Viralnya minuman dengan merek “Tuak”, “Beer”, dan “Wine” bikin heboh. Pasalnya, minuman dengan konotasi non-halal ini sudah mendapat sertifikat halal. Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama Republik Indonesia, Dr. H. Muhammad Aqil Irham, M.Si, mengakui bahwa ada perbedaan pendapat sebelum lembaganya mengeluarkan putusan terkait hal ini.
***
Menurut Aqil, sebuah produk akan melalui proses yang panjang sebelum akhirnya ditetapkan sebagai produk halal. Karena itu, dia menegaskan bahwa mereka berani mempertanggungjawabkan apa yang sudah diputuskan. “Sertifikat halal yang dikeluarkan oleh BPJPH sudah terjamin kehalalannya. Publik tidak perlu ragu jika itu keluar dari lembaga kami. Karena sebelum sertifikat itu diterbitkan, produk tersebut sudah melewati proses yang panjang. Ada sidang ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan Komite Fatwa Produk Halal (Kementerian Agama),” tegasnya.
BPJPH, lanjut dia, bukanlah aktor tunggal dalam memutuskan sebuah produk yang diajukan oleh pelaku usaha untuk sertifikasi halal. “Untuk penentuan soal kehalalan produk ini bukan kewenangan BPJPH, melainkan ada di Komisi Fatwa MUI dan Komite Fatwa Produk Halal. Dalam proses sertifikasi halal, BPJPH bukan aktor tunggal, ada pihak lain yang terlibat. BPJPH hanya memiliki kewenangan administratif. Ada Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang memiliki kewenangan scientific. Mereka melakukan audit berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi,” kata Aqil.
Bagi Aqil, apa yang viral sekarang ini adalah masukan dan kritik dari masyarakat. Namun, ia menyarankan kepada para influencer untuk lebih dulu melakukan konfirmasi terkait sebuah produk kepada BPJPH agar tidak meresahkan masyarakat.
Yang terjadi saat ini adalah soal merek. Jika sudah berbicara mengenai merek atau brand, lanjut Aqil, hal ini sudah berhubungan dengan upaya menarik konsumen, strategi pemasaran, dan meningkatkan penjualan. Ia menyerahkan kepada konsumen apakah akan memilih atau tidak memilih produk yang ditawarkan oleh pelaku usaha.
Setelah makanan dan minuman, lanjut Muhammad Aqil Irham, berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk halal, tekstil dan barang-barang yang berasal dari kulit hewan yang dipakai, seperti ikat pinggang, sepatu, tas, dan sebagainya, juga harus disertifikasi kehalalannya. “Kami terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada pelaku usaha dan publik. Pasalnya, ini adalah amanat undang-undang yang harus kami laksanakan,” katanya kepada Edy Suherli, Bambang Eros, dan Irfan Meidianto dari VOI yang mengunjunginya di kantor BPJPH, Pondok Gede, Jakarta Timur, belum lama ini. Inilah petikan wawancaranya.
Publik kembali dihebohkan dengan berita beberapa minuman merek “Tuak, Beer”, dan “Wine” yang mendapat sertifikat halal dari BPJPH. Mengapa bisa begitu?
Kami melihat viralnya berita soal adanya merek minuman dengan nama “Tuak, Beer, Wine” mencuat sebagai bagian dari partisipasi publik. Ini adalah kritik, dan bagi kami, kritik ini penting. Namun, sebelum melakukan kritik, ada baiknya melakukan klarifikasi terlebih dahulu kepada BPJPH mengenai kebenaran informasi tersebut agar tidak terjadi kegaduhan di masyarakat. Bisa saja yang disampaikan itu benar, tetapi kadang-kadang tidak sesuai dengan kenyataan.
Kami perlu menegaskan bahwa sertifikat halal yang dikeluarkan oleh BPJPH sudah terjamin kehalalannya. Publik tidak perlu ragu jika sertifikat itu berasal dari lembaga kami. Karena sebelum sertifikat itu diterbitkan, produk tersebut sudah melewati proses yang panjang. Ada sidang ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI dan Komite Fatwa Produk Halal. Di dua komisi ini, anggotanya terdiri dari para ulama dan akademisi yang menyidangkan produk-produk yang diajukan oleh pelaku usaha.
Jadi, tidak perlu diragukan lagi?
Ya, BPJPH tidak mungkin mengeluarkan sertifikat halal tanpa adanya ketetapan halal dari ulama. Yang beredar dan viral saat ini terkait dengan merek. Kami bisa memahami bahwa merek itu penting untuk menarik konsumen, strategi pemasaran, dan meningkatkan penjualan. Untuk produk yang sudah mendapat sertifikat halal, dipastikan bahwa zat dan komposisinya sudah halal. Soal penamaan yang aneh-aneh, seperti rawon setan, sop janda, sop tante girang, beer, wine, tuak, dll., sebaiknya tidak usah diajukan. Sudah ada fatwa MUI yang melarang penggunaan nama-nama merek yang mengarah pada pornografi, kesyirikan, atau keharaman, walaupun zat dan proses pembuatannya sudah halal.
