Pemerintah melalui Menko PMK Muhadjir Effendy mengumumkan perubahan penyebutan hari libur nasional wafat Isa Almasih menjadi wafatnya Yesus Kristus. Ini sejalan dengan penyebutan hari Natal sebagai kelahiran Yesus Kristus. Perubahan ini direspon positif oleh Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom, MTh. Menurut dia, penyeragaman ini bagus agar tidak membingungkan.
***
Soalnya itu adalah untuk sosok yang sama, ketika ada istilah atau atau penyebutan nama yang berbeda, kesannya ada dua sosok. "Kami menghargai dan mensyukuri perubahan yang dilakukan oleh Menko PMK Muhajir Effendy dan pihak Kemenag soal penyebutan nama hari libur nasional dari Isa Almasih menjadi Yesus Kristus. Tapi ini sesungguhnya bukan sesuatu yang fundamental. Selama ini dalam kalender nasional kita disebutkan bahwa Jumat Agung itu sebagai wafatnya Isa Almasih. Lalu pada 25 Desember disebutkan sebagai Kelahiran Yesus Kristus. Padahal ini oknumnya sama, tetapi yang satu disebut Isa Almasih dan yang satu lagi disebut Yesus Kristus," kata Gomar Gultom.
Sejatinya, kata Gomar, tidak ada masalah untuk penggunaan nama Isa Almasih atau Yesus Kristus. Karena keduanya adalah sosok yang sama. "Maka kami dari PGI meminta itu disamakan istilahnya, supaya tidak membingungkan orang Kristen. Yang penting ada keseragaman antara Natal dan Jumat Agung. Mau penyebutannya Isa Almasih atau Yesus Kristus, no problem," tandasnya.
Selain persoalan perubahan tersebut, ada persoalan pengawasan ceramah di rumah ibadah yang dikemukakan Kepala Badan Nasional Penganggulangan Terorisme (BNPT) Rycko Amelza Dahniel. Ide ini ditanggapi dengan serius oleh berbagai tokoh agama, termasuk Pendeta Gomar Gultom. "Mungkin memang ada dugaan ada di satu-dua rumah ibadah yang tempat penganut radikalisme, tetapi dengan mengusulkan ide ini, artinya mengeneralisasi semua rumah ibadah seperti itu. Kalau sudah begitu, ini menyakitkan bagi kami," katanya.
Yang paling mengkhawatirkan Gomar Gultom adalah ide pengawasan ini akan melibatkan masyarakat. Rycko Amelza Dahniel menyebutnya sebagai pengawasan kolaboratif. "Kalau itu yang dilakukan, lebih gawat lagi. Soalnya, aparat pemerintah biasanya mereka terstruktur dan terukur, tetapi jika masyarakat dilibatkan, bisa kacau dan menciptakan konflik horizontal," tegasnya kepada Edy Suherli, Savic Rabos, dan Irfan Medianto dari VOI yang menyambanginya di Kantor PGI, Salemba, Jakarta Pusat belum lama ini.
Kepala BNPT Rycko Amelza Dahniel mengusulkan agar ceramah di rumah ibadah dikontrol oleh pemerintah, apa reaksi Anda saat pertama kali mengetahui hal ini?
Saat mendengar ada ide seperti ini yang dilontarkan oleh Kepala BNPT, rasanya kita kembali lagi ke era Orde Baru yang mengontrol setiap ceramah yang dilakukan pemuka agama. Saya bisa memahami kegelisahan Pak Rycko Amelza Dahniel ini, sudah ditangkap di sana-sini radikalisme masih muncul, bibit-bibitnya tak hilang juga. Terakhir, terjadi pada seorang oknum karyawan BUMN. Sepertinya atas dasar ini dia mengusulkan agar ceramah di rumah ibadah dikontrol. Tetapi jika ini yang dilakukan, artinya mengasumsikan bahwa rumah ibadah sudah menjadi persemaian paham radikalisme. Mungkin memang ada dugaan seperti itu di satu-dua rumah ibadah, tetapi dengan mengusulkan ide mengontrol cermaah di rumah ibadah ini, artinya menggeneralisasi semua rumah ibadah seperti itu. Kalau sudah begitu, ini menyakitkan bagi kami.
Mengapa begitu?
Karena kami, pemuka agama, sudah bekerja keras untuk menangkal paham radikalisme di rumah ibadah, tetapi masih dianggap bahwa rumah ibadah menjadi sarang radikalisme. Kami dari Kristen juga tidak membantah bahwa ada kelompok fundamentalisme, tetapi di Indonesia, yang paling banyak menjadi korban adalah dari kalangan Islam. Jadi kesannya rumah ibadah menjadi biang kerok. Padahal tidak semua seperti itu.
