Pasangan Rinni Wulandari dan Jevin Julian dipertemukan lewat project Soundwave dalam sebuah jang pencarian bakat bertajuk 'The Remix' pada 2015. Kemudian mereka menikah pada 7 Mei 2017. Hingga kini, mereka konsisten membesarkan electronic dance music (EDM) lewat nama Soundwave.
Pasangan ini mengalami banyak kemajuan setelah menikah. Yang pasti, salah satu kemajuan yang mereka miliki adalah buah cinta mereka yaitu Nord Kiano Julian. Bakat musik mereka menurun langsung pada Nord.
"Pas usia dua tahun dia bersenandung menciptakan nada sendiri. Takjub banget ya. Kenapa nggak kita bikinin lagunya?" ujar Rinni saat berbincang dengan VOI di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Rabu, 22 Januari.
BACA JUGA:
Jevin kemudian membuatkan lagu Go Thomas dan mengunggahnya di YouTube. Tak disangka lagu itu masuk dalam nominasi AMI Awards 2020 untuk kategori Artis Solo Lelaki/Perempuan Anak-anak Terbaik lewat lagunya berjudul Go Thomas pada Oktober 2020 lalu.
"Pas tahu masuk nominasi itu senang banget. Nggak berani berharap menang, meskipun tetap vote juga," kenang Rinni.
Pencapaian prestasi itu dianggap sebagai bonus. Karena awalnya, mereka ingin memberikan bukti pada Nord bahwa dia berbakat musik sejak kecil.
"Tujuannya untuk mensupport aja sih, kan kita berdua musisi jadi saat kita lihat potensi dia nyanyi-nyanyi ngasal gitu kenapa enggak kita bikinin lagunya. Sebatas itu aja sih sebenarnya. Bisa jadi ini buat ngasih lihat saat anak sudah dewasa, lihat nih kecil-kecil sudah punya lagu nih," kata Jevin.
Sebagai duo Soundwave yang mengusung EDM, keduanya selalu tampil kompak. Rinni yang merupakan pemenang 'Indonesian Idol' musim ke-4 di tahun 2007 kini menikmati karir sebagai penyanyi solo dan duo dalam Soundwave.
"Kita lagi persiapkan single dan album Soundwave, rencanannya di tahun ini," jelas Rinni.
Jevin dan Rinni bisa dibilang konsisten dalam memproduksi karya musik EDM. Skill mixing dan beatbox yang dimiliki Jevin berpadu harmonis dengan kualitas vokal Rinni. Remake lagu-lagu lawas juga terasa segar. Kesuksesan karier Soundwave tentu tak lepas dari kompaknya hubungan dibangun Rinni dan Jevin.
"Buat Soundwave, kita pengin banget bisa punya karya yang diminati banyak orang. Seperti saat ini, musik Elektronic Dance Music lagi ngetren dan masih ada terus. Kita nggak tahu 10 tahun ke depan masih diminati atau enggak. Kita penginnya ada terus ya. Jangan sampai saat ini ada, terus nanti sudah nggak ngetren kita nggak ada, penginnya ada terus. Saoundwave terus ada," terang Rinni.
Jevin sendiri menyadari bahwa EDM bukan musik yang gampang diterima telinga masyarakat Indonesia. Namun, Jevin tak mau menyerah.
"Saya sadari musik yang saya bikin bukan musik yang mudah dijual di Indonesia. jadi saya pengin banget bisa menemukan market dan komunitas yang tepat untuk musik saya," harapnya.
Kolaborasi apik berdua tidak membuat mimpi solo Rinni pupus. "Buat solo aku sendiri pengin punya lagu yang bisa dinikmati banyak orang, karena penikmat aku masih minoritas, penginnya yang mayoritas juga dengerin lagu aku. Sampai situ dulu sih goal aku. Aku percaya kalau goal ini tercapai, pintu-pintu lain akan terbuka lebih melebarkan sayapku lagi di industri musik," harapnya.
Pernikahan mengubah kebiasaan hidup mereka, juga produktivitas dalam karya. "Produktivitas itu beda setelah menikah, idealnya kita sudah punya waktu bersama, punya studio di rumah sendiri, kita bisa bikin banyak lagu harusnya. Tapi ternyata enggak. Karena ada waktu-waktu tertentu yang kita butuh untuk bangun untuk keluarga. Ada juga waktu pengin santai tanpa kerjaan. Mungkin karena tambah umur, sudah punya anak, jiwanya juga berubah nggak seperti seproduktif dan ambisius dulu. Mungkin pola pikirnya berubah lebih santai, lebih ke keluarga," papar Jevin.