Dalam sidang terkait beberapa nama yang aneh tersebut, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang mengatakan oke dan ada yang bilang bisa ditoleransi, sehingga soal ini lolos dalam sidang Komisi Fatwa MUI dan Komite Fatwa Produk Halal. Jadi, tidak benar jika produk yang viral tersebut semata-mata berasal dari self declare. Ada yang melalui prosedur reguler, baik yang disidangkan oleh Komisi Fatwa MUI sebelum Komite Fatwa Produk Halal terbentuk pada Maret 2023. Sebelum itu, self declare disidangkan oleh Komisi Fatwa MUI. Jadi, di rentang waktu itu muncul nama-nama yang aneh tersebut.
Publik tidak tahu, mereka awam. Namanya tuak, beer, dan wine selama ini mengandung alkohol. Bagaimana dengan hal ini?
Masyarakat harus mengetahui bahwa dasar keputusan para ulama adalah pengetahuan dan ajaran agama sebelum memutuskan. Untuk penentuan soal kehalalan produk, itu bukan kewenangan BPJPH, melainkan ada di Komisi Fatwa MUI dan Komite Fatwa Produk Halal. Dalam proses sertifikasi halal, BPJPH bukan aktor tunggal, ada pihak lain yang terlibat. BPJPH hanya memiliki kewenangan administratif. Ada Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang memiliki kewenangan ilmiah. Mereka melakukan audit berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, ada Komisi Fatwa MUI yang memiliki kewenangan untuk menetapkan apakah produk tersebut halal secara agama.
Bagaimana dengan prosedur self declare dalam menentukan kehalalan sebuah produk?
Untuk metode self declare, juga ada lembaga pendamping dan melalui proses audit yang dilakukan oleh pendamping. Semuanya mengacu kepada standar halal yang dibuat oleh MUI. Ini yang harus diketahui publik.
Jadi, produk yang viral ini apakah semuanya self declare?
Ada yang self declare, ada yang tidak. Yang dikritik publik adalah merek yang mengarah kepada minuman keras, berkonotasi haram, atau ke arah pornografi.
Masyarakat kita masih terpengaruh pada yang viral di media sosial. Publik masih kurang literasi. Apa yang akan dilakukan BPJPH selanjutnya?
Dalam lima tahun terakhir, BPJPH telah melakukan edukasi, sosialisasi, dan publikasi untuk meningkatkan literasi publik, pelaku usaha, dan komponen masyarakat lainnya tentang kesadaran halal. Kami tidak sendirian, tetapi juga berkolaborasi dengan perguruan tinggi, ormas Islam, pegiat, dan praktisi halal, serta lembaga pendamping. Pesan mengenai kewajiban sertifikasi halal ini sudah disampaikan kepada publik. Sekarang, di era media sosial, kita tidak bisa membendung ketika ada sesuatu yang viral. Setiap orang bisa mengabarkan sesuatu lewat HP-nya yang terhubung ke akun media sosial. Bagi influencer, jika memungkinkan, kontennya harus berbasis data. Bagi masyarakat, harus tetap kritis terhadap informasi yang disampaikan melalui media sosial, lakukan verifikasi, dan filter agar tidak termakan hoaks.
Jadi, untuk beberapa merek yang sudah viral, apa saran dari Anda?
Kami akan melakukan komunikasi yang lebih intensif dengan Komisi Fatwa MUI, dan kami akan mempertemukan mereka dengan Komite Fatwa Produk Halal. Kita akan mengkaji lagi apakah ulama harus textbook mematuhi aturan yang ada, atau diperkenankan menggunakan tafsir terhadap produk yang diajukan masyarakat. Ini akan menjadi bahan evaluasi. Untuk produk yang sudah keluar sertifikat halalnya, ya sudah. Semua diserahkan kepada konsumen, apakah masih mau menggunakan atau sebaliknya.
Soal sertifikat halal, pengusaha oke. Tapi yang dipersoalkan adalah soal alat transportasi atau rantai produksi menuju ke produk yang juga harus memiliki sertifikat halal. Ini memberatkan pengusaha. Apa jalan tengahnya menurut Anda?
