Bagikan:

Stroke memang bukan penyakit baru, dan publik pun sering mendengarnya. Namun, masalahnya adalah pemahaman dan kemampuan untuk mengambil tindakan yang efektif masih terbatas. Menurut Ketua Umum Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki), Mayjen TNI (Purn) Dr. dr. Tugas Ratmono, Sp.S. MARS., MH, masyarakat belum sepenuhnya memahami apa itu stroke dan bagaimana cara bertindak ketika ada yang terkena. Oleh karena itu, mereka merasa tertantang untuk terus melakukan edukasi.

***

Dalam situasi seperti ini, Yastroki hadir dengan tujuan memperluas peranannya agar masyarakat bisa lebih memahami dan teredukasi. "Ketika mendengar kata stroke, mungkin banyak orang sudah familiar, namun pengetahuan mendalam mengenai stroke masih langka. Banyak orang yang datang terlambat ke rumah sakit, yang menunjukkan tingkat kesadaran mengenai stroke masih rendah," katanya.

Padahal, penyakit ini dapat diobati atau disembuhkan jika pasien memiliki semangat yang kuat dan mendapatkan dukungan dari sistem sekitarnya. Tugas Ratmono menjelaskan bahwa ada tiga klasifikasi pasien stroke. "Terdapat tiga kelompok pasien stroke: pertama, pasien yang mandiri dan ingin pulih dengan cepat. Kedua, pasien yang pasrah dan kehilangan semangat. Dan ketiga, pasien yang mengalami depresi hingga ada yang mengakhiri hidupnya. Semua ini harus ditangani. Inilah yang selama ini kami upayakan dan akan terus kami lakukan," tegasnya.

Kejadian yang menimpa seorang pria paruh baya berinisial YR (52) di sebuah rumah di Kelurahan Karet Tengsin, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, diduga akibat frustrasi akibat penyakit stroke dan diabetes yang dideritanya yang belum kunjung sembuh. Korban memilih jalan pintas dengan cara menggantung diri dengan seutas tali di kamar tidurnya. Ini dilaporkan oleh VOI pada 1 November.

Jika saja almarhum YR dan keluarganya sudah teredukasi mengenai stroke, kejadian tragis ini bisa dihindari. Oleh karena itu, Yastroki bekerja sama dengan berbagai pihak terkait untuk terus melakukan edukasi agar masyarakat memahami bagaimana cara menghadapi keluarga, sahabat, dan orang terdekat lainnya yang terkena stroke. "Kami selalu percaya bahwa stroke itu dapat dicegah, diobati, dan mereka yang kena bisa pulih," tegasnya.

Hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah segera membawa orang terdekat yang terkena stroke ke fasilitas kesehatan (faskes) terdekat. Kemudian, pasien akan diberikan perawatan oleh tenaga kesehatan. Setelah itu, masyarakat memiliki peran penting dalam mendukung pemulihan pasca pengobatan melalui rehabilitasi fisik, mental, spiritual, dan ekonomi. "Penderita harus menjalani rehabilitasi dalam berbagai aspek, dan masyarakat perlu berperan serta, karena Yastroki tidak bisa melakukan ini sendirian," katanya kepada Edy Suherli, Savic Rabos, dan Irfan Medianto dari VOI saat wawancara di kantor Yastroki, di kawasan Rasunah Said, Kuningan Setia Budi, Jakarta Selatan, belum lama ini. Berikut adalah petikan selengkapnya.

Karena itu Ketua Umum Yastroki, Tugas Ratmono dan seluruh jakaran bekerja keras mengedukasi masyarakat agar menegrti apa itu stroke dan bisa mengambil langkah yang tepat. (Foto Savic Rabos, DI Raga Granada VOI)

Karena itu Ketua Umum Yastroki, Tugas Ratmono dan seluruh jajaran bekerja keras mengedukasi masyarakat agar menegrti apa itu stroke dan bisa mengambil langkah yang tepat. (Foto Savic Rabos, DI Raga Granada VOI)

Saat ini seperti apa pengetahuan masyarakat kita soal penyakit stroke, apakah tanda-tanda penyakit ini sudah familiar?

Kalau mendengar kata stroke mungkin orang sudah sering, namun tahu lebih jauh soal stroke masih sangat sedikit. Kalau kita lihat masih banyak yang terlambat ke rumah sakit, hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan stroke masih rendah. Kita lihat data yang ada, di Indonesia kejadian stroke itu terus meningkat dari tahun ke tahun. Jadi semua pihak masih perlu upaya keras sebagaimana menginformasikan stroke, mulai dari pencegahan, penanganan, maupun pasca stroke. Jadi bagaimana mengatasi dampak itu dengan baik, itu yang kita harus kerja keras.

