JAKARTA - Film animasi Turning Red mengisahkan perjalanan gadis remaja Meilin Lee (Rosalie Chiang) menuju dewasa. Dia adalah gadis berusia 13 tahun berdarah China yang percaya diri dan memiliki sekelompok teman yang solid.
Meilin juga berprestasi di sekolah dan memiliki kedekatan dengan keluarganya, yaitu ibunya bernama Ming (Sandra Oh) yang tegas, dan ayah yang santai bernama Jin (Orion Lee).
Ketiganya mengelola kuil penghormatan leluhur mereka, Sun Yee, yang terletak di sebuah pecinan di Toronto, Kanada. Dalam sejarah keluarga Lee, leluhur Sun Yee memiliki kemampuan dan hubungan khusus dengan panda merah. Keluarga Lee percaya bahwa makhluk mistis itu telah memberkati keluarga mereka dengan keberuntungan dan kemakmuran.
Seperti gadis kecil yang beranjak remaja pada umumnya, Meilin juga mulai menemukan ketertarikan akan berbagai hal selain kegiatan akademis di sekolah. Ia dan teman-temannya mulai menaksir seorang anak laki-laki, hingga mendengarkan lagu-lagu pop dari sebuah grup idola, dalam film ini bernama 4*Town.
Memiliki ibu yang begitu tegas dan tertib, terkadang membuat Meilin tidak bisa bebas mengekspresikan diri dan mengeksplor minatnya akan hal-hal ringan dan populer di kalangan teman-teman sebayanya. Fase tumbuh dewasa itu membuat Meilin terkadang menjadi tak terkontrol dan bertengkar dengan ibunya karena perbedaan pendapat.
Pada suatu hari, Meilin bangun di pagi hari dan mendapati dirinya berubah menjadi seekor panda merah, alih-alih dirinya sendiri yang menggemaskan dengan kacamata bulatnya. Ia awalnya mencoba menyembunyikan perubahan tersebut dari kedua orang tua dan sahabat-sahabatnya.
Di pagi itu, Ming, yang belum mengetahui perubahan drastis itu, menganggap putrinya mendapatkan menstruasi pertamanya. Namun, rupanya Meilin telah bertransformasi ke bentuk yang lebih mengejutkan dan besar.
Dikutip dari ANTARA, Sutradara Domee Shi, peraih piala Oscar untuk film pendeknya Bao (2018), menulis naskah ini bersama Julia Cho. Keduanya yang berdarah Asia, mampu menciptakan keseimbangan antara fantasi, budaya, dan kiasan film remaja kontemporer dalam Turning Red.
Selain itu, penggambaran ibu Asia yang begitu familiar tak terkecuali bagi penonton Indonesia, juga sangat akurat dan menyenangkan untuk disaksikan. Kehangatan yang disajikan dalam Turning Red seakan menjadi pengingat bahwa film ini dibuat dengan hati-hati, tulus dan penuh kegembiraan oleh para kreator di baliknya.
Dinamika hubungan antara orang tua dan anak yang diceritakan secara jujur ini menjadi sebuah "mesin waktu" bagi penonton dewasa untuk kembali ke masa kecilnya -- menimbulkan senyuman hingga rasa haru akan momen-momen kecil yang mungkin pernah dirasakan dulu.
Penampilan Chiang dan Oh sebagai duo anak dan ibu juga menguatkan intensi dari pembuat film dengan baik. Chiang mampu membawakan Meilin yang ceria dan ekspresif dengan menggemaskan dan otentik dalam debut pengisian suara film fitur animasi pertamanya ini.
Sementara Oh sebagai Ming, membawa tokoh tersebut yang begitu tertib dalam segala hal, tapi di satu sisi juga pandai meredam sisi rapuhnya dengan cinta dan perhatian yang tulus untuk kebahagiaan anak tunggalnya, Meilin.
Tapi ada juga konflik internal Mei yang belajar untuk tidak kehilangan kendali, sama seperti remaja lainnya, saat berjuang dengan ketakutannya yang mengakar untuk mengecewakan ibunya.
Tak hanya konflik familier namun juga penuh kedalaman makna di dalamnya, terdapat masalah dan dilema ringan yang terasa menantang bagi anak-anak berusia 13 tahun seperti Meilin: bagaimana caranya bisa mengumpulkan uang demi menonton konser grup idola kesayangan!
Perjalanan ini juga sangat menyenangkan, dan menambah elemen menyegarkan nan lucu dalam film.
Potret persahabatan remaja yang penuh kasih juga tercermin dalam "Turning Red". Penerimaan yang instan dari teman-teman Meilin atas transformasinya menghasilkan beberapa momen yang menggembirakan.
Terdapat pula montase "Bootylicious" yang asyik untuk disaksikan dan menjadi salah satu hal yang tidak terlupakan dari film ini. Selain hangat, namun juga menambah sisi emosional nan lekat bagi audiens.
Ada pun kepribadian dari semua gadis digambarkan dengan baik -- tidak hanya dalam karakteristik wajah dan fisik, tapi juga dalam akting suara dari Ava Morse sebagai Miriam; Maitreyi Ramakrishnan sebagai Priya; dan Hyein Park sebagai Abby.
Fakta menarik, Park merupakan seorang seniman di Pixar yang mengerjakan "Bao" (2018), "Toy Story 4" (2019), dan "Soul" (2020).
Secara keseluruhan, film ini dengan hangat merayakan karakter yang beragam secara ras di kota multikultural tempat mereka tinggal.
Berlatar di kota Toronto, Kanada pada awal tahun 2000-an, "Turning Red" memiliki visual yang sebagian besar dibentuk oleh palet warna pastel nan cerah dan memanjakan mata.
BACA JUGA:
Gaya animasinya pun bisa dibilang cukup baru dan berbeda dari film-film Pixar sebelumnya. Sutradara Shi dan tim animasi banyak mengadaptasi gaya penggambaran seperti animasi dan komik Jepang (anime dan manga). Hal ini membuat karakter-karakter dalam "Turning Red" menjadi dramatis, ekspresif, dan jenaka.
Dari sisi audio, Shi menggandeng komposer asal Swedia pemenang penghargaan GRAMMY, Oscar, dan Emmy, Ludwig Göransson ("Black Panther", "The Mandalorian"). Tak diragukan lagi bagaimana scoring dari film begitu melengkapi keindahan visual yang disajikan.
Selain itu, Billie Eilish dan FINNEAS juga ikut andil dalam menulis lagu bagi grup 4*Town. Ada tiga lagu yang diciptakan spesial untuk film ini, termasuk lagu "Nobody Like U" yang menjadi lagu dalam trailer "Turning Red".
Secara keseluruhan, "Turning Red" adalah kisah tentang perubahan dan momen-momen transisional yang dialami praremaja. Ceritanya menyegarkan sekaligus lekat dengan banyak orang -- tentang fase kehidupan ketika kita mencoba untuk mencari tahu siapa dirinya sebenarnya.
Turning Red adalah film yang orisinal, manis, dan jenaka. Menjadi pengingat hangat nan penuh kasih bahwa masa remaja adalah masa kehidupan yang tidak mudah "dijinakkan", dan terkadang apa yang tersembunyi di dalam diri kita pun perlu dilepaskan. Turning Red tayang di Disney+ Hotstar pada 11 Maret 2022.