Bahwa ada ceramah di rumah ibadah yang kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak benar, saya kira itu biasa. Saya juga sering ceramah atau menyampaikan pendapat mengkritik pemerintah. Mengkritik pemerintah itu harus dilihat sebagai bagian dari upaya kita membangun bangsa agar terwujud kondisi yang lebih baik.
Rycko Amelza Dahniel menekankan bahwa kontrol yang dilakukan akan melibatkan masyarakat dalam pengawasan, bukan kontrol penuh dan sepihak oleh pemerintah (kontrol kolaboratif), kalau model ini seperti ini bagaimana pandangan Anda?
Kalau itu yang dilakukan, lebih gawat lagi. Soalnya, aparat pemerintah biasanya mereka terstruktur dan terukur, tetapi jika masyarakat dilibatkan, bisa kacau dan menciptakan konflik horizontal. Sekarang saja, ormas tertentu dengan berlindung pada peraturan Menag semena-mena menutup rumah ibadah. Saya prediksi kalau itu diberlakukan dalam satu agama saja, akan terjadi konflik antara umat beragama yang sama, saat mengetahui ceramah di satu rumah ibadah. Apalagi kalau di-endorse oleh negara melalui BNPT ini.
Jadi kalau pengawasan kolaboratif antara pemerintah (BNPT) dan masyarakat ikut mengawasi, risikonya makin besar?
Ya, itulah yang saya khawatirkan. Pasti akan terjadi konflik horizontal. Tidak mungkin penceramah atau pengkhotbah di salah satu rumah ibadah tidak punya pengikut. Kalau ada kelompok masyarakat yang mengambil tindakan pada penceramah itu, pengikutnya tidak akan tinggal diam. Itulah yang akan terjadi gesekan atau konflik horizontal antara pengikut penghotbah dan masyarakat yang mengontrol.
Jadi ide ini menurut Anda perlu dipikirkan kembali?
Sebaiknya wacana untuk mengontrol penceramah atau penghotmah di rumah ibadah, baik yang dilakukan sendiri oleh pemerintah, apalagi dengan melibatkan masyarakat, dihentikan. Wacana itu tarik saja dari peredaran, karena akan mengerikan dampaknya. Kita kan sudah punya KUHP, soal ujaran kebencian, provokasi bisa dipantau lewat perangkat itu, tidak perlu dilakukan oleh lembaga khusus, apalagi melibatkan masyarakat.
Sejak tahun 1998, pasca reformasi, kita sudah berjuang menegakkan demokrasi. Upaya demokratisasi itu jangan dirusak dengan ide mengontrol penceramah seperti ini. Menurut pemahaman saya dalam sebuah negara yang demokratis, rakyat dipercayai sepenuhnya oleh negara. Rakyat itu juga memiliki wisdom (kebijaksanaan) untuk menyelesaikan masalah, tidak semua harus ditangani oleh negara. Kita memiliki banyak sekali local wisdom yang bisa diimplementasikan untuk menyelesaikan persoalan.
Dalam setiap agama dan aliran, ada kelompok fundamentalis, dalam agama Kristen, bagaimana Anda menghadapinya?
Memang kelompok fundamental itu ada di setiap agama. Di Myanmar, kelompok fundamental Buddha, di India ada fundamentalis Hindu. Di Kristen juga ada, seperti yang terjadi di Norwegia pada tahun 2011, seorang pemuda melakukan penembakan. Meskipun itu didasari oleh gerakan anti-imigran yang datang ke Eropa, namun ini dipicu oleh fundamentalisme keagamaan. Pembunuhan di masjid Selandia Baru beberapa waktu yang lalu juga tidak bisa diabaikan, semuanya karena fundamentalisme agama, dalam hal ini Kristen.
Dalam Kristen, sayap kanan yang fundamentalis hingga sayap kiri yang sangat liberal ada. Namun, mereka tidak muncul dalam bentuk gerakan radikal. Mengapa mereka tidak muncul? Karena semua, mulai dari yang paling kanan hingga yang paling kiri, diberi ruang untuk didengarkan. Didengarkan bukan berarti disetujui. Saya tidak setuju dengan ajaran gereja A, tetapi saya tidak harus menghancurkan ajaran mereka. Biarkan mereka berkembang, selanjutnya mari berdebat dalam konteks ilmiah. Jadi tidak selalu harus sepakat, agree to disagree. Tradisi ini ada dalam Kristen.