Tanda-tanda orang yang terkena stroke?

Tanda yang paling gampang bisa dilihat perubahan yang tiba-tiba dari wajah, mulut yang mencong. Lalu lumpuh sebelah. Kemudian bicaranya pelo, cadel atau tak bisa bicara sama sekali. Kalau Anda menemukan tanda-tanda itu di keluarga, teman atau orang dekat bawa segera ke rumah sakit agar bisa mendapat penanganan yang tepat.

Apakah ada korelasi antara gaya hidup dan kondisi lingkungan orang yang terkena stroke?

Ada dua faktor risiko stroke, yang bisa dikendalikan dan yang tak bisa dikendalikan. Faktor risiko yang tak bisa dikendalikan contohnya umur, ras (suku), jenis kelamin, dan genetik. Lalu faktor yang bisa dikendalikan adalah darah tinggi, gangguan jantung, kolesterol tinggi, kekentalan darah, dan polusi udara. Daerah yang polusinya tinggi angka kejadian strokenya juga tinggi. Lalu ada juga gaya hidup, dapat mempengaruhi penyakit-penyakit darah tinggi, gangguan jantung, kolesterol tinggi, kekentalan darah. Jadi gaya hidup harus sehat agar terhindar dari stroke. Stroke itu secara umum ada dua jenis, satu sumbatan dan kedua pendarahan. Ini berkaitan dengan penyakit-penyakit yang tadi saya kemukakan. Ada juga faktor psikologis ikut memengaruhi.

Dari paparan itu, jadi stroke ini dapat dicegah?

Orang yang sudah terkena stroke bisa diobati dan bisa pulih. Kementerian Kesehatan memiliki strategi mencegah stroke dengan cara CERDIK. Yaitu C: cek kesehatan secara berkala. Kemudian E: enyahkan rokok dan alkohol. Lalu R: rajin berolahraga itu penting, sepekan minimal 150 menit. Silahkan diatur berapa hari anda akan berolahraga, itu bisa membantu mencegah stroke. Selanjutnya D: diet makanan yang berimbang. Secara persis imbangnya bagaimana bisa konsultasi dengan pakar gizi. Selanjutnya I: istirahat yang cukup juga penting jangan kerja terus. Dan terakhir K: kelola stres dengan bijak. Jadi harus berolahraga, gembira dan jangan lupa bahagia. Tindakan preventif itu lebih bagus daripada mengobati, sedia payung sebelum hujan. Jadi harus dijaga sebelum terkena. Soalnya kalau sudah terkena mati kehidupannya. Dampak ini yang luar biasa.

Apa saja kendala yang ada teman-teman Yastroki hadapi untuk mengedukasi masyarakat agar mengerti apa itu stroke?

Ini adalah tantangan, dan tantangan ini harus jadi peluang. Kita harus menangangi stroke dari hulu hingga ke hilir dengan baik. Saat pandemi COVID-19 lalu berat sekali mengubah perilaku menggunakan masker, pelan-pelan akhirnya bisa. Begitu juga soal stroke ini. Bagaimana kita menginformasikan kepada publik kalau stroke itu dapat dicegah dan diobati. Dari ajaran agama, agama mana pun saya kira mengajurkan kita untuk hidup sehat sehingga bisa berkarya dan beribadah dengan baik.

Perilaku yang tak mudah diubah lainnya adalah menganggap enteng stroke. Sudah kena masih nanti-nanti dulu mau ke rumah sakit. Padahal lebih cepat lebih baik. Kami dari Yastroki menyiapkan stroke helper, mereka adalah relawan yang akan membantu dan mengajak orang terkena stroke untuk ke rumah sakit. Semoga mereka bisa menularkan budaya peduli kepada masyarakat kepada yang lain. Selain masyarakat tenaga kesehatan di rumah sakit juga penting untuk sigap mengambil tindakan saat ada penderita. Jangan sampai pasiennya sudah segera datang tapi tindakannya yang terlambat. Stroke itu emergency atau darurat.

Tak perlu takut menghadapi stroke, kata Ketua Umum Yastroki, Tugas Ratmono, penyakit stroke itu bisa diatasi dengan cara CERDIK. (Foto Savic Rabos, DI Raga Granada VOI)
Tak perlu takut menghadapi stroke, kata Ketua Umum Yastroki, Tugas Ratmono, penyakit stroke itu bisa diatasi dengan cara CERDIK. (Foto Savic Rabos, DI Raga Granada VOI)

Ada tindakan yang dilakukan orang untuk menghadapi penderita stroke itu seperti apa Anda melihatnya?

