stunting tertinggi ke-4 di Asia Timur & Pasifik (dari 22 negara) dan peringkat ke-29 tertinggi di dunia (dari 175 negara). Setiap tahunnya, terdapat 1.383.549 kasus baru stunting di Indonesia. Total anak-anak di bawah 5 tahun yang mengalami stunting di Indonesia mencapai 6.917.745 anak.

"Rata-rata setiap kasus stunting menyebabkan hilangnya 10,8 poin IQ dan 1,5 tahun masa ajaran sekolah, yang pada akhirnya akan berdampak pada penurunan produktivitas jangka panjang," ucap Herrio.

2. Berat Badan Lahir Rendah

Di Indonesia, prevalensi berat badan lahir rendah (BBLR) pada kelahiran telah menurun dari 10,5% pada tahun 2012 menjadi 9,9% pada tahun 2020 (menurut estimasi terbaru hingga 2023). Rata-rata setiap kasus BBLR mengakibatkan kehilangan 10 poin IQ, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan produktivitas jangka panjang.

"Berat badan lahir rendah (BBLR) didefinisikan oleh WHO sebagai berat badan bayi saat lahir yang kurang dari 2.500 gram (5,5 pon). BBLR dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk ibu hamil alami malnutrisi," kata Herrio.

3. Anemia pada Anak

Setiap tahunnya, terdapat 1.544.013 kasus baru anemia pada anak-anak di Indonesia. Secara total, terdapat 7.720.065 anak (usia 6-59 bulan) yang mengalami anemia di Indonesia.

Indonesia menempati peringkat ke-7 prevalensi anemia tertinggi pada anak-anak di kawasan Asia Timur dan Pasifik (dari 23 negara) serta peringkat ke-70 di dunia (dari 201 negara).

"Diperkirakan antara 30-60% kasus anemia pada anak-anak disebabkan oleh defisiensi zat besi, tergantung pada tingkat infeksi dalam populasi. Anemia akibat defisiensi zat besi pada anak merupakan salah satu faktor dari penurunan kemampuan kognitif dan dapat mempengaruhi prestasi anak di sekolah," imbuh Herrio.

4. Anemia pada Remaja Putri dan Wanita Dewasa

Di Indonesia, prevalensi anemia pada remaja putri dan wanita (15-49 tahun) meningkat dari 27% pada tahun 2012 menjadi 31,2% pada tahun 2019 (menurut perkiraan terbaru pada 2023).

Data prevalensi anemia tidak tersedia untuk remaja putri yang lebih muda (10-14 tahun). Indonesia memiliki prevalensi anemia tertinggi ke-8 di Asia Timur dan Pasifik, dan peringkat ke-73 di dunia.

"30-70% kasus anemia pada remaja putri dan wanita disebabkan oleh kekurangan zat besi, tergantung pada tingkat infeksi dalam populasi. Anemia karena kekurangan zat besi dapat mengurangi produktivitas di masa dewasa, sementara pada ibu hamil, kekurangan zat besi dapat meningkatkan risiko kematian dan menyebabkan masalah selama kehamilan serta kelahiran." tutur Herrio.