Ada contoh nyata yang bisa diungkapkan?
Pengalaman kami di PGI memberi ruang dan menghargai pendapat mereka, baik yang berpandangan sayap kanan maupun sayap kiri. Sekali lagi, bukan berarti kami menyetujui mereka. Ada satu aliran di Indonesia yang disebut Saksi Yehuwa, kami tidak sependapat dengan ajaran mereka dalam Kekristenan. Meskipun begitu, kami akan berjuang jika hak-hak dasar mereka sebagai warga negara tidak diakomodir di Indonesia. Sikap seperti itu hampir dilakukan oleh semua gereja di seluruh dunia.
Jadi tidak perlu dikekang dalam mengemukakan pendapat?
Kalau apa-apa dilarang, kapan kita akan dewasa? Orang bisa bertumbuh meskipun dikekang, tetapi kehidupan tidak sesederhana itu. Di satu sini dilarang, di sana bebas. Sekarang bagaimana kita bisa membatasi internet. Yang paling penting adalah mendidik masyarakat. Saya tidak merokok dan tidak menganjurkan orang untuk merokok, tetapi saya tidak akan pernah melarang penjualan rokok.
Anda pernah mengeluarkan pernyataan bahwa yang lebih penting ditangani adalah soal ujaran kebencian daripada ide mengawasi ceramah di rumah ibadah, bagaimana penjelasannya?
Ujaran kebencian membuat hidup kita sulit. Ujaran kebencian ini akan mendidik anak-anak kita dari waktu ke waktu menjadi intoleran. Padahal pengikat bangsa kita selama ini adalah toleransi. Dan ini bisa menjadi bibit tindakan kekerasan. Tahapannya adalah ujaran kebencian, tindakan kekerasan, radikalisme, dan teror terhadap mereka yang berbeda dengan kita. Untuk mengatasi ini, semua kita harus mempercayakannya kepada penegak hukum yang akan berpegang pada KUHP untuk menyelesaikan semua ini. Jadi tidak perlu lagi ada ruang lain untuk menyelesaikannya.
Yang perlu dikembangkan adalah dua hal, pertama, toleransi bukan hanya tentang hidup bersama dan saling menerima, tetapi juga tentang saling mengakomodasi. Misalnya, jika seorang Muslim bertamu ke rumah saya, saat waktu salat tiba, saya harus memberikan tempat kepadanya untuk melaksanakan ibadah. Jika kita menerima orang asing tinggal di desa kita, kebutuhan mereka harus diakomodir, termasuk kebutuhan beribadah seperti rumah ibadah.
Sejak dahulu, Indonesia memiliki keberagaman suku, ras, agama, bahasa, dan budaya dari Sabang sampai Merauke, ini adalah kenyataan yang tak bisa diabaikan, apa pendapat Anda?
Di Indonesia, keberagaman suku, ras, agama, bahasa, dan budaya adalah keniscayaan. Kita sudah lama beragam dan tidak bisa dijadikan seragam. Biarkan semuanya tumbuh, kita bisa bersama, tetapi tidak harus sama. Karena upaya untuk menyeragamkan itu mengabaikan perbedaan yang sebenarnya.
Saya rasa pendidikan di sekolah harus dimulai dengan multikulturalisme ini. Itulah di mana kita sering terjebak. Salah satu jebakan terbesar adalah formalisme. Busana di sekolah pun harus seragam. Saya menghargai orang yang mengenakan jilbab sesuai dengan keyakinannya, tetapi memaksa orang dari agama lain untuk memakainya adalah hal yang tidak masuk akal. Jadi penggunaan seragam sekolah hanya untuk menghilangkan perbedaan yang mencolok.
Bagaimana agar perbedaan ini bisa menjadi bermanfaat, menurut Anda, apa yang harus dilakukan?
Perbedaan harus kita syukuri, biarkan menjadi nilai tambah dan akan memperkaya kita. Ini adalah karunia dari Allah bagi bangsa kita.
BACA JUGA:
Pemerintah sudah menetapkan penyebutan Isa Almasih menjadi Yesus Kristus dalam libur nasional, apa tanggapan Anda atas rencana ini?
Kami menghargai dan mensyukuri perubahan yang dilakukan oleh Menko PMK soal penyebutan nama hari libur nasional dari Isa Almasih menjadi Yesus Kristus. Tapi ini sesungguhnya bukan sesuatu yang fundamental. Selama ini dalam kalender nasional kita disebutkan bahwa Jumat Agung itu sebagai wafatnya Isa Almasih. Lalu pada 25 Desember disebutkan sebagai Kelahiran Yesus Kristus. Padahal ini oknumnya sama, tetapi yang satu disebut Isa Almasih dan yang satu lagi disebut Yesus Kristus. Maka kami dari PGI meminta itu disamakan istilahnya. Supaya tidak membingungkan orang Kristen. Yang penting ada keseragaman antara Natal dan Jumat Agung. Mau penyebutannya Isa Almasih atau Yesus Kristus, no problem.