Inilah yang mendasari Rinni dan Jevin merasa nyaman berada di indie label. Mereka bergerak sesuai dengan kreativitas mereka sendiri. Selain itu, mereka juga punya tujuan lain dengan membangun label sendiri.
"Untuk memberikan kebebasan kita membuat karya. Supaya bisa membangun label kita sendiri, branding sendiri, siapa tahu nanti kita juga bisa produce penyanyi lain dari label kita ini. Kita lebih pengin mengembangkan bisnis kita nggak cuma musisi saja," kata Rinni.
"Sebenarnya untuk kita ini masih starting label, masih belajar banget bagaimana kita bisa mengembangkan dan masuk di industri musik yang serba digital ini. Untuk membangun label indie untuk kita, saya dan Rinni Wulandari masih terus belajar," imbuh Jevin.
Platfom digital untuk musik saat ini semakin banyak. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan Rinni Wulandari dan Jevin Julio. Namun, mereka sada butuh waktu dan tenaga sendiri untuk mempelajari pemasaran musik di platform digital.
"Kita mempelajari semuanya, saya rasa memang ada generasi-generasi tertentu yang fasih menggunakan tehnologi tertentu. Contohnya kayak saya dengan generasi di atas saya, saya lebih fasih menggunakan tehnologi dibanding generasi di atas saya. Saya dan bapak saya misalnya, saya lebih fasih menggunakan alat musik ditigal. Tapi untuk saya dan generasi saya di bawah mungkin di bawahnya lebih fasih menggunakan sosial media dibanding dengan generasi saya," kata Jevin.
Untuk musik, Jevin mengaku awalnya masih konvensional. Yang dia pikirkan awalnya hanya membuat musik dan lagu saja. Namun, perubahan erasa digital mengharuskanya belajar. "Jadi memang ada generasi-generasinya sendiri. Tapi ya harus tetap keep up untuk kita bisa bertahan di industri ini," kata Jevin dengan semangat.
Jevin mengaku sedang mempelajari bagaimana pola menjual lagu di berbagai platform digital. Pola hak cipta, menjaga ritme media sosial.
"Saya melihat Hindia itu bisa menyeimbangkan zaman ya. Karena sekarang kita ngak bisa cuma rilis lagu. Dulu orang rilis lagu itu bisa sebulan sekali. Jadi ada masa mendengar dan mengingatnya. Sedangkan sekarang iap hari ada lagu baru, kalau kita tidak manage media sosial kita, orang akan lupa. Ini yang masih terus saya pelajari," papar Jevin.
Selain itu, Jevin maupun Rinni juga belajar melihat batas cover dan plagiarisme. Karena di dunia digital plagiarisme lebih mudah dilacak. Dan ruang kolaborasi semakin juga semakin luas di era digital.
"Kalau untuk aku sih untuk lagu dicover aku senang banget ya. Kalau sebatas cover di Youtube, sosial media ya nggak perlu izin-izin. Ya silahkan saja," kata Rinni.
Beda urusan ketika seseorang membuat karya ulang tanpa izin yang menjadi plagiarisme. Apalagi Soundwave cukup aktif membuat lagu lawas dalam versi EDM.
"Lagu yang kita buat kan sebenarnya ada yang ngurusin hak cipta juga. Kita penginnya karya kita dihargai sepantasnya, tidak dipergunakan dengan tanpa seizin siapapun. Kalau misalnya sudah izin, untuk diproduce ulang, rilis ulang, ya harus ada izinnya," katanya.
Jevin pun terbuka untuk kolaborasi karya di era digital ini. "Batasan lagu diplagiat itu kalau melodi dan lirik yang sama, yang lebih ketara dan kelihatan itu. Sebenarnya cord juga bisa plagiat, tapi nggak terlalu banyak orang yang memperhatikan soal progesi cord. Yang paling kehilatan itu melodi dan lirik. Dan itu ada batasan, kalau nggak salah 8 bar. Kalau lebih dari itu ya udah dibilang plagiat," tegasnya.
Meskipun begitu, Rinni Wulandari dan Jevin Julian tak mau buang energi dengan menempuh jalur hukum jika sampai karya mereka diplagiat. Jalur kekeluargaan lebih mereka pilih karena mereka tak ingin menghabiskan energi untuk mengurus persoalan di ranah hukum.
"Misalkan saya nulis lagu sendiri, bikin lagu sendiri terus diplagiat, saya akan kontak orangnya secara personal. Saya bilang ke manajemen, ajak ketemu meeting bareng-bareng, kita cari win-win solutionnya seperti apa. Karena menurut saya itu lebih wise dan kekeluargaan dibanding harus menggunakan jalur hukum. Kalau bisa diselesaikan secara personal, diam-diam ya kenapa nggak," pungkas Jevin.