Bagikan:

JAKARTA - Tahun 2022 dibuka dengan film Cinta Pertama, Kedua, dan Ketiga di bioskop. Film ini seperti merangkum kejadian yang dialami selama pandemi dalam dua tahun terakhir. Sebagai pemain utama, Slamet Rahardjo Djarot antusias dengan penayangannya.

Mungkin karena usia yang sudah matang 72 tahun. Atau mungkin karena pengalaman hidup yang sudah banyak dikumpulkan, berbincang tentang pandemi dengan Slamet Rahardjo seolah tidak memperbincangkan masalah.

Pandemi, buatnya, adalah jalan berkah. Memulai karir sebagai aktor sejak tahun 1969, sudah puluhan film yang dibintangi oleh Slamet. Slamet mengawali kiprah aktingnya melalui dunia teater. Ia tergabung dalam Teater Populer arahan mendiang Teguh Karya. Hebatnya, ia masih tetap eksis sampai saat ini.

Ketika ditawari untuk bermain film Cinta Pertama, Kedua, dan Ketiga, Slamet sempat gamang. Begitupun keluarga mengkuatirkan keselamatannya.

Slamet Rahardjo Djarot (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

"Ketika ada tawaran film Cinta Pertama, Kedua, dan Ketiga mikir dulu. Ini film apa? Kan pandemi, ngapain bikin film? Anak-anak juga kuatir," kenangnya saat berbincang dengan VOI di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, 3 Januari.

Untuk menghilangkan kekuatiran, Slamet mencoba mengajukan kompromi. "Aku usul dalam film kita betul-betul di masa pandemi. Kita pemain dan figuran semua tampil pakai masker. Ketika kita sudah tinggal satu rumah, biasanya kan nggak masalah kalau buka masker. Jadi masih ada kemungkinan membuka masker," katanya.

Nyatanya, sepanjang syuting berjalan semua berlangsung aman. "Yang saya hargai dari produser adalah memegang teguh protokol kesehatan. Jadi orang tua seperti saya diberi prioritas. Saya diberi kamar khusus. Nggak usahlah ngobrol-ngobrol sebelum syuting," paparnya.

Taat protokol, menjadi kunci untuk menghilangkan kekuatiran orang rumah. Slamet memetik banyak pengalaman hidup saat syuting dimasa pandemi.

"Itu juga membuat saya semakin yakin ketika anak saya kuatir karena kumpul-kumpul orang. Tenang sutradaranya perempuan, jadi tertib jadi nggak kuatir, bapak di tangan yang benar. Selama kita menghargai orang lain. Kita nggak melakukan obrolan yang nggak perlu, alhamdulillah nggak ada satupun yang terinfeksi COVID-19. Gejala aja nggak ada," jelasnya.

Slamet Rahardjo Djarot (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Pria kelahiran Serang, Banten, 21 Januari 1949 ini merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara. Slamet yang pernah kuliah di Akademi Teater Indonesia (ATNI), dikenal total dalam berakting. Ia bisa melebur dalam peran-peran yang dibawakannya.

Film Cinta Pertama, Kedua, dan Ketiga ini menceritakan tentang kisah asmara Raja (Angga Yunanda) dan Asia (Putri Marino). Raja dan Asia punya kesamaan tanggung jawab, mengurus kedua orang tua tunggal mereka masing-masing. Bila Raja (Angga Yunanda) ingin hidup mandiri seperti kedua kakaknya, Asia (Putri Marino) sudah memilih untuk berbakti pada ibunya yang ia rasa telah mengorbankan segalanya untuk dirinya.

Lalu, Dewa (Slamet Radardjo Djarot) dan Linda (Ira Wibowo), orangtua mereka, mulai menyatukan hati. Raja senang, Asia ragu. Pada saat Raja meyakinkan Asia kalau kedua orangtua mereka cocok bersama, Raja dan Asia perlahan justru jatuh cinta. Hidup mungkin tak menentu, tetapi selalu ada yang terus menari dan menyala di hati saat kita memilih merayakan kehidupan.

