YOGYAKARTA – Emosi tertentu yang dirasakan kerap mendorong tindakan seseorang untuk makan secara emosional. Pada kondisi ini, tidak mempertimbangkan porsi, jam makan, hingga lebih banyak makan makanan tidak sehat. Dari contoh ini, perbedaan emosi dan perasaan penting dikenali, karena orang kerap “menyalahkan” emosi negatif yang membuat makan secara tidak sehat.
Menurut penjelasan ahli saraf dan penggagas teori emosi Antonio Damasio, emosi didefinisikan sebagai interaksi kompleks antara masukan sensorik, otak, dan tubuh. Karena masukan kompleks tersebut, dapat menghasilkan perubahan motorik dan fisiologis yang disebut “program tindakan”. Perubahan motorik dan fisiologis juga dipicu oleh pergeseran lingkungan internal atau eksternal untuk mempertahankan atau memulihkan homeostasis. Rangsangan eksternal, seperti menghadapi predator, memicu emosi, sementara rangsangan internal, seperti rasa lapar, berhubungan dengan dorongan dasar untuk bertahan hidup.
Sedangkan perasaan adalah proses hibrida yang menyertai emosi, integrasi persepsi otak terhadap perubahan tubuh menjadi kondisi mental yang koheren. Menurut gagasan dalam teori Damasio, kesadaran bergantung pada interaksi antara rutinitas homeostasis dan peta interoseptif multilevel dengan afek dan perasaan sebagai intinya.
Jelas profesor dan psikiater Ralph Lewis, MD., dilansir Psychology Today, kesadaran muncul dari aliran perasaan yang berkelanjutan yang berhubungan dengan kondisi internal tubuh. Seperti sensasi demam, mual, haus, dan kesejahteraan. Resepsi internal ini, atau disebut interosepsi, terus menerus menghubungkan “objek persepsi” dengan “subjek” yang kemudian mendasari rasa diri.
Proses interosepsi ini, melibatkan daerah batang otak, seperti nukelus relai sentral yang tidak sepenuhnya terisolasi dari penghalang darah-otak, sehingga memungkinkan molekul dalam aliran darah untuk secara langsung memengaruhi perasaan interosepsi. Nukleus ini memfasilitasi lingkaran umpan balik antara keadaan fisiologis dan pengalaman subjektif, yang berkontribusi pada kesadaran pikiran akan tubuhnya sendiri.
Kalau Damasio menekankan homeostasis dan keadaan internal tubuh sebagai dasar emosi, ahli saraf Joseph LeDoux berfokus pada peran proses kognitif, khususnya di korteks prefrontal, dalam membangun pengalaman emosional yang sadar.
LeDoux dikenal karyanya tentang peran amigdala dalam respons rasa takut. Ia mendefinisikan amigdala sebagai sirkuit bertahan hidup yang defensif.
Ketika menghadapi bahaya, respons defensif seperti melarikan diri atau diam bersembunyi dan munculnya perasaan takut yang disadari terjadi bersamaan. Ini karena kedua respons tersebut memiliki titik awal yang sama, bukan diproses di amigdala.
Titik awal yang sama ini adalah stimulus yang mengancam. Seperti melihat ular, pencuri, penjahat. Stimulus ini kemudian diproses otak melalui sistem sensorik. Kemudian jalur saraf bercabang. Amigdala memicu respons defensif naluriah dan tidak disadari. Sementara sinyal ke korteks prefrontal menghasilkan perasaan takut yang disadari melalui interpretasi kognitif. Sementara aktivasi amigdala dapat memengaruhi perasaan takut tetapi tidak menciptakannya.
Bagi LeDoux emosi pada dasarnya adalah pengalaman sadar dan memahaminya sepenuhnya membutuhkan pemahaman kesadaran. Emosi bukan keadaan refleksif yang mendasar dan terprogram. Tetapi dibangun secara kognitif, lalu dibentuk oleh proses interpretatif otak. Hal ini terjadi di sirkuit kortikal, khususnya korteks prefrontal, yang menurut LeDoux merupakan wilayah yang penting bagi kesadaran sadar.
BACA JUGA:
Dalam teori LeDoux, rasa takut dan semua emosi bersifat pribadi dan membutuhkan kesadaran diri. Tanpa kesadaran akan bahaya, karena mungkin membuat seseorang tidak dapat merasakan rasa takut. Bersama kolaboratornya, Hakwan Lau, LeDoux mengkategorikan memori atau pengalaman sadar menjadi tiga tipe. Pertama, kesadaran anoetik yang melibatkan memori prosedural implisit, memberikan kesadaran lagnsung dan non-reflektif tanpa menggunakan pengetahuan eksplisit atau introspeksi.
Kedua, kesadaran noetik yang bergantung pada memori semantik untuk pemahaman faktual. Ketiga, kesadaran autonoetik yang menggunakan memori episodik untuk kesadaran refleksi diri, menghubungkan pengalaman saat ini dengan peristiwa pribadi di masa lalu dan masa depan.
Sebagai penutup Lewis mengutip pertanyaan seorang filsuf, David Chalmers, yang bisa dijadikan bahan reflektif. Pertanyaan tersebut ialah “Bagaimana Anda dapat memiliki perasaan tanpa merasakannya?”. Petanyaan ini menjelaskan bahwa mekanisme afek -pada emosi dan perasaan- tak lepas dari pengalaman yang telah dialami tanpa menjelaskan pengalaman tersebut secara terperinci.