Mengenal Gejala Trauma Kompleks yang Berdampak pada Sistem Saraf, Perlu Diatasi Bertahap
Ilustrasi trauma kompleks, gejala, penyebab, dan terapi yang efektif menyembuhkan (Unsplash/Tabitha Turner)

Bagikan:

YOGYAKARTA – Trauma kompleks dialami oleh seseorang yang menyimpan kenangan di masa lalu, tetapi masih terekam sampai saat ini. Kehilangan orang yang dicintai, mengalami pelecehan fisik dan emosional, serta pengalaman yang ingin dilupakan merupakan sebagian kecil pemicu trauma kompleks.

Menurut perkiraan peneliti dilansir PsychCentral, Kamis, 13 Oktober, lebih dari 3 persen orang Amerika Serikat mengalami C-PTSD atau complex post-traumatic stress disorder. Trauma kompleks terjadi ketika otak dan tubuh kewalahan setelah mengalami pengalaman traumatis. Mereka sulit keluar dari mode fight-flight-or freeze. Artinya, seseorang yang mengalami trauma kompleks sulit kembali pada keadaan santai.

Secara umum, trauma merujuk pada satu kejadian. Sedangkan trauma kompleks mengacu pada serangkaian peristiwa traumatis yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang, bahkan menahun.

Trauma kompleks pertama kali diidentifikasi oleh Judith Lewis Herman pada tahun 1990-an. Gejala trauma kompleks dan PTSD memiliki beberapa kesamaan. Termasuk sering merasa cemas, mengalami kilas balik, dan menghindari keadaan yang mengingatkan pada peristiwa traumatis. Seseorang yang mengalami trauma kompleks, kesulitan mengendalikan emosi, mendistorsi rasa diri, dan terperangkap dalam hubungan tidak sehat.

gejala trauma kompleks, terapi yang efektif untuk trauma
Ilustrasi gejala trauma kompleks dan terapi yang efektif menyembuhkan (Unsplash/Jake Ingle)

Ketika seseorang mengalami peristiwa traumatis, limbik otak aktif. Cara kerja sistem limbik seperti ‘alarm kebakaran’ yang dapat mematikan semua sistem yang ‘tidak penting’, seperti istirahat, pencernaan, dan tidur. Ini berarti tubuh akan lebih banyak kortisol, atau hormon stres, sehingga bersiap untuk ‘melawan, melarikan diri, atau membeku’.

Pada kondisi normal, setelah melewati situasi stres, saraf parasimpatis kembali santai. Fungsi kognitif akan normal kembali. Rasa gelisah pun mereda. Tetapi bagi orang yang hidup dengan trauma kompleks, mode santai ini tidak sepenuhnya dialami. Sistem limbik seseorang dengan trauma kompleks akan bekerja sepanjang waktu. Keadaan saraf yang ‘waspada tinggi’ ini dapat memengaruhi pikiran, tindakan, bahkan hubungan sosial. Gejala trauma kompleks, antara lain:

  • Mengalami kilas balik.
  • Hilang ingatan.
  • Kesulitan mengatur emosi.
  • Penyimpangan dalam memori.
  • Depersonalisasi dan derealisasi.
  • Gangguan tidur atau mimpi buruk.
  • Harga diri rendah atau persepsi diri negatif.
  • Menghindari orang, tempat, atau peristiwa yang membuat kesal.

Seseorang yang mengalami trauma kompleks, mungkin dipicu beberapa peristiwa berikut ini:

  • Pelecehan seksual.
  • Pelecehan fisik atau emosional yang berkelanjutan.
  • Pengabaian.
  • Pelecehan medis atau trauma medis.
  • Penyiksaan atau ditawan.
  • Parentifikasi atau anak-anak yang mengambil tanggung jawab orang dewasa.
  • Kampanye genosida.
  • Tinggal di zona perang atau daerah konflik.
gejala trauma kompleks, terapi efektif untuk trauma
Ilustrasi gejala trauma kompleks dan terapi yang efektif untuk trauma (Unsplash/Pawel Szvmanski)

Ketika mengalami trauma kompleks, terapi perlu dilakukan secara bertahap. Karena setiap orang memiliki kisah yang unik, terapi yang berhasil pada satu orang mungkin tidak berhasil untuk orang lain. Tetapi pada umumnya, terapi yang dilakukan bertujuan memberikan pengalaman emosional korektif untuk penyembuhan. Berikut, sejumlah terapi yang efektif untuk trauma kompleks:

  1. Cognitive behavioral therapy (CBT), dilakukan untuk mengeksplorasi hubungan antara perasaan, pikiran, dan perilaku. Setelah ketiganya terkoneksi, maka tindakan akan lebih terkontrol.
  2. Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR), perawatan yang dipandu dengan ketukan (atau nada) lembut untuk memproses ulang peristiwa traumatis dan membentuk keyakinan baru.
  3. Internal Family System (IFS), pendekatan yang mengintegrasikan bagian-bagian berbeda dari kepribadian sehingga menjadi ‘diri’ yang utuh untuk memproses ulang peristiwa traumatis dengan cara yang positif.
  4. Terapi somatik yang berpusat pada tubuh, dilakukan dengan mengajarkan tubuh bahwa ia harus siap menghadapi trauma sepanjang waktu.
  5. Dialectical behavioral therapy (DBT) yang efektif untuk borderline personality disorder (BPD) untuk mempelajari kesadaran, penerimaan diri, dan toleransi terhadap tekanan.

Selain kelima jenis terapi di atas, ahli juga menyarankan latihan pernapasan. Latihan pernapasan bisa berefek secara langsung untuk memberi tahu tubuh bahwa mereka aman. Tekniknya, antara lain berikut ini:

  1. Pernapasan 4-7-8: tarik napas selama 4 detik, tahan selama 7 detik, buang napas selama 8 detik.
  2. Pernapasan kotak: tarik napas 4 detik, tahan selama 4 detik, buang napas selama 4 detik, dan tahan selama 4 detik.
  3. Pernapasan lubang hidung alternatif: letakkan ibu jari kanan di atas lubang hidung kanan. Tarik napas dan buang napas delapan kali melalui hidung kiri serta ulangi di sisi lain.

Sebagai tambahan, latihan kesadaran dengan yoga, tai chi, menari, dan meditasi juga dibuktikan sebagai cara efektif mengatasi trauma kompleks. Penting untuk diingat, seseorang dengan trauma kompleks perlu meyakini bahwa ia tidak sendirian dan akan menjadi lebih baik.