Sebagai Dewa, Slamet mengaku kehilangan dirinya sendiri. Cerita keluarga yang sederhana dan menyentuh membuatnya menangis ketika melihat filmnya. Ini adalah pengalamannya pertama kali mendapati mata basah setelah film selesai dan lampu bioskop dinyalakan.

"Tadinya jengkel ini film kapan diputar, hampir dua tahun kan nunggu. Rupanya Allah berkehendak lain, rupanya Allah berpihak pada Produser dan Sutradara. Pada pembukaan tahun harapan harus muncul. Dan film ini memberi harapan," terangnya.

"Film ini kisahnya sederhana, tentang cinta keluarga, tetapi rupanya film itu nggak perlu spektakuler. Penyampai pesan, dan pesannya aduh bikin terenyuh. Aku keluar lihat semua orang matanya basah. Aku nggak pernah nangis nonton film, karena aku sutradara. Aku tahu ada kru, ada lampu, tapi malam itu aku diketawain mataku basah," lanjutnya.

Slamet merasa berhasil memerankan Dewa karena melihat sosok Dewa dia melupakan dirinya sendiri. Dibuat percaya akan jalan cerita film meskipun dia menjalani syutingnya.

"Ternyata aku main berhasil, itu bukan aku. Aku nggak seperti itu. Tapi ada yang seperti aku dalam Dewa. Hidup itu indah, saya senang bercanda, saya nggak suka dahi berkerut. Hidup itu bahagia, bukan penderitaan," katanya.

PANDEMI TETAP AKTIF BERAKSI

Slamet Rahardjo Djarot (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Slamet Raharjo mengawali debutnya lewat film Wadjah Seorang Laki-Laki (1971). Pria yang akrab disapa Memet ini berhasil meraih dua piala di ajang Festival Film Indonesia (FFI).

Pertama di FFI 1975 sebagai Aktor Utama Terbaik lewat film Ranjang Pengantin. Kedua, juga sebagai Aktor Utama Terbaik di FFI 1983 melalui film Di Balik Kelambu. Dua film tersebut sama-sama disutradarai oleh Teguh Karya, sahabat sekaligus guru dan mentor Slamet Rahardjo di dunia teater dan film.

Dua piala Citra pernah diraihnya. Di FFI 1985, Slamet menjadi Sutradara Terbaik melalui film Kembang Kertas dan FFI 1987 lewat film Kodrat. Namun sejak menyutradarai Marsinah: Cry Justice di tahun 2000, Slamet lebih fokus sebagai pemain saja.

Saat perfilman Indonesia sedang mati suri, Slamet masih tetap eksis di beberapa film independen dan bermain sinetron. Begitu perfilman Indonesia bangkit kembali, Slamet Rahardjo kembali eksis dan tampil di sejumlah film.

Pandemi juga tak menggerus semangatnya untuk tetap berkarya. "Alhamdulillah sampai hari ini masih ok. Bisa mempersembahkan film Cinta Pertama, Kedua, dan Ketiga. Bukan hanya film saya, saya dengar film yang lain ok. Artinya ketika masyarakat kehilangan kegamangannya, bukan takut, masyarakat Indonesia pada dasaranya suka nonton. Mereka kembali ke bioskop," paparnya.

Kabar rekor box office tahun lalu sudah dilalui oleh film Indonesia yang tayang di akhir tahun membuatnya semakin optimistis. "Kalau film sebelum ini luar biasa kayak sebelum pandemi. Jadi optimistis," katanya.

"Film Cinta Pertama, Kedua, dan Ketiga ini ada satu impian. Ternyata musibah ketika kita cerdas mengatasinya dia jadi berkah. Film kemarin membuat aku bahagia melihatnya. Semoga masyarakat bisa menikmati. Ini film nggak ada aneh-anehnya. Film sederhana yang mudah dicerna. I love you all my family. Maka itulah yang membuat aku menangis," lanjut Slamet Rahardjo.

