Kenaikan Harga BBM: Fluktuasi Sudah Terjadi Sejak Zaman Presiden Soekarno, Lantas Mengapa Harus Diributkan?
JAKARTA - Aksi protes terhadap kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi terus berkumandang pasca kenaikan harga BBM pada 3 September 2022. Sejumlah elemen masyarakat mulai dari kalangan mahasiswa hingga serikat buruh sudah bersiap turun ke jalan.
Mereka melakukan demonstrasi ke Istana Negara dan ke Gedung DPR pada 5 September 2022.
Sejumlah mahasiswa di Makassar, Sulawesi Selatan bahkan memulai demonstrasi lebih dulu tepat setelah penyesuaian BBM diumumkan. Kemudian, berlanjut oleh para mahasiswa di Mamuju, Sulawesi Barat satu hari sesudahnya.
Menurut Juru bicara Badan Intelejen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto, masyarakat berhak menyuarakan tuntutan melalui demo selama mengikuti aturan yang berlaku dan tidak bertindak anarkis.
"Demo bukan sesuatu yang dilarang, namun tetap harus mengikuti aturan main, waktu dan tidak anarkis, serta memberitahukan sebelumnya kepada yang berwajib," tutur Wawan dalam keterangan resmi, Minggu (4/9).
Ungkapan protes kenaikan harga BBM bersubsidi juga marak di sosial media. Anggota Komisi I DPR Fadli Zon, di akun twitternya pada Minggu (4/9), menyebut kenaikan harga BBM sebagai resep ekonomi neoliberal.
"Kenaikan BBM berdasarkan mekanisme pasar adalah resep ekonomi neoliberal. Resep dan perintah konstitusi UUD 1945: “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” tulis mantan Wakil Ketua DPR itu.
Tak hanya dengan narasi santun. Protes di sosial media juga banyak disampaikan dengan narasi nyinyir. Banyak netizen kembali membongkar jejak digital para elite partai banteng moncong putih yang ketika menjadi oposisi selalu bersuara keras saat pemerintah SBY menaikkan harga BBM. Namun, ketika berkuasa, nyatanya mereka melakukan hal sama.
“Siapa dulu yang nangis2 ketika BBM naik….,” tulis akun Twitter @Tan_Mar3M dengan menyertakan foto Puan Maharani sedang berswa foto bersama para elite PDI Perjuangan, Minggu (4/9).
Akun Tiktok @ajengcute16 yang diposting pada 22 Agustus 2022 juga membuat video dengan narasi tak jauh berbeda. Dalam video, wanita berkerudung biru membacakan judul berita ‘PDIP Ancam Turunkan 15 Ribu Orang Kepung Istana Jika Harga BBM Naik’
“Wah keren banget sih ya ini gertakannya PDIP, mau turunkan 15 ribu orang ke istana jika harga BBM naik. Tapi eits tunggu dulu, itu berita tahun 2013, ketika PDIP masih menjadi oposisi, sekarang PDIP sudah menjadi partai penguasa, tapi kok beda ya. Enggak ada tuh PDIP demo-demo lagi, padahal BBM sudah naik berapa kali ya di era sekarang,” ucap wanita berkerudung biru tersebut.
Realitas Tangisan
Ketika menjadi oposisi pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, PDI Perjuangan memang selalu bersuara keras bila pemerintah sudah mulai mengeluarkan kebijakan kenaikan harga BBM.
Bahkan, Megawati sampai menangis ketika berpidato saat Rakernas III PDI Perjuangan di Makassar pada 27 Mei 2008. Sebagai bentuk protes pasca pemerintah melalui Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani resmi mengumumkan pemberlakuan harga BBM premium dan solar pada 24 Mei 2008. Premium naik dari Rp4.500/liter menjadi Rp6.000/liter. Sedangkan solar naik dari Rp4.300/liter menjadi Rp5.500/liter.
Sambil terisak, Megawati mengatakan banyak rakyat lapar karena tingginya angka kemiskinan, tidak mendapatkan pendidikan yang bagus, tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.