Selain urusan gereja, apa lagi program yang dilaksanakan PGI?
Selain mengurusi urusan gereja-gereja, kami juga peduli untuk mewujudkan peran sosial gereja. Agar gereja menjadi berkat bagi bangsa ini. Maka kami juga memperhatikan soal politik, ketidakadilan, kemiskinan, penanganan korupsi, dan masalah kelestarian lingkungan. Bumi kita semakin tua dan semakin memprihatinkan. Manusia terlalu mengeksploitasi alam melebihi maksud penciptaan alam ini. Atas semua ini, kita harus melakukan pertobatan. Kalau kiamat yang diungkapkan kitab suci belum terjadi, kiamat ekologi sudah diambang mata jika kita tidak segera melakukan perubahan dan pertobatan ekologis.
Selain itu, perkembangan teknologi juga semakin pesat. Dulu kita hanya khawatir soal mekanisasi, pekerjaan manusia akan diambil alih oleh robot. Kini rekayasa genetika yang dipadukan dengan digitalisasi juga terjadi. Penggunaan kecerdasan buatan. Persoalan ini juga menjadi perhatian kami. Manusia sudah bisa menciptakan manusia yang lebih unggul dari ciptaan Tuhan. IQ saya mungkin saat ini 100, tetapi manusia ciptaan itu IQ-nya bisa mencapai 200. Dan dia bisa sehat sampai 120 tahun. Sakitnya bisa diprediksi lima tahun sebelumnya.
Ada juga program gereja sahabat alam, di mana saja sudah dilakukan?
COVID-19 yang terjadi kemarin bagi kami adalah katup bagi krisis ekologi. Soalnya dalam penelitian sebelumnya, COVID-19 ini adalah mutasi dari virus sebelumnya yang tidak kita kenal. Mengapa virus itu bermutasi, konon karena pemanasan global dan perubahan iklim. Karena itu perlu pertobatan.
Menurut mantan Wapres Budiono, setiap orang di Indonesia memproduksi sampah sebanyak 0,7 kg sampah per hari. Silakan dikalikan dengan jumlah penduduk, berapa banyak sampah yang dihasilkan. Umat Kristen saja ada 20 juta. Kalau sebulan atau setahun sudah berapa banyak sampah yang dihasilkan. Kita semua harus peduli dan berbuat agar sampah bisa dikelola agar tidak merugikan. Belum lagi sampah yang dibuang ke laut bisa mencemari fauna dan flora di sana. Kita yang makan ikan dan hasil laut lainnya juga bisa terkena dampaknya. Kami sudah melarang penggunaan plastik dalam setiap pertemuan Oikoumene untuk kemasan makanan. Peserta yang datang, sekitar 2000-an, diwajibkan membawa wadah makanan dan tumbler. Jadi kampanye tanpa plastik.
Kami juga mendukung kampanye bawa saputangan, tidak perlu lagi tisu, yang untuk membuatnya membutuhkan berapa banyak pohon. Kami meminta semua pekarangan gereja tidak ada yang disemen, tetapi dibuat paving blok agar bisa menyerap air hujan. Pembuatan biopori juga digalakkan untuk mendukung lingkungan. Kami terus mendorong bangunan yang tidak memerlukan AC seperti karya arsitek Friedrich Silaban. Masjid Istiqlal, Gedung Universitas Katolik Atma Jaya, Gedung Universitas Nommensen adalah hasil karyanya yang bisa dijadikan contoh. Jadi kami masih mencari arsitek yang bisa membangun gereja dengan ramah lingkungan. Itulah yang kami sebut dengan program gereja sahabat alam.
Tadi Anda bilang soal PGI juga ikut menanggulangi korupsi, aksi nyatanya apa yang sudah dilakukan?
Korupsi sudah menjadi kronis di negeri ini. Saya khawatir gereja juga ikut memperkuat budaya korupsi. Saya meminta kepada gereja untuk menerima sumbangan dengan selektif, tidak lebih dari kemampuan penyumbang. Kami juga meminta gereja untuk tidak menerima sumbangan yang tidak jelas asal usulnya. Ini tidak mudah, tetapi harus dilakukan. Saya juga menyatakