Eksklusif GPH Paundrakarna Hadapi Polemik Takhta Mangkunegaran
GPH Paundrakarna Jiwo Suryonegoro (Foto: Koleksi Pribadi Paundra, DI: Raga/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Setelah Raja Pura Mangkunegaran Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IX berpulang pada Jumat 13 Agustus lalu, pernyataan tentang siapa yang bakal melanjutkan takhta Mangkunegaran masih belum ada jawaban. Posisi pemimpin tentu tidak boleh dibiarkan kosong terlalu lama. Sebagai putra pertama Mangkunegara IX, GPH Paundrakarna Jiwo Suryonegoro menjadi salah satu calon pengganti.

Usai peringatan 100 hari meninggalnya Mangkunegara IX, GPH Paundrakarna Jiwo Suryonegoro berbincang dengan VOI tentang hal tersebut.

"Menanggapinya harus wise, seenggak wise-nya saya, namanya juga ada kekurangan namanya manusia, kalaupun saya lagi marah saya ungkapkan dengan kemarahan. Lagian yang namanya amarah itu tidak bertahan lama, kalau sudah lepas ya lepas. Saya bertemu dengan yang bersangkutan-bersangkutan tadi malam ya harus ketemu, harus dihadapi, namanya gentlemen, harus dihadapi baru ketahuan bagaimana hubungan itu baik atau nggak, ada tidak beres atau baik-baik atau nggak, tapi semuanya baik-baik saja tuh, karena saya hadapin," ujar Paundra.

Paundra irit bicara pada media. Kearifannya terlihat ketika dia memilih 'menyepi' ke Solo meskipun karir di dunia entertaiment sangat bagus di kala mudanya. Kearifan itu juga terlihat pada caranya menjaga hubungan dengan calon pewaris takhta lainnya?

GPH Paundrakarna Jiwo Suryonegoro (Foto: Teddy Kurniawan, DI: Raga/VOI)

"Lebih ke privacy sih, kami berjumpa dalam suatu upacara adat dan resmi seperti yang mas lihat dan teman-teman lihat, siapapun secara langsung. Tapi kalau dalam keseharian ya privacy, saya pengin sendiri ya sendiri. Ketemu berlaku baik bersikap baik, yang jelas saya kalau sama mas Roy, karena saudara, saudara loh ya, ya sudah, saya tidak ada masalah dan semuanya baik-baik saja. Dan kalau masalah yang lain, saya bicara cuma saudara yang ada darahnya dengan saya, kalau yang tidak ada darahnya itu beda urusan," katanya.

Paundra menekankan posisinya sebagai anak tertua dari istri pertama dari ayahnya. "Saya cuma punya dua saudara, saya dan adik saya menur yang saya sayangi. Dan juga ke mas Roy dengan keluarganya, ibundanya mas Roy itu salah satu bude yang saya sayangi, jadi kalau sudah berhubungan dengan getih atau darah saya tidak ada masalah, maupun ada pertikaian ada ketidakcocokan saya masih bisa tolerir. Kalau yang beda privacy itu memang beda kehidupan," terangnya.

Seolah ingin menggambarkan posisinya yang 'tersisih' di masa muda, Paundra secara terang-terangan mengaku sudah lama mengalah. "Saya juga bukan anak kecil lagi, saya dan adik saya sudah punya kehidupan dan kami bisa dibilang selama 30 tahun lebih mengalah. Karena kenapa? ya akhirnya berdamai diri sendiri, ayah saya jelas-jelas punya kehidupan lagi yang harus saya terima, maklumi dan saya hadapi, jalani dan saya telan semuanya sendiri," kenangnya.

GPH Paundrakarna Jiwo Suryonegoro (Foto: Teddy Kurniawan, DI: Raga/VOI)

Selain Paundra, ada dua calon pewaris takhta yaitu KRMH Roy Rajasa Yamin dan GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo. Ketika ditegaskan apakah Paundra ada masalah dengan calon penerus takhta lainnya, Paundra mencoba mengalihkan perhatian.

"Sebenarnya gak ada apa-apa, cuma tiba-tiba saja dengan bergulirnya waktu, ya begitulah yah yang jelas garis bawah, saya tidak pernah punya masalah ya," katanya.

