シェア:

JAKARTA - Hari ini, 16 tahun yang lalu, 21 September 2006, buku karya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berjudul Islamku, Islam Anda, Islam Kita diluncurkan. Peluncuran itu bertepatan dengan ulang tahun kedua yayasan milik keluarga Gus Dur, The Wahid Institute di Hotel Arya Duta, Jakarta Pusat. 

Buku itu memuat 100 lebih tulisan dari Gus Dur dengan topik yang beragam. Khalayak luas pun menanti karya Gus Dur. Apalagi Gus Dur dikenal memiliki sudut pandang yang unik melihat suatu masalah. Pesan penting dari buku yang ditulis Gus Dur tak lain bagaimana mewujudkan Islam yang ramah dan toleran. 

Gus Dur adalah sosok yang gemar menggali banyak hal. Karenanya, pengetahuan Gus Dur tak melulu terbatas pada agama belaka. Ia menguasai segala macam hal. Dari seni hingga perfilman. Keluwesan Gus Dur dalam belajar jadi muaranya. 

Kemampuan itu buat Gus Dur acap kali nyambung dengan siapapun lawan bicaranya. Gus Dur biasanya akan memulai obrolan dengan kelakar-kelakar segar. Tawa dan suka ria pun terjadi. Sesudahnya, Gus Dur akan bersiap memasuki fase serius. Satu masalah dapat dikulitinya dari sudut pandang beragam.

Buku Gus Dur berjudul Islamku, Islam Anda, Islam Kita. (Istimewa)

Sahabat Gus Dur, Maman Imanulhaq Faqieh mengamini hal itu. Baginya, Gus Dur adalah rekan diskusi terbaik. Ia pernah iseng-iseng mengajak Gus Dur berdiskusi terkait pertiwa Bom Bali I yang baru terjadi. Tak disangka, Gus Dur menanggapinya dengan santai, namun serius. 

Bom Bali ditinjaunya dari banyak sudut pandang. Antara lain perspektif kemanusiaan, keagamaan, hingga kenegaraan. Semua penjelasan Gus Dur mengalir. Teratur bak memahami konsep hulu-hilir dari masalah. Kemampuan analisis Gus Dur itulah yang kerap dikagumi oleh rakyat Indonesia kebanyakan. 

“Tragedi Bali adalah sebuah peringatan bagi kita semua untuk mempertahankan identitas dan idealisme tanpa harus menjadi korban sebuah keinginan duniawi yang sesat dan sesaat, inilah konsep ikhlas yang diajarkan agama pada umat manusia. Gus Dur mengutip Sayyid Abu Bakri Al-Makki: Janganlah engkau mencampurkan sebuah idealisme dengan keinginan dunia yang sesaat dan menyesatkan karena hal itu akan mengakibatkan penderitaan.” 

“Semua sudut padang di atas merupakan sebuah pertanyaan besar akan peran agama dalam realitas kehidupan yang berkembang di masyarakat saat ini, sehingga kedudukan agama semakin jelas apakah ia sebagai jalan yang mampu menyelesaikan persoalan/masalah atau sebaliknya agama justru menjadi problem yang penghambat kemajuan dan hanya menjadi masalah dalam kehidupan,” cerita Gus Dur sebagaimana ditulis Maman Imanulhaq Faqieh dalam buku Fatwa dan Canda Gus Dur (2010). 

Kerinduan akan Gus Dur meninggi ketika ia lengser dari kursi orang nomor satu Indoensia pada 2001. Kala itu, orang-orang jarang lagi menikmati pandangan dan kelakarnya. Sebab, ia mulai jarang tampil di layar kaca.

Gus Dur dan Jokowi saat baru menjabat Wali Kota Solo, difoto pada Januari 2006. (Facebook/Blontank Poer)

Pada akhirnya kerinduan itu terbalas. Ulang tahun The Wahid Institute jadi muaranya. Acara perayaan ulang tahun itu sekaligus jadi momentum peluncuran dari buku karya Gus Dur berjudul Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Gus Dur sendiri yang membuka acara peluncuran di Hotel Arya Duta, Jakarta Pusat. 

Buku itu berisi 100 lebih tulisan Gus Dur. Buku Gus Dur dinanti banyak orang. Mahfud MD salah satunya. Kehadiran buku dengan total 412 halaman pun menjawab kerinduan akan pemikiran Gus Dur yang unik. 

“Bersamaan dengan ulang tahunnya yang ke-2, hari Kamis, 21 September 2006 lalu, The Wahid Institute meluncurkan buku karya Gus Dur berjudul Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Tak mudah menimbang keseluruhan isi buku tersebut melalui sebuah artikel, apalagi isinya merupakan kumpulan dari lebih 100 tulisan Gus Dur dengan topik yang beragam, yang sebenarnya dapat diresensi sendiri-sendiri karena memuat gagasan-gagasan yang tajam.” 

“Cukuplah dikemukakan bahwa secara umum buku itu mengekspresikan gairah Gus Dur untuk menjadikan Islam sebagai agama yang ramah, toleran, jauh dari kebengisan, dan tidak membuat golongan minoritas takut,” terang Mahfud MD dalam buku Gus Dur: Islam, Politik, dan Kebangsaan (2010).


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)