“Saya sedih melihat rakyat banyak yang menderita, padahal kita punya banyak kekayaan alam, namun angka kemiskinan tinggi,” ucap Megawati.
Dalam pidatonya, Megawati pun menyanyikan sepenggal lirik lagu Iwan Fals berjudul ‘Galang Rambu Anarki’, “BBM naik tinggi susu tak terbeli, orang pintar tarik subsidi, anak kami gurang gizi.”
Tak hanya itu, pada 19 Juni 2013, PDI Perjuangan bahkan sampai mengerahkan massa berunjuk rasa menolak kenaikan harga BBM pasca pemerintah SBY kembali berencana menyesuaikan harga BBM premium dan solar.
Ribuan massa PDI Perjuangan melakukan long march dari Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat menuju Bundaran Hotel Indonesia hingga Istana Negara. Ketua DPP PDI Perjuangan yang juga koordinator aksi, Ribka Tjiptaning berujar, “Ini sebagai bentuk konsistensi menolak harga BBM bersubsidi.”
Kendati begitu, pemerintah tetap memberlakukan kenaikan harga BBM terhitung mulai 23 Januari 2013 pukul 00.00 WIB. Harga premium RON 88 menjadi Rp6.500 atau naik Rp2.000 dari sebelumnya, dan solar Rp5.500 per liter naik Rp1.000 dari harga sebelumnya.
Fluktuasi Harga BBM
Melansir Katadata pada 3 September 2022, harga BBM di Indonesia selalu berfluktuasi dari masa ke masa. Berikut rinciannya:
- Pemerintahan Soekarno
22 November 1965, premium Rp0,3 dan solar Rp0,2
3 Januari 1966, premium Rp1 dan solar Rp0,2
27 januari 1966, premium Rp0,5 dan solar Rp0,4 (Turun)
- Pemerintahan Soeharto (12 Maret 1967 hingga 21 Mei 1998)
3 Agustus 1967, premium Rp4 dan solar Rp3,5
25 April 1968, premium Rp16 dan solar Rp12,5
1 Juni 1970, premium Rp25 dan solar Rp12,5
1 April 1972, premium Rp35 dan solar Rp14
1 April 1973, premium Rp41 dan solar Rp16
22 April 1974, premium Rp46 dan solar Rp19
1 April 1975, premium Rp57 dan solar Rp22
1 April 1976, premium Rp70 dan solar Rp25
5 April 1979, premium Rp100 dan solar Rp35
1 Mei 1980, premium Rp150 dan solar Rp52,5
4 Januari 1982, premium Rp240 dan solar Rp85
7 Januari 1983, premium Rp320 dan solar Rp145
12 Januari 1984, premium Rp350 dan solar Rp220
1 April 1985, premium Rp385 dan solar Rp242
10 Juli 1986, premium Rp385 dan solar Rp200
24 Mei 1990, premium Rp450 dan solar Rp245
11 Juli 1991, premium Rp550 dan solar Rp300
8 Januari 1993, premium Rp700 dan solar Rp380
5 Mei 1998, premium Rp1.200 dan solar Rp600
16 Mei 1998, premium Rp1.000 dan solar Rp550 (Turun)
- Pemerintahan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001)
1 Oktober 2000, premium Rp1.150 dan solar Rp600
1 April 2001, premium Rp1.150 dan solar Rp990
1 Mei 2001, premium Rp1.150 dan solar Rp1.150
1 Juni 2001, premium Rp1.150 dan solar Rp1.285
16 Juni 2001, premium Rp1.450 dan solar Rp900
1 Juli 2001, premium Rp1.450 dan solar Rp1.250
- Pemerintahan Megawati Soekarno Putri (23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004)
1 Agustus 2001, premium Rp1.450 dan solar Rp1.190
1 September 2001, premium Rp1.450 dan solar Rp955