Karena tak kunjung ada kejelasan tentang siapa pewaris takhta Mangkunegaran, muncul kabar keluarga Mangkunegaran tidak kompak. Tak mau membela diri, Paundra mencoba bijak menghadapi opini masyarakat.

"Nggak apa-apa, walaupun apapun yang terjadi kan itu opini masyarakat yang kemudian tadi malam saya bertemu dengan yang bersangkutan pun ya baik-baik saja. Kalau menurut saya secara pribadi kami baik-baik saja mungkin rasanya dengan, apa ya bahasanya, ada pihak lain yang bahasanya, ikut cawe-cawe. Ataupun saking pedulinya, ataupun saking merasa dekatnya, punya dukungan tersendiri yang sehingga melupakan kalau Mangkunegaran itu adalah sebuah keluarga besar yang sebenarnya baik-baik saja. Kurang lebihnya begitu bahasanya," tegasnya.

Mangkunegaran telah menjadi bagian hidup Paundrakarna. Gemerlap karir di Jakarta rela ditinggalkannya. Jalan politik yang tergelar sebagai anak asuh Megawati juga rela dilepasnya. Jika ada yang mempertanyakan seberapa besar cintanya pada Mangkunegaran, Paundra tak punya ukuran pasti.

"Nggak usah diukur dari seberapa besar kecintaan saya kepada Mangkunegaran, itu sudah ada dalam napas dan darah saya, secara harfiyah dan secara tuntunan atau garis takdir. Kan aneh saya dari yang manusia urban Jakarta oke umur 25 sampai kurang lebih 10 tahunan kita kenal saya merantau ke Jakarta jadi artis dan sebagainya, akhirnya 2010 saya dapat amanat dari Bu Megawati dan Pak Kiemas untuk berpolitik dan untuk mendampingi Mba Puan di Kota Solo sebagai dapilnya, ya sudah saya kembali ke kota Solo, dan sudah," katanya.

"Tiba-tiba saya lepas dari dunia perpolitikan, banting setir banting arah untuk tetap stay di kota Solo membawa diri saya sebagai, aku orang Solo, aku orang daerah aku putra daerah, aku perwakilan daerah, aku artis, pekerja seni pelaku seni, pelaku tari, seniman tari yang kota Solo miliki dan juga Mangkunegaran itu sendiri yang miliki," lanjut Paundrakarna.

SOLO MEMANGGILNYA

GPH Paundrakarna Jiwo Suryonegoro (Foto: Koleksi Pribadi Paundra, DI: Raga/VOI)

Kakak dari Menur ini mempersilahkan masyarakat dan orang-orang yang menilai. Dia sendiri merasa Solo memanggilnya.

"Pokoknya secara harfiah saya sudah dari SMP aneh banget, bukan dari SMP saja, maksudnya lepas SD, itu sudah Solo Solo Solo sudah panggilan. Solo itu sudah awe awe gitu pokoknya Mangkunegaran, Mangkunegaran, aduh nikmatnya. Sampai akhirnya saya bikin keputusan kepada ibu Megawati selaku ibu asuh saya, orangtua angkat saya Mah Pah, itu Papah Jiwo mas gitu, dan dari situlah mendarah daging dari yang masih ke Jakarta-Jakarta-an masih yang pokoknya kiblatnya ibu kota, sampai akhirnya oh saya wong daerah, saya bangga sebagai wong Solo. Saya bangga sebagai wong Mangkunegaran, saya bangga sebagai masyarakat Mangkunegaran," tegasnya.

Karena masih ada dua kandidat lain, ada kemungkinan Paundra tidak mewarisi takhta Mangkunegaran. Jika itu terjadi, lalu bagaimana?

"Sudah tahu tapi gak mau ngomong gitu kalau bicara apa, bicara penglihatan atau yang dirasa-rasa gitu. Cuma gak kepengin saja ada keributan yang meluas atau meletup gitu. Kalau pun saya gitu, secara pribadi ya, kalaupun saya boleh memilih antara takdir dengan kehidupan pribadi saya gitu, aduh, karena saya bukan tipe orang apa namanya punya kepentingan dan mengejar itu sebagai cita-cita saya, tapi itu adalah merupakan bahasa, sebagai takdir saya, aduh saya sih pengin milih sebenarnya. Pengin milih cuman ya sudahlah diikuti saja, dan kalau nantipun, siapapun itu, kalau saya pada akhirnya menjadi hanya seorang GPH Paundrakarna JS saja, ya why not," jawabnya dengan mantap.