Memang ada yang berkembang kalau menghadapi orang stroke itu dipijit-pijit, atau tusuk telinganya dengan jarum agar peredaran darahnya lancar dan masih banyak lagi informasi yang beredar. Tindakan yang tidak dianjurkan itu hanya membuang waktu saja. Yang paling tepat itu segera bawa pasien ke fasilitas kesehatan (faskes) terdekat. Standar membawa pasien ke faskes terdekat itu 15 menit. Saya tidak tahu kalau di Jakarta yang macet ini bisa tidak. Lalu setelah tiba di faskes harus ditangani dalam kurun waktu 60 menit. Jadi ada code of stroke, standar kerja yang harus diberlakukan saat menangani pasien stroke. Ini harus diberlakukan.

Untuk tenaga kesehatan sudah punya code of stroke, bagaimana untuk orang awam, apa yang harus dilakukan saat ada keluarga atau orang dekatnya yang terkena stroke?

Kita selalu berpikir bahwa stroke bisa dicegah, diobati, dan dipulihkan. Untuk masyarakat yang dibutuhkan adalah kesigapan membawa pasien ke faskes terdekat. Setelah sampai di faskes tindakannya adalah diobati dan dipulihkan, itu adalah ranahnya tenaga kesehatan dan rumah sakit. Setelah ditangani tenaga kesehatan, pasien stroke akan kembali ke masyarakat. Inilah peran masyarakat untuk bisa membantu mereka yang pernah terkena stroke untuk pulih yaitu rehabilitasi. Penderita harus direhabilitasi fisik, mental, spiritual, dan ekonominya. Masyarakat perlu ikut andil, karena Yastroki tidak bisa sendirian.

Ada tiga kelompok pasien stroke yang ada, pertama pasien yang mandiri ingin cepat pulih. Kedua pasien yang pasrah dan tak punya semangat. Dan ketiga adalah pasien yang depresi, sampai ada yang mengakhiri hidupnya. Kita harus tangani ini semua. Ini yang kami upayakan selama ini dan selanjutnya.

Yang perlu dicatat, keinginan untuk sembuh itu harus datang dari pasien ya dok?

Ya betul, saya juga dokter neurology. Kepada pasien saya tekankan kalau 70 persen peran kesembuhan itu harus datang dari pasien. Semangat dari pasien itu amat tinggi untuk pulih. Faktor dokter dan obat itu tidak terlalu besar.

Belum lama ini para capres dan cawapres menjalani pemeriksaan kesehatan, apakah penyakit stroke ini masuk dalam item yang diperiksa?

Dulu, saat masih aktif di RSPAD dan masuk dalam tim untuk pemeriksaan kesehatan capres dan cawapres, salah satu item yang diperiksa adalah stroke. Capres dan cawapres kita itu ada stroke atau tidak. Lalu, kalau ada indikasi stroke sudah berapa lama stroke-nya. Kemudian fungsi organ mereka seperti apa, soalnya kalau terganggu dan tak bisa melakukan pekerjaan, tidak boleh. Terutama stroke yang berhubungan dengan kognitif atau fungsi luhur. Soalnya mereka akan memimpin negeri ini, jadi harus sehat.

Oke, untuk Yastroki sendiri, apa yang sedang akan dilakukan baik sendiri atau berkolaborasi dengan pihak lain?

Kami berdiri sejak 34 tahun lalu, saya sebagai Ketum baru menjabat sejak Mei 2023. Jadi saat ini masih melakukan inventarisasi dan menyusun rencana kerja bersama pengurus Yastroki. Program yang akan dilakukan antara lain membangun awareness publik tentang stroke. Kami melakukannya melalui acara Kamisan Yastroki, dialog yang menghadirkan berbagai narsum hadir untuk menyampaikan informasi soal pencegahan, pengelolaan, dan pasca stroke. Ada juga curhat stroker, mantan penderita stroke agar menginspirasi banyak orang.

Kami sedang menggandeng rumah sakit mengembangkan berbagai layanan, seperti telekonsultasi, telemedisin melalui aplikasi. Bekerjasama dengan sebuah perusahaan kami mengembangkan smartwatch. Ini kami komunikasikan dengan Kementerian Kesehatan dan organisasi dokter saraf Indonesia. Lalu stroke helper akan kami kembangkan agar lebih banyak lagi yang bisa terlibat. Akan ada pelatihan untuk mereka yang ingin terlibat.