Slamet Rahardjo Djarot (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Pandai beradaptasi dan ikhlas, menjadi kunci panjang umur Slamet Rahardjo. Tak mau mengeluh dengan pandemi COVID-19, Slamet bersyukur pandemi membuatnya makin bersyukur memiliki keluarga yang saling dukung.

"Ini semacam gayung bersambut, sebelum pandemi kita nggak sadar keluarga itu penting. Rumah kayak tempat mampir saja. Pergi pagi, pulang malam. Saat harus WFH kita sadar rumah itu bukan tempat mampir, stasiun, markas tempat kita meletakkan cinta kita," tegasnya.

"Istri kita ada disitu, anak-anak kita, ibu kita yang sudah sepuh. Rumah tiba-tiba menjadi inspirasi bahwa hidup ini indah," terangnya

Ketika banyak orang mengeluh dengan adanya pandemi, Slamet tidak begitu. Dia melihat pandemi sebagai jalan cinta dari alam semesta.

"Aduh Tuhan, kenapa harus melewati pandemi? Tapi itulah hidup, ada bahasa yang kita nggak mengerti dari yang Maha Kuasa ya. Tapi selain prihatin, terus terang saya sangat bersyukur mendapat cobaan ini. Pandemi ternyata bukan 100 persen musibah, pandemi juga berkah. Karena itu terbuka pikiran kita," tegasnya.

Slamet Rahardjo Djarot (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Sebagai lansia mendapat banyak perhatian dan cinta. Menjadi prioritas dari vaksin yang diberikan pemerintah, Slamet membalasnya dengan tetap aktif berkarya.

"Buat saya, cobaan dari Allah itu bukan berarti harus berhenti semua. Memang kita ini insan nggak mungkin memahami semua Illahiah. Tapi sebagai insan jangan hanya diam dan berdoa, ikhtiar dong. Nah, ikhtiarnya adalah protokol kesehatan, menghargai satu sama lain," tegasnya.

Bukan cuma protokol fisik, pencegahan penularan COVID-19 mengajarkan manusia untuk lebih menghargai hidup dan kehidupan. "Kalau saya terpapar, artinya saya bikin dosa. Kalau saya menularkan saya juga bikin dosa. Nah, itulah tanpa kita sadari rukun iman kita jalani. Memang ada 6 yang penting, dengan rukum iman kita jalankan, rukun islam kita jalankan dengan mudah," katanya.

"Kenapa harus cuci tangan, kayak anak kecil? Tapi setelah kita jalani, kita bisa tahu jangan-jangan kita ini bukan cuma harus membersihkan jasmani tapi juga rohani. Jangan-jangan masker itu bukan cuma kain ya. Tapi peringatan hati-hati dengan kata-katamu," lanjutnya.

Kata-kata bisa jadi fitnah, demikian kata Slamet ketika kita harus belajar bermasker. "Bisa menyelakakan diri sendiri dan orang lain. Masker itu bukan kain, masker adalah pengendalian," katanya.

Lalu kenapa harus jaga jarak? "Ini penting sekali. Kenapa hari ini orang pandai memuji diri sendiri? Kenapa orang merasa orang lain yang salah? Ternyata karena nggak punya jarak pandang. Terlalu dia melihat dari ujung hidungnya sendiri. Jadi merasa paling benar sendiri," jelasnya.

"Dengan menjaga jarak, kita bisa lihat lebih luas. Ternyata ok juga, ternyata anakku cantik, ternyata istriku masih ok belum terlalu tua. Jadi menjaga jarak juga memberikan makna bahwa kita dekat, tapi nggak harus berdempetan kayak rempeyek. Kita dekat hatinya, berkelindan itu jiwanya," tutup Slamet Rahardjo dengan indah.