Dalam sebuah kontestasi politik pasti ada yang terpilih dan ada yang tidak terpilih. Menurut Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional (PKJN) Rumah Sakit Marzoeki Mahdi, Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKj., memang kekalahan itu berat dan tidak mudah dilupakan. Apalagi kalau banyak harta dan sumber daya sudah dikeluarkan. Tapi jangan sedih, pihaknya sudah siap memberikan layanan bagi para caleg yang membutuhkan bantuan jika kesehatan jiwanya mulai terganggu.
***
Perjalanan panjang para caleg dari level DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota serta calon DPD RI sudah dilintasi. Pasca pencoblosan, hitung manual pun sudah diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ada yang tersenyum lebar karena berhasil melenggang sebagai anggota legislatif dan DPD. Dan banyak juga yang murung dan bahkan marah karena perolehan suaranya tak sesuai harapan.
Untuk mereka yang memerlukan perawatan kesehatan jiwa karena mentalnya terganggu setelah tahu gagal dalam pileg, PKJN RS Marzoeki Mahdi, Bogor, Jawa Barat yang menjadi rujukan nasional untuk kesehatan mental siap memberikan layanan. “Kami siap memberikan layanan untuk para caleg gagal. Bagi caleg yang masih punya uang ada layanan privat, dan yang sudah tak punya uang bisa gunakan BPJS,” ujar Nova Riyanti Yusuf yang pernah juga menjadi caleg gagal.
Ketika seseorang gagal dalam pileg dilanda kesedihan mendalam, hal itu menurut Nova adalah hal yang wajar. “Jadi orang yang gagal bersedih itu sangat wajar. Apalagi saat dihubungkan dengan harapan mengubah nasib lima tahun ke depan setelah dilantik jadi anggota DPR. Padahal idealnya seorang caleg itu setelah terpilih untuk mengubah nasib bangsa dan konstituennya, bukan mengubah nasib dirinya,” tegasnya.
Di RS Marzoeki Mahdi disediakan beragam layanan medis dan tersedia fasilitas pendukung untuk mereka yang terganggu kesehatan mentalnya setelah gagal dalam kontestasi politik. Sedih dan kecewa boleh saja, namun jangan berlarut-larut. Harus bisa menerima kenyataan dan segera bangkit, meski gagal pileg dunia belum kiamat. “Saya adalah contoh caleg yang gagal. Saat saya maju sebagai caleg periode kedua (2014) setelah selesai tugas di DPR RI periode pertama (2009-2014). Tapi apa daya di saat menjelang pencoblosan saya mengalami kampanye hitam. Ujungnya bisa ditebak, saya gagal,” ujar Nova Riyanti Yusuf kepada Edy Suherli, Bambang Eros, dan Irfan Medianto saat bertandang ke kantor VOI jalan Tanah Abang III 23A Jakarta Pusat belum lama berselang. Inilah petikannya.
Pileg dan pilpres sudah selesai diselenggarakan secara umum bagaimana Anda melihat keseruan pemilu kali ini?
Sebelum pemilu 2024 ini digelar saya sudah melakukan pengamatan saat masih menjadi ketua organisasi profesi dokter spesialis jiwa di DKI Jakarta. Kami melakukan pengamatan di Jakarta pasca pilgub 2019. Yang menarik ada kemiripan dengan pemilu di Amerika saat Donald Trump terpilih. Setelah itu asosiasi psikolog di sana melakukan penelitian. Mereka ingin mengetahui kondisi kesehatan jiwa pendukung Partai Republik dan Partai Demokrat. Hasilnya pendukung Partai Republik ternyata lebih tinggi tingkat kecemasannya. Untuk lingkup Jakarta saya melakukan penelitian dengan pihak Selasar. Saat itu ada isu segregasi, primordialisme, politik identitas, dll. Ternyata tingkat kecemasan user Selasar sebagai platform media sosial juga cukup tinggi ketika dihubungkan dengan pemberitaan seputar pilgub DKI.
Yang menariknya lagi mereka yang tak ikut perdebatan di medsos pun merasa cemas. Ada yang merasa ketakutan kehilangan pertemanan. Jadi meski mereka bukan peserta pilgub, atau pelaksana pilgub, ikut terdampak juga.
Di pemilu sekarang ini sudah kelihatan ada caleg yang berhasil dan ada yang gagal, wajarkah mereka yang gagal itu bersedih?