Kami bisa memahami keberatan pengusaha. Kami juga pernah menemui asosiasi terkait. Yang perlu kami jelaskan, yang perlu disertifikasi itu bukan alat angkutnya, tetapi jasanya. Jadi, makanan yang sudah dibuat dan dinyatakan halal itu tidak terkontaminasi dengan sesuatu yang non-halal. Perhatian kami lebih kepada produk setengah jadi, misalnya daging—bagaimana pengemasan dan pengangkutannya agar tetap terjaga. Kalau barang sudah jadi dan dikemas dengan baik, maka alat angkutnya tidak perlu disertifikasi. Undang-undangnya mengatur bahwa sektor distribusi, penyimpanan, dan pengemasan adalah bagian dari sektor jasa yang terkena kewajiban sertifikasi halal. Nanti, kami akan mengevaluasi sektor ini sebelum ada revisi peraturan.
BACA JUGA:
Untuk UMKM, apakah ada kemudahan dalam mendapatkan sertifikasi halal?
Sebenarnya, self declare adalah upaya untuk memberikan kemudahan kepada pelaku usaha UMKM. Melalui pendampingan, mereka dibantu bagaimana cara membuka akun, mendaftar, dan sampai akhirnya mendapatkan sertifikasi halal. Untuk biaya, mereka gratis, difasilitasi oleh pemerintah melalui BPJPH lewat program Sertifikasi Halal Gratis (Sehati). Self declare ini tidak mudah, ada kriteria dan syarat yang sudah ditentukan. Jika bahan yang digunakan sudah diperiksa oleh pendamping, lalu dibawa ke Komisi Fatwa MUI dan Komite Produk Halal, kemudian ditetapkan kehalalannya. Jadi, tidak perlu melalui audit yang rumit. Alur ini yang tidak dipahami oleh mereka yang mengkritik.
Ada sebuah restoran ternama yang disukai anak muda, tetapi belum mendapat sertifikasi halal dari BPJPH. Apakah ada sanksi untuk yang demikian?
Sosialisasi sudah kami lakukan di berbagai tempat. Meski begitu, kita tidak bisa langsung memaksa. Jika ada yang belum bersertifikat, mungkin mereka masih menunggu. Sertifikat halal ini diwajibkan oleh undang-undang. Jika sudah kami tunggu tetapi tidak juga diurus, maka akan ada sanksinya.
Selama ini, apa kendala dari pengusaha untuk mendapatkan sertifikasi halal?
Untuk restoran asing yang buka di sini, mereka sangat ingin memiliki sertifikasi dan logo halal terpampang di restoran mereka. Yang masih menjadi kendala adalah kuliner Nusantara. Mereka berpandangan, “Buat apa sertifikasi halal? Yang diproduksi semua sudah halal.” Ini yang kami edukasi. Sebab, tidak semua konsumen mengetahui hal tersebut. Mereka butuh kepastian soal kehalalan.
Ke depan, apa lagi yang ingin dicapai oleh BPJPH?
Kami ingin agar sertifikasi halal ini menjadi kesadaran bersama dan menjadi kultur kita. Tren terus meningkat, halal sudah menjadi gaya hidup masyarakat perkotaan, milenial, dan Gen Z. Halal telah menjadi merek yang cukup dikenal oleh masyarakat. Banyak apresiasi yang diberikan kepada BPJPH baik di tingkat nasional maupun internasional. Ada 30 top perusahaan anggota OKI, 15 perusahaannya dari Indonesia yang sudah memiliki sertifikat halal. Soal adanya riak-riak di sana-sini yang membuat kapal ini bergoyang, dinikmati saja. Itu bagian dari dinamika dan kritik yang kami perhatikan. Kami optimis sudah berada di jalur yang benar.
Dengan anggaran yang terbatas, kami akan terus bersinergi dengan BUMN, perguruan tinggi, dan ormas Islam. Kami mengajak kementerian dan BUMN untuk membantu memfasilitasi sertifikasi halal gratis. Perbankan selama ini juga sudah membantu kami, serta pemda, Baznas, dan lembaga-lembaga lainnya, bahu-membahu mendukung program sertifikasi halal ini.
Tak Hanya Jago Kandang, Kata Muhammad Aqil Irham: Halal Indonesia Sudah Merambah Negara Lain
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama Republik Indonesia, menurut Kepala BPJPH Dr. H. Muhammad Aqil Irham, M.Si, memang banyak berkiprah di dalam negeri. Kini, aksi ini bukan hanya diakui berbagai pihak di dalam negeri, tetapi peran BPJPH juga telah diakui dunia. Pelan-pelan, lembaga ini sudah merambah negara lain.
Belum lama ini, BPJPH menerima penghargaan di ajang Global Islamic Finance Awards (GIFA) 2024, yang berlangsung di Maladewa alias Maldives. BPJPH berhasil meraih GIFA Championship Award dalam kategori Layanan Sertifikasi Halal. Penghargaan ini diterima langsung oleh Kepala BPJPH dalam sebuah gala dinner yang digelar di Maldives, sebuah negara kepulauan yang terletak di Asia Selatan, pada 17 September 2024.
“GIFA itu bermarkas di Cambridge, London, Inggris. Penghargaan itu sudah digelar untuk tahun yang ke-14. Pemberian penghargaan tersebut tempatnya berpindah-pindah dari tahun ke tahun. Pernah di Indonesia juga, Senegal, dan tahun ini di Maldives,” katanya.
Jujur, kata Aqil Irham, dia tidak tahu apa kriteria GIFA sehingga memilih BPJPH untuk mendapat penghargaan dalam urusan sertifikasi halal yang selama ini menjadi pekerjaan harian lembaganya. “Mereka melihat sertifikasi halal di Indonesia dilakukan cukup masif. Ini mengalahkan dua negara lainnya. Tapi mereka tidak sebutkan negara tersebut,” ujarnya.
Bagi Aqil, penghargaan ini adalah penyemangat bagi semua insan BPJPH dan semua pemangku kepentingan terkait yang selama ini tanpa lelah menjalankan program sertifikasi halal di seantero Indonesia. “Ini menjadi vitamin bagi kami untuk berbuat yang lebih baik lagi ke depan, serta menjadikan ekosistem halal di Indonesia sebagai pusat ekosistem halal dunia,” katanya.
Fashion Halal di Milan dan London
Sebelum menerima penghargaan di Maldives, Muhammad Aqil Irham mengikuti giat London Fashion Week. Setelah dari Maldives, Aqil terbang ke Milan, salah satu pusat industri fashion di Italia. Di ajang Milan Fashion Week, ada penandatanganan kerja sama dan asesmen lembaga halal di negeri tersebut.
Menurut Aqil, Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin berharap Indonesia bisa menjadi pusat fashion muslim dunia. “Karena itu, kami mendukung kreasi desainer Indonesia tampil di ajang internasional, khususnya di negara yang menjadi pusat mode dunia seperti Paris, Milan, dan London,” katanya.
Jadi, hasil karya perancang Indonesia juga dikenal kalangan fashion dunia, bukan hanya dikenal di negeri sendiri. “Misi kami adalah mengenalkan tekstil atau kain halal. Ternyata ini adalah warna baru di ajang fashion dunia,” katanya.
Tahap kedua dari mandatori halal itu untuk kosmetik, obat-obatan, dan barang gunaan. “Targetnya sampai tahun 2026. Jadi tinggal dua tahun lagi untuk mewujudkan hal ini. Sekarang sudah banyak produsen kosmetik dan obat-obatan yang sudah memiliki sertifikat halal. Tekstil, seperti kain, batik, dan lain-lain juga sudah ada yang mendapat sertifikat halal. Sepatu yang saya gunakan ini juga sudah halal,” katanya sambil menunjuk sepatu kets yang dipakainya.
Barang gunaan harus mendapatkan sertifikat halal jika bahan bakunya dari kulit hewan. “Untuk sepatu, tas, ikat pinggang, dan sebagainya yang berasal dari bahan kulit sudah harus mendapat sertifikat halal. Suatu saat nanti semua akan menjadi halal,” katanya.
Sertifikasi Halal di Negeri Matahari Terbit
Kebutuhan akan produk halal bagi muslim yang mukim di Negeri Matahari Terbit menjadi perhatian saat ini. Aqil bersama Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menandatangani Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan pihak Jepang. Hal ini sehubungan dengan peredaran produk halal untuk muslim yang mukim di sana dan urusan bahan makanan yang akan diekspor ke Indonesia.
“Soalnya aturannya, setiap produk makanan dan minuman yang beredar di Indonesia harus memiliki sertifikat halal untuk melindungi konsumen. Produsen di luar negeri berkepentingan dengan BPJPH agar melakukan asesmen,” katanya.
Sampai saat ini, di Jepang sudah ada satu lembaga yang telah menandatangani MRA dengan BPJPH. “Lalu ada tiga yang mendapat sertifikat akreditasi. Dalam waktu dekat, akan dilakukan penandatanganan MRA lagi dengan pihak Jepang di acara Halal 20 yang ketiga,” ujarnya.
Yang juga menarik, lanjut Muhammad Aqil Irham, ada diaspora di Jepang yang berinisiatif untuk membentuk lembaga halal. “Apa yang dilakukan diaspora di sana didukung oleh KBRI Tokyo. Namanya HITO, Halal International Trust Organisation. Selama ini lembaga halal mayoritas diupayakan oleh warga India, Pakistan, dan Bangladesh. Sekarang, orang Indonesia sudah unjuk gigi,” katanya.
"Kami perlu tegaskan bahwa sertifikat halal yang dikeluarkan oleh BPJPH sudah terjamin kehalalannya. Publik tidak perlu ragu jika sertifikat itu keluar dari lembaga kami. Karena sebelum sertifikat itu diterbitkan, prosesnya sudah melewati tahapan yang panjang, termasuk sidang ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI dan Komite Fatwa Produk Halal,"