Yastroki juga menggelar jambore, targetnya apa?

Kami ingin membangun kesadaran kolektif kalau stroke bisa dicegah. Juga membangun kewaspadaan terhadap stroke. Kami sudah didukung oleh pemda DKI untuk acara ini. Memang tak bisa serta merta mengubah masyarakat, ya pelan-pelan dan akan dilakukan terus menerus sampai berhasil, jambore adalah salah satu cara kami melakukan sosialisasi. Kami juga membagikan 1.000 kursi roda untuk penderita stroke, ada juga senam dan kegiatan lainnya. Ini adalah jambore kedua yang kami lakukan di bulan Oktober 2023. Jambore sebelumnya dilakukan tahun lalu di Yogyakarta.

 

Ini Tips Sehat Ala Dokter Tugas Ratmono

Sejak muda Ketua Umum Yastroki, Tugas Ratmono sudah hobi berolaraga, kebiasaan itu terus dilakukan hingga sekarang. (Foto Savic Rabos, DI Raga Granada VOI)
Sejak muda Ketua Umum Yastroki, Tugas Ratmono sudah hobi berolaraga, kebiasaan itu terus dilakukan hingga sekarang. (Foto Savic Rabos, DI Raga Granada VOI)

Sejak masih pelajar dan mahasiswa, Mayjen TNI (Purn) Dr. dr. Tugas Ratmono, Sp.S. MARS., MH, yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki), sudah gemar berolahraga. Kebiasaan itu berlanjut hingga purna tugas di TNI dan kini lebih banyak terlibat dalam kegiatan sosial dan kesehatan.

“Ketika masih sekolah lalu berlanjut ke perguruan tinggi, saya itu memang sudah hobi olahraga. Saya dulu hobinya lari, sampai jadi kebiasaan. Kalau engga lari  saya pilek. Akhirnya menjadi rutinitas,” kata Tugas Ratmono yang kini juga melakoni tenis lapangan dan sesekali golf.

“Namun untuk  olahraga golf, waktunya lebih lama. Makanya saya tidak memaksakan diri, kalau ada yang mengajak saja. Soalnya golf itu memerlukan waktu yang panjang. Kalau waktunya enggak ada, saya tetap berolahraga meski dilakukan di rumah saja dengan treadmill,” ujar Tugas yang juga gemar mendengarkan musik.

Buat dia menikmati musik itu adalah cara untuk menyeimbangkan antara unsur fisik dan budaya. “Saya juga hobi mendengarkan musik. Ini perlu   untuk keseimbangan antara seni dan aktivitas non fisik,” ujarnya alumni Fakultas Kedokteran UGM (1990).

Dalam melakoni aktivitas fisik seperti olahraga, lanjut Dokter Tugas tak boleh berlebihan. Apalagi untuk usia yang tak muda lagi. “Yang penting itu berkeringat dan bisa membuat bugar. Jangan terlalu dipaksakan, karena akan menimbulkan dampak yang tidak baik kalau terlalu diforsir,” ujar pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah 13 November 1963 ini.

Diet Seimbang

Selain pengobatan, kata Ketua Umum Yastroki, Tugas Ratmono sehabilitasi pasca stroke juga penting dilakukan. (Foto Savic Rabos, DI Raga Granada VOI)
Selain pengobatan, kata Ketua Umum Yastroki, Tugas Ratmono rehabilitasi pasca stroke juga penting dilakukan. (Foto Savic Rabos, DI Raga Granada VOI)

Untuk urusan makanan Tugas Ratmono relatif tak ada kendala yang berarti. “Sampai saat ini saya memang tidak ada pantangan dalam urusan makanan. Namun karena usia, saya memang mulai mengurangi asupan karbohidrat. Jadi porsi nasi tak sebanyak dulu waktu masih muda. Memang tak ada yang dipantang, tapi  makannya tidak boleh berlebihan. Ya tahu diri saja,” kata Tugas yang menyelesaikan Sepa Milsuk ABRI (1989).

Dia melakoni pola makan dengan  diet seimbang. “Saya itu sejak dulu bobot tubuhnya relatif stabil sekitar 64 kg. Saya itu susah naiknya, tapi turunnya cepat. Misalnya saat melakoni ibadah puasa, itu cepat turun. Nah setelah usai ibadah puasa untuk naik lagi ke posisi semula perlu waktu,” ungkap Dokter Tugas yang jabatan terakhirnya sebagai Kepala Pusat Kesehatan TNI (2020-2021).