Sebelum pemilu berlangsung tim kami di PKJN sudah memastikan kalau orang yang memiliki gangguaan jiwa (ODGJ) bisa memilih. Saya memberikan rekomendasi bahwa ODGJ bisa memilih dan seperti apa pelaksanaannya di RSJ atau di tempat lain, itu yang diatur KPU. Lalu media juga bertanya apakah ada layanan untuk caleg yang gagal. Ya ada, untuk caleg yang masih punya uang bisa ikut layanan privat, dan yang sudah tak punya uang bisa gunakan BPJS.
Jadi orang yang gagal bersedih itu sangat wajar. Apalagi saat dihubungkan dengan harapan mengubah nasib setelah lolos jadi anggota DPR. Padahal idealnya seorang caleg itu setelah terpilih bisa mengubah nasib bangsa dan konstituennya, bukan mengubah nasib dirinya. Yang harus diingat politik itu tidak seperti main basket yang sudah jelas aturannya. Khususnya di Indonesia, politik itu seperti gambling dan bahkan ada adiksi gambling atau kecanduan. Gagal sekali mau maju lagi dan lagi.
Idealnya setelah pileg, harus bisa menerima kenyataan. Bahwa dunia belum kiamat meski kalah di pileg, bagaimana melihat kondisi ini?
Ya, itu bisa banget, contohnya saya. Saat saya maju sebagai caleg periode kedua (2014) setelah selesai tugas di DPR RI periode pertama (2009-2014). Saat itu saya sudah punya rencana untuk memperjuangkan UU Kesehatan Jiwa Nasional kalau terplih sebagai anggota DPR RI. Tapi apa daya di saat menjelang pencoblosan saya mengalami kampanye hitam. Ujungnya bisa ditebak, saya gagal.
Yang perlu diingat sebelum maju pileg itu harus sudah siap menang dan siap kalah. Jadi harus menyiapkan diri menghadapi dua kemungkinan itu. Mestinya jangan terjebak dalam kegagalan, harus segera keluar dan bangkit lagi, meski itu tidak mudah.
Kalau Anda waktu itu kiatnya apa setelah gagal dalam pileg 2014?
Saat saya terpilih menjadi anggota DPR RI pada periode pertama dari Dapil Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan Luar Negeri, selain menjadi anggota DPR dari Partai Demokrat, saya juga ditunjuk sebagai advisor organisasi internasional sampai saya harus pidato di Sidang Umum PBB mewakili generasi muda. Di periode kedua saya tak lolos ke DPR RI. Ya sudah harus terima kenyataan. Kalau sedih ya pasti, karena saya sudah berusaha yang terbaik. Saya kemudian menulis buku, bagaimana proses saya memperjuangakan UU Kesehatan Jiwa Nasional. Setelah itu saya ikut fellowship medical school di Harvard University untuk Mental Health Implementation Research. Di sana membuat berpikir saya lebih jernih, bisa melupakan kegagalan dengan hal yang positif.
Saat itu profesor saya menyarankan untuk jenjang Doktor bisa lanjutkan di Harvard lagi. Namun kalau saya terima itu saya tak bisa mengawal banyak hal di Indonesia. Akhirnya saya tolak. Konsekwensinya saya harus praktek lagi di RSJ. Setelah itu saya melanjutkan S3 di UI. Jadi keluar dari kegagalan itu dan melakukan self improvment. Ketika S3 mau tuntas, saya masuk lagi ke DPR RI lewat PAW (Pergantian Antar Waktu), tapi kondisi saya sudah berbeda, refresh tentu dan dengan keterampilan yang bertambah. Sebelum berakhir tugas saya ditanya seorang petinggi Partai Demokrat, apakah mau maju lagi. Namun saya bilang tidak, jawaban saya itu membuat dia kecewa.
Jadi memang harus percaya kalau kita masih punya potensi dan modal untuk melanjutkan hidup setelah kalah pileg?
Kalah adalah realiatas yang harus dihadapi. Tapi kita masih punya modal, kita masih hidup, masih sehat, masih punya keterampilan dan masih punya keluarga yang tetap men-support. Kalau dikalkulasi hidup saya ini masih banyak sisi positif yang bisa dimaksimalkan setelah kalah dari pileg.
Dan sekarang orang lebih cair saat menghadapi kampanye hitam. Kalau saya dulu baper banget. Sekarang orang malah mengira itu cuma gimmick saja. Yang bisa membangkitkan diri kita adalah diri kita sendiri dan support system yaitu keluarga. Dan jangan mengecilkan diri hanya jadi seorang caleg, masih banyak yang bisa dilakukan di luar sana setelah proses pileg ini usai.