1 Oktober 2001, premium Rp1.450 dan solar Rp1.000
1 November 2001, premium Rp1.450 dan solar Rp945
1 Desember 2001, premium Rp1.450 dan solar Rp900
17 Januari 2002, premium Rp1.550 dan solar Rp1.150
1 April 2002, premium Rp1.600 dan solar Rp1.250
3 Mei 2002, premium Rp1.750 dan solar Rp1.400
1 Juli 2002, premium Rp1.750 dan solar Rp1.350
1 Agustus 2002, premium Rp1.735 dan solar Rp1.325 (Turun)
1 September 2002, premium Rp1.690 dan solar Rp1.360
1 Oktober 2002, premium Rp1.750 dan solar Rp1.440
1 November 2002, premium Rp1.750 dan solar Rp1.550
2 Januari 2003, premium Rp1.810 dan solar Rp1.890
21 Januari 2003, premium Rp1.810 dan solar Rp1.650
- Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004-20 Oktober 2014)
1 November 2004, premium Rp1.810 dan solar Rp1.650
1 Maret 2005, premium Rp2.400 dan solar Rp2.100
1 Oktober 2005, premium Rp4.500 dan solar Rp4.300
24 Mei 2008, premium Rp6.000 dan solar Rp5.500
1 Desember 2008, premium Rp5.500 dan solar Rp5.500 (Turun)
15 Desember 2008, premium Rp5.000 dan solar Rp4.800 (Turun)
15 Januari 2009, premium Rp4.500 dan solar Rp4.500 (Turun)
22 Juni 2013, premium Rp 6.500 dan solar Rp5.500
- Presiden Joko Widodo (20 Oktober 2014 hingga sekarang)
18 November 2014, premium Rp8.500 dan solar Rp7.250
1 Januari 2015, premium Rp7.600 dan solar Rp7.250 (Turun)
19 Januari 2015 berlaku dua harga: (Turun)
- Premium Rp6.900 dan solar Rp6.400 di Bali dan Madura
- Premium Rp6.700 dan solar Rp6.400 di luar Bali dan Madura
1 Maret 2015, premium Rp6.800 dan solar Rp6.400 (Harga nasional)
28 Maret 2015, premium Rp7.300 dan solar Rp6.900
5 Januari 2016 kembali berlaku dua harga: (Turun)
- Premium Rp 7.050 - Solar Rp 5.650 di Jawa, Madura, dan Bali
- Premium Rp. 6.950 - Solar Rp 5.650 di luar Jawa, Madura, dan Bali
1 April 2016: (Turun)
- Premium Rp6.550 dan solar Rp5.150 di Jawa, Madura, dan Bali
- Premium RP6.450 dan solar Rp5.150 di luar Jawa, Madura, dan Bali
10 Oktober 2018:
- Premium Rp7.000 dan solar Rp5.150 di Jawa, Madura, dan Bali
- Premium Rp6.900 dan solar Rp5.150 di luar Jawa, Madura, dan Bali
1 April 2022, pertalite Rp7.650 dan solar Rp5.150
3 September 2022, pertalite Rp10.000 dan solar Rp6.800
また読む:
Pemerintah telah berupaya sekuat tenaga melindungi rakyat dari gejolak harga minyak dunia. Namun, apa daya anggaran subsidi dan kompensasi BBM 2022 telah dinaikkan tiga kali lipat dari hanya Rp152,5 triliun ke Rp502,4 triliun. Bila terus ditambah, subsidi BBM akan semakin membengkak dan kurang tepat sasaran.
Saat ini saja, lebih dari 70 persen subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu, yaitu pemilik mobil pribadi.
“Ini adalah pilihan terakhir pemerintah. Mengalihkan subsidi BBM sehingga harga beberapa jenis BBM yang selama ini mendapat subsidi mengalami penyesuaian. Sebagian subsidi BBM akan dialihkan untuk bantuan yang lebih tepat sasaran,” ucap Presiden Jokowi saat konferensi pers di Istana Merdeka pada 3 September 2022.