Dalam melakoni diet seimbang itu, lanjutya, tak boleh kelebihan asupan kalori dan tak boleh juga kekurangan kalori. “Satu lagi yang harus dijaga asupan minum air putih yang cukup agar tidak dehidrasi atau kekurangan cairan tubuh. Kalau aktivitas ringan dibutuhkan 30 cc/kg berat badan dan kalau aktivitas sedang 40 cc / kg berat badan. Kalau aktivitas saya sedang minimal sehari minum 2,5 liter,” tambah Tugas yang berolahraga lari di sekitar rumahnya di kawasan lapangan Banteng, Jakarta Pusat.

Agar tidak terlalu terbebani dengan kesibukan di kantor dan organisasi. Dokter Tugas melepas stres dengan berolahraga. “Kalau ditanya seperti apa mengatasi stres, saya dengan berolahraga. Tetapi juga harus menakar kemampuan diri dan dengan siapa kita bekerja sama,” katanya.

Saat Pandemi COVID-19 lalu dirasakan Dokter Tugas tingkat stresnya meningkat. “Semua yang terlibat dalam penanganan Pandemi COVID-19 kemarin stres. Kita harus berkejaran dengan waktu mengatasi virus yang menyebar. Saya bawa saja semuanya dengan gembira. Sembari melakoni aktivitas dengan target yang telah ditentukan kita tetap ceria, dan jangan lupa bahagia. Itu yang saya lakukan,” ungkap Koordinator Rumah Sakit Darurat COVID-19 Wisma Atlet, Kemayoran Jakpus ini.

Rasa bahagia itu, lanjut Dokter Tugas bisa meningkatkan imunitas tubuh. “Kalau imunitas kita meningkat, kita bisa mengatasi stres yang ada,” lanjut pria yang pernah menduduki posisi sebagai Kepala Departemen Saraf RSPAD Gatot Subroto.

Untuk Keluarga

Karena stroke itu bersifat darurat, Ketua Umum Yastroki, Tugas Ratmono meminta semua pihak tidak menganggap enteng stroke. (Foto Savic Rabos, DI Raga Granada VOI)Karena stroke itu bersifat darurat, Ketua Umum Yastroki, Tugas Ratmono meminta semua pihak tidak menganggap enteng stroke. (Foto Savic Rabos, DI Raga Granada VOI)
Karena stroke itu bersifat darurat, Ketua Umum Yastroki, Tugas Ratmono meminta semua pihak tidak menganggap enteng stroke. (Foto Savic Rabos, DI Raga Granada VOI)

Keluarga bagi Tugas Ratmono adalah segalanya. “Saat di kantor kita fokus dengan pekerjaan. Setelah di rumah kita harus memberikan waktu untuk anak dan istri. Ya kalau sudah di rumah upayakan untuk bersama dengan keluarga,” katanya.

Kini setelah anak-anaknya besar besar tinggal situasinya sudah berubah. “Anak saya yang pertama sudah berkeluarga dan sekarang tinggal di Surabaya. Sedangkan adiknya masih kuliah di Universitas Indonesia. Dulu waktu masih semuanya tinggal di Jakarta kami biasanya akhir pekan itu pergi ke suatu tempat untuk makan bersama. Sekarang cuma bertiga saja,” lanjutnya.

Dokter Tugas beruntung memiliki keluarga yang memahami posisinya kini. “Dulu saat pertama pensiun di bulan Oktober 2001, saya sudah bersiap ingin menikmati masa tua di rumah saja. Eh ternyata saya malah stres sendiri. Akhirnya saya kembali menyibukkan diri dengan buka praktek dan aktif dalam kegiatan di Yastroki,” katanya.

Jadi meski sudah usia pensiun kembali sibuk. “Dengan kesibukan itu cara berpikir dan bekerja digunakan lagi. Tetap bisa berkarya dan bermanfaat untuk orang banyak. Jadilah orang yang bermanfaat untuk orang-orang yang ada di sekelilingmu. Akan lebih baik lagi kalau bisa menjadi solusi untuk orang di sekitar kita,” ujar Tugas Ratmono.

"Ada tiga kelompok pasien stroke yang ada, pertama pasien yang mandiri ingin cepat pulih. Kedua pasien yang pasrah dan tak punya semangat. Dan ketiga adalah pasien yang depresi, sampai ada yang mengakhiri hidupnya. Kita harus tangani ini semua. Ini yang kami upayakan selama ini dan selanjutnya,"

Tugas Ratmono