Seseorang yang gagal, kadang masih bisa menerima masukan dari orang lain, namun ada kalanya tidak. Dalam posisi mana seorang itu sudah oleng sehingga masukan pun tak bisa dia terima?
Karena harapan dia untuk mengubah hidup setelah menjadi anggota dewan tak terwujud. Periode lima tahun menjabat itu cukup lama. Soalnya saat itu gaji ada, fasilitas ada, asuransi ada, dan sebagainya. Orang membayangkan susah lima tahun setelah terpilih jadi mapan. Motivasi masuknya untuk pribadi, kalau masuknya dengan motivasi untuk melakukan perubahan bangsa akan lain ceritanya. Kalau di Amerika cuma dua tahun, dia belum nyaman sudah kampanye lagi.
Saat sedang kampanye banyak permintaan konstituen, apalagi setelah terpilih. Bagaimana tipsnya agar tidak berlebihan memenuhi permintaan konstituen?
Harus punya batas tertentu, jangan sampai terlalu banyak sehingga semuanya habis. Setelah menjadi anggota DPR pun saya berjuang keras untuk membantu konstituen. Saat saya sudah berhasil memperjuangkan peralatan untuk mereka eh ditolak, ya sudah saya kembalikan lagi ke Kementerian untuk disalurkan ke daerah lain. Banyak sekali yang tak terduga setelah kita ke lapangan. Makanya sebelum maju sebagai caleg pertimbangankan banyak hal agar langkah kita itu tak sia-sia. Termasuk membaca siapa kira-kira calon dari partai lain, adakah petahana yang kembali maju. Dan banyak lagi pertimbangan lainnya.
Ada satu fenomena unik saat Komeng mendapat suara terbanyak sebagai calon DPD RI Jabar, bagaimana Anda melihatnya?
Untuk kasus Komeng saya pikir itu unexpected. Dia melawan kelaziman yang terjadi selama ini. Politisi itu kan pencitraan banget, sebelum foto harus ke salon, dipotret fotografer bagus. Sementara Komeng hanya dengan foto selfi kamera ponsel. Atau masyarakat kita sudah lelah, mereka tidak kenal calon yang maju akhirnya dia pilih sosok yang dikenal saja. Apalagi sosok ini dianggap tidak punya pretensi seperti calon yang lain penuh dengan pencitraan.
BACA JUGA:
Apa saran Anda sebagai seorang psikiater untuk para caleg agar saat kalah pileg tidak oleng?
Kalau intensionalitas politik terjaga, melakukan kalkulasi dengan seksama, dan tujuan masuk DPR RI untuk membuat perubahan untuk bangsa dan rakyat. Saat periode kedua saya gagal karena ada yang melakukan kampanye hitam di hari H. Saya tidak boleh larut dalam keadaan itu. Saya langsung mengikhlaskan semua yang sudah dilakukan.
Secara rutin harus lihat kondisi dengan berkonsultasi dengan psikolog atau spikiater untuk mengetahui kesehatan jiwa. Jadi tidak hanya raga saja yang harus sehat, jiwa juga harus sehat.
Jadi perlu healing setelah melakoni kampanye, pencoblosan dan masa mengawal suara di KPU?
Ya harus agar bisa memulihkan tenaga dan pikiran, kan capek berbulan-bulan kampanye. Sebenarnya yang butuh healing itu bukan hanya mereka yang kalah, yang menang pun butuh healing. Agar pulih dari kelelahan pisik dan juga non-fisik.
Oh ya saat ini terdata berapa banyak penderita ODGJ di Indonesia?
Pasca pandemi COVID-19 kemarin kita belum melakukan survei lagi, saya kira data yang lama sudah harus diperbarui. Sebelum pandemi saya melakukan riset untuk S3 saya tentang deteksi dini faktor risiko ide bunuh diri pada remaja di Jakarta. Dari responden 910 itu yang bersiko tinggi ada 13,8%. Dari jumlah itu, ada 5,39% kali lebih besar berisiko melakukan bunuh diri di kemudian hari.
Pasca pandemi saya melakukan penelitian ulang dengan instrumen yang sudah dilakukan itu, tapi di daerah Bogor. Ternyata hasilnya dari 2.200 remaja yang menjadi responden angkanya 42% berisiko tinggi. Ini angka yang tidak main-main. Artinya Indonesia harus melakukan lagi riset kesehatan dasar terkait gangguan jiwa di Indonesia.
Setelah pileg ini apakah jumlah ODGJ akan bertambah?