GPH Paundrakarna Jiwo Suryonegoro (Foto: Koleksi Pribadi Paundra, DI: Raga/VOI)

Sebagai manusia biasa, Paundra tak luput dari rasa gelisah dan ketidak nyamanan. Seberapapun tenangnya, Paundra pernah meluapkan perasaan melalui media sosial sehingga langsung menjadi gunjingan warganet. Apakah kekesalannya berkaitan dengan suksesi takhta Mangkunegaran?

"Nggak sih saya cuma kesal dengan situasi kondisi yang harus saya hadapi ini saja mas, gak enak rasanya, benar-benar gak enak gitu, kalau orang sudah dapat lulus ujian tinggal melangkah ke depannya dengan nyamannya. Saya harus hadapi dengan hal seperti ini yang kalau bahasanya, aduh mau ke situ saja gak enak banget rasanya, terus yang dihadapi bukan teman tapi manusia-manusia yang saya kenal, yang ada dalam kehidupan saya. Kenapa mesti ada mereka," paparnya.

Pria kelahiran 19 April 1979 ini telah menetapkan hati dan jiwa untuk Mangkunegaran. Jika memang naik takhta, dia ingin menjadi sumber penghidupan dan kehidupan kesejahteraan abdi dalem dan masyarakat Pura Mangkunegaran.

"Mangkunegaran itu bagi saya seperti negara Vatikan, kerajaan kecil yang bertahan dan diberi kesempatan dan diberi kemampuan hidup di dalam kehidupan kita sekarang ini. Itu gambarannya Mangkunegaran bagi saya seperti negara Vatikan, negara kecil yang cantik yang kalau secara bahasa saya yang harus diutamakan adalah ya kemasyarakatannya, kehidupannya, kesejahteraannya abdi-abdi, pokoknya wong cilik dulu," terangnya.

GPH Paundrakarna Jiwo Suryonegoro (Foto: Koleksi Pribadi Paundra, DI: Raga/VOI)

Dengan bekal kemampuannya di bidang seni, Paundra yakin bisa mengangkat derajat Mangkunegaran lewat budaya. "Kalau perkara nanti sudah berjalan ya itu adalah yang perlu akan diunggah diangkat adalah pariwisatanya tentu saja, kesenian, tradisi, budaya, kepemudaan, sosial dan pendidikan dan juga pelajaran. Pembelajaran daripada budi pekerti itu sendiri yang akan ditularkan kepada masyarakat dan siapapun yang ada di Pura Mangkunegaran, istilahnya bagi saya, Jowo jayang Jowone gitu," katanya.

Dia tidak bisa menghindari suksesi juga bagian dari politik. Takdirnya sebagai bagian keluarga politik tanah air juga tak bisa dihindari.

"Gak bisa jauh-jauh dari diri saya juga gimanapun juga, saya berada di tengah, dari darah Mangkunegaran. Memang dalam sejarahnya juga, ayah ibu saya menikah juga untuk unsur politik juga, bikin anak namanya Jiwo yang satu Sukma, dan nanti kalau punya anak namanya Paundra dan Menur, bahasanya kan gitu. Memang ada sejarahnya pokoknya ada sejarahnya, nah ini kan nanti masyarakat dan budayawan dan beliau-beliau ini yang bisa berpikir secara nurani dan berpikir jernih yang menilai dan ini kita juga kiprah kita di sini sudah dinilai oleh para politisi dan negarawan jangan salah, budayawan juga," katanya.

"Jadi ya kalau buat saya sih sebagai masyarakat dan orang Solo dan wong daerah yang sudah berjalan dan sudah terbentuk dan membentuk diri sampai sejauh ini saya sebagai GPH Paundrakarna JS itu saja itu sudah membuat saya antara tenang dan gak tenang, tapi Alhamdulillah tenang, InshaAllah," tegas Paundra.

Darah Soekarno yang mengalir di tubuhnya juga memberikan kepercayaan diri padanya. "Pokoknya apapun itu, siapapun yang sedang berkiprah itu, memang sudah takdir, sudah garis juga dan saya gak bisa jauh-jauh dari itu juga, tetap mendukung, terus sudah gitu yang jelas saya ikut bangga, berprestasi. Yang jelas-jelas keluarga Soekarno berprestasi," kata Paundrakarna.