JAKARTA – Ditengah beraktivitas, tak jarang pikiran mengembara. Singgah pada hal-hal diluar pekerjaan atau mengembara dalam lamunan. Melamun adalah kondisi mental yang bersifat alamiah.
Ada sejumlah penelitian menemukan bahwa efek melamun negatif. Di satu sisi, melamun dianggap sebagai perusak kesehatan mental. Namun, berdasarkan studi komprehensif pada tahun 2019 oleh Kelsey Merlo dan rekannya dari Georgia Institute of Technology menemukan sebaliknya.
Studi ini melibatkan pekerja usia rata-rata 40 tahun dengan beragam jenis pekerjaan. Setengah dari peserta orang Kaukasia, Afrika Amerika 45%, dan 5% orang Asia. Dalam studinya, Marlo membagi pencarian fakta menjadi tiga bagian yaitu bagian awal, akhir, dan hasil.
Pada bagian awal, peserta diwawancara mengenai pemicu lamunan. Mayoritas menjawab karena kesedihan, kelelahan atau kebosanan. Ada juga menjawab karena melihat sesuatu atau seseorang. Dari tahapan awal disimpulkan bahwa melamun bisa didorong oleh kondisi mental yang bersifat internal dan bersifat eksterrnal.
Selanjutnya, lamunan dibangunkan oleh isyarat eksternal dan internal. Isyarat ekternal misalnya, notifikasi e-mail, sapaan orang sekantor atau disekitar.
Sedangkan isyarat internal muncul dari kesadaran masing-masing orang, misalnya cerita dalam lamunan sudah tamat dan menyadari bahwa mereka berjarak dengan kenyataan.
Menariknya, melamun berefek pada kesehatan mental seseorang dan produktivitas dalam bekerja. Berdasarkan tanggapan dari para peserta penelitian yang dilakukan Marlo, mereka menggambarkan berbagai dampak dari melamun.
BACA JUGA:
Dari sisi negatif, peserta merasa bersalah karena ‘membuang’ waktu produktif untuk menghidupkan kembali peristiwa menyedihkan dalam dunia lamunan. Namun, gambaran dampak positif lebih banyak. Mereka mungkin menganggap bahwa menghabiskan waktu dengan melamun memicu rasa bersalah.
Rasa bersalah ini justru menjadi cambuk untuk menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dan segera menuntaskan waktu yang terpotong untuk melamun.
Dilansir dari Psychology Today, Susan Krauss Whitbourne, Ph.D. –profesor emeritus Psychology and Brain Sciences di University of Massachusetts Amherst menilik kembali studi oleh Marlo. Menurutnya, seorang konsultan perangkat lunak menganggap bahwa melamun itu waktunya sangat pendek.
Artinya, tidak merasa terganggu dengan waktu kerja terpotong karena melamun dan justru merasa menyenangkan. Beberapa peserta penelitian menyatakan bahwa mereka bekerja lebih keras setelah lamunan berakhir. Ini dilakukan untuk mengejar waktu dan tenaga yang hilang.
Dicatat juga respon seorang peserta yang berprofesi sebagai administrator keuangan. Punya waktu jeda diisi dengan melamun, setelahnya membuat lebih sedikit kesalahan. Ia mengaku, karena saya bosan dengan tugas maka pikiran mengembara atau melamun.
Pada intinya, dari jawaban beberapa responden dapat disimpulkan bahwa efek melamun tidak selalu negatif. Meskipun ada juga mengaku bahwa melamun itu membuang-buang waktu. Lebih jauh lagi berdasarkan benang merah yang ditandai Whitbourne, melamun dapat dimanfaatkan sebagai pelepasan diri sejenak dari tuntutan pekerjaan.
Anda tak perlu menunggu libur panjang atau mengajukan surat ijin cuti untuk beristirahat, mengembara, dan bertualang. Meski melamun dalam waktu singkat dan terlihat sepele, tetapi melamun dapat meningkatkan kesadaran dan kedamaian.