Semoga mereka yang terlibat dan gagal bisa bertahan dan tidak menjadi ganguaan jiwa. Bermasalah mungkin ya, tapi jangan sampai depresi. Apalagi depresi berat dengan ide bunuh diri. Solusinya cepat-cepat konsultasi ke psikiater atau psikolog. Di tempat kami Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RS Marzuki Mahdi menerima para caleg yang ingin healing setelah lelah kampanye. Kita punya fasilitas kita lengkap, ada lapangan golf peninggalan Belanda, lapangan basket, lapangan bulu tangkis dalam ruangan, tenis meja, meja billiar, dll. Kalau ada gangguan kesehatan fisik juga ada poli umum dan rawat inap. Ada juga telemedicine untuk yang tidak bisa datang.
Jadi tetap optimis meski kalah dalam pileg?
Kami bisa bantu untuk yang kalah dalam pileg dalam memulihkan kesehatan fisik dan mental. Cuma kami tidak membantu finansial mereka yang sudah habis-habis harta, sudah jual tanah, rumah mobil, dll. Semoga ada keluarga yang bisa bantu untuk itu.
Noriyu dan Cerita Soal Serunya Menjadi Penulis
Menulis itu menyenangkan kata Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional (PKJN) Rumah Sakit Marzoeki Mahdi, Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKj. Momen menyenangkan lanjut perempuan yang punya akronim Noriyu ini saat novel, buku atau skenario yang dia tulis bisa tuntas dan dipublikasi. Soalnya kegiatan menulis ini dilakukan di sela-sela tugasnya sebagai psikiater, (dulu) politisi, dan kesibukan lainnya di organisasi profesi.
Sejak SMA dia memang sudah gemar dengan dunia tulis-menulis. Nova aktif di sekolah menjadi reporter media sekolah. Kalau ada musisi luar yang show ke Indonesia Nova akan ditugaskan meliput. Jadilah ia berjibaku degan wartawan media cetak dan elektronik yang juga meliput momen itu.
Bakat menulis sepertinya mengalir dari sang kakek; D. Suradji seorang Sastrawan Malioboro yang juga aktif dalam organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ia sempat ingin kuliah dalam bidang kepenulisan, namun kedua orangtuanya tak merestui. “Mereka tak yakin dengan masa depan seorang penulis. Akhirnya ia menuruti kemauan orang tua untuk kuliah di Fakultas Kedokteran,” kata alumni berprestasi dari FK Trisakti.
Sang kakek yang menginspirasinya, selain sebagai penulis juga seorang penikmat buku dalam arti sesungguhnya. “Kakek saya itu juga seorang pengusaha, dia punya perusahaan kertas dan penerbitan Haruman Hidup, di Kebayoran Baru, Jakarta. Setiap buku yang dia beli dibaca semua, ada bukti potlot berawarna sebagai tanda kalau dia sudah membaca halaman demi halaman. Selama ini saya bisanya membeli buku, namun membaca belum semua. Makanya saya stop dulu beli buku sampai buku yang sudah dibeli terbaca,” aku perempuan kelahairan Palu, Sulawesi Tengah, 27 November 1977.
Bakat menulis terus diasah, bahkan Nova sampai mengikuti pendidikan menulis di Singapura. Tak hanya menjadi reporter media ia pun mulai menulis novel, lalu menulis novel dari adaptasi film dan sejumlah karya tulis ilmiah dalam bidang kesehatan jiwa yang digelutinya.
Apa daya kini kesibukan di berbagai tempat membuat Noriyu tak bisa tepat waktu menuntaskan proyek menulisan novel, buku dan juga skenario untuk film yang diangkat dari bukunya. “Saya masih ada utang skenario dengan Falcon Pictures. Menulis skenario dari buku saya ‘Jelajah Jiwa Hapus Stigma: Autopsi Psikologis Bunuh Diri Dua Pelukis’. Jadi bagaimana membuat film yang hopefull seputar bunuh diri. Harapannya ini bisa menjadi salah satu upaya untuk pencegahan,” ungkapnya.
Dengan Bentang Pustaka malah Nova ditawarkan platform khusus untuk mengatasi kurangnya waktu. “Mereka bilang kita punya platform untuk menulis per pekan misalnya. Saya pikir tawarannya oke juga,” lanjut Nova yang sudah menulis 13 buku, novel dan skenario.
Pasca pencoblosan dia melakukan diskusi dengan Penerbit Buku Kompas Gramedia. “Saya sudah sepakat untuk menulis buku dengan tema belajar gagal berkompetisi dari pemilu. Mereka bilang ini harus saya yang menulis, selain sebagai ahli dalam bidang ilmu jiwa, saya juga pelaku yang pernah gagal saat ikut pileg. Mungkin ada pakar kejiwaan yang lain tapi mereka hanya sebatas teori,” paparnya.
Tak main-main Nova ditarget selama tiga bulan untuk menyelesaikan buku ini. “Kalau engga ditarget biasanya enggak selesai, soalnya tertimpa dengan aktivitas lain. Semoga bisa selesai dan utang tulisan lain juga bisa saya lunasi,” tambahnya.
Seni dalam Memimpin
Saat bertugas di birokrasi melakoni tugas sebagai Dirut PKJN dia harus mempelajari regulasi yang ada. “Agar tidak salah dalam memutuskan saya harus pelototi semua aturan yang ada. Seperti dulu di DPR RI juga begitu, harus jelas semua baru kita memutuskan. Jangan sampai tumpang-tindih dengan aturan yang sudah ada,” jelas Sekjen Federasi Asosiasi Psikiatri Asia (2019 – 2022).
Memimpin bagi Nova Riyanti Yusuf adalah seni, memimpin itu sama seperti seorang psikiater. “The art of the therapy, dan the art of leadership, dalam usia muda saya pernah menjadi pimpinan komisi IV DPR RI. Saat di DPR RI itu saya perhatikan semua anggota Komisi IX itu. Mereka kan senior semua, saya catat kalau sudah tiga kali melakukan provokasi baru saya marah. Pokoknya seru deh,” kenangnya.
Kini tantangannya di PKJN dan RSJ Marzoeki Mahdi tantanganya lain lagi. “Dulu saya junior memimpin yang senior. Sekarang saya yang berasal dari non-ASN memimpin mereka yang sudah lama menjadi ASN. Jadi ada tantangannya,” lanjut Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa DKI Jakarta (2016 – 2023).
Tips Sehat Jasmani dan Rohani
Agar kita bisa sehat secara fisik dan juga mental, Nova tak segan memberikan tips. “Seperti kesehatan fisik harus ditangani lebih dini, begitu juga ganguan jiwa. Makin cepat diketahui makin cepat dan probabilitas sembuh juga makin tinggi,” kata peraih Most Powerful Woman 2014 versi majalah Her World Indonesia.
Seseorang yang mengalami ganguan jiwa bisa dicek faktor sosial, psikologi dan biologinya. “Apakah ada kelainan dalam otaknya atau adakah penyakit lain yang bisa berdampak pada mentalnya. Sisi psikologi bisa dilihat bagaimana ia menghadapi masalah, bagaimana dia sistem pertahanan dirinya,” paparnya.
Dan ternyata kata Nova, humor masuk dalam pertahanan diri yang bagus. “Yang paling mature itu adalah sistem pertahanan diri humor. Jadi kalau bisa tertawa dan menertawakan diri sendiri itu termasuk sehat. Kalau sudah tak bisa tertawa itu repot,” katanya.
Sedangkan faktor sosial, termasuk yang susah dimanipulasi. Juga soal kehilangan orang yang dicinta. “Saat pandemi COVID-19 kemarin banyak yang kehilangan keluarga, pasca itu juga ada yang mengalami gangguan. Pademi itu menjadi pembuka awarrenes masyarakat. Bahwa It’s Ok not to be Ok. Makanya saya bilang lebih baik merasa tidak sehat dari pada merasa sehat, padahal tidak sehat,” kata Nova yang diganjar Rekor MURI sebagai Pembicara Tentang Kesehatan Jiwa Terbanyak Secara Daring Dalam 3 Bulan (saat lockdown pandemi COVID-19).
Untuk menjaga kesehatan pisik perlu melakukan check-up setiap enam bulan, dalam kesehatan mental diajurkan juga begitu. “Minimal konsultasi dengan psikolog atau psikiater. Daripada cerita ke teman jadi gosip, lebih baik kepada ahlinya. Sekarang kalau sulit bertemu langsung bisa telemedicine, konsultasi online. Jadi manfaatkan cara-cara untuk melakukan pencegahan masalah kesehatan jiwa yang ada,” saran Nova Riyanti Yusuf.
"Yang harus diingat politik itu tidak seperti main basket yang sudah jelas aturannya. Khususnya di Indonesia, politik itu seperti gambling dan bahkan ada adiksi gambling atau kecanduan. Gagal sekali mau maju lagi dan lagi,"