Apa Itu Depersonalisasi-Derealisasi dan Bagaimana Cara Mengontrolnya
Ilustrasi (Sinitta Leunen/Pexels)

Bagikan:

JAKARTA -  “Ini tidak terasa nyata lagi.” Mungkin pernyataan itu menggemakan pengalaman yang Anda alami baru-baru ini yang terasa tidak nyata? Bagi banyak orang, pengalaman "tidak nyata" ini menjadi lebih produktif selama tahun 2020 dengan perubahan mendadak yang dibawa oleh pandemi.

Saat mengalami stres, seseorang mungkin merasa persepsi mereka tentang realitas tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang asing. Mereka mungkin juga merasa terputus dari rasa "diri". Hidup kadang membawa peristiwa yang berdampak pada  realitas, seperti kehilangan orang yang dicintai secara tiba-tiba dan tidak terduga, menghadapi situasi yang sangat menakutkan, atau ketika dihadapkan pada peristiwa yang tidak sesuai yang membuat stres.

Ini semua adalah respons emosional terhadap situasi yang dapat menghasilkan efek destabilisasi pada diri dan persepsi seseorang, sehingga menghasilkan pengalaman depersonalisasi dan derealisasi. Depersonalisasi dan derealisasi adalah reaksi kompleks yang dulunya dianggap sebagai gangguan yang berbeda hingga tahun 2013 ketika American Psychiatric Association mengkonsolidasikannya sebagai gangguan depersonalisasi-derealisasi atau DP/DR.

Melansir Psychology Today, Selasa, 25 Januari, berikut gejala depersonalisasi.

  • Merasa seperti pengamat luar untuk pengalaman Anda, jauh dari tubuh, seolah-olah "mengambang di atas diri sendiri."
  • Merasa seolah-olah tubuh Anda terdistorsi secara berlebihan.
  • Mati rasa fisik atau emosional sebagai respons terhadap lingkungan Anda.

Sedangkan gejala derealisasi, dapat dirasakan jika;

  • Tidak seperti pengalaman "keluar dari tubuh"pada  depersonalisasi, derealisasi mungkin terasa lebih seperti "terasing" atau tidak biasa dengan lingkungannya sendiri.
  • Lingkungan menjadi terdistorsi, buram, artifisial, atau memiliki efek "seperti mimpi".
  • Distorsi dalam waktu, jarak, dan suara sering terjadi.

Menurut peneliti Schlax et al. (2020), banyak gejala DP/DR diakibatkan oleh gangguan pada kemampuan untuk mengatur emosinya sendiri. Paling sering, perasaan yang lewat dari depersonalisasi dan derealisasi adalah hal biasa. Sekitar 50% orang memiliki setidaknya satu pengalaman seperti itu dalam hidup mereka. Namun, ketika perasaan ini terus berlanjut, inilah saat yang tepat untuk mencari bantuan dari profesional kesehatan.

Pengobatan DP/DR

Dalam bidang kesehatan mental, psikoterapi dianggap sebagai salah satu pilihan utama dalam mengobati DP/DR. Psikoterapi menawarkan kesempatan kepada klien untuk melepaskan beban diri dengan berbagi pengalaman. Metode ini dapat bermanfaat bagi seseorang yang mengalami DP/DR dengan membantu mereka memahami pengalaman mereka dan memahami berbagai hal.

Memodifikasi Perasaan

Ketika gejala dari DP/DR mulai, segera gunakan beberapa prinsip dasar untuk tetap sadar, tenang, dan mengarahkan kembali diri Anda.

Coba bernyanyi

Anda mungkin tahu nyanyian Om yang digunakan oleh para Biksu dalam tradisi Hindu dan Buddha. Latihan nyanyian vokal dapat digunakan untuk merangsang saraf vagus. Suara vokal yang meluncur dapat dirasakan di seluruh tubuh dan merupakan pengalih perhatian yang baik untuk pikiran dan tubuh.

Mendengarkan musik

Musik dapat menjadi mekanisme dasar yang sesuai karena musik telah terbukti mengurangi kadar kortisol yang memengaruhi stres.

Membaca buku

Sebuah penelitian di University of Sussex, peserta yang membaca selama enam menit telah menunjukkan detak jantung yang lebih rendah dan mengurangi stres. Membaca fiksi melibatkan

Menulis jurnal

Setelah Anda mengatur intensitas momen, temukan waktu untuk mencatat pengalaman Anda sebagai cara simbolis lain yang kuat untuk memproses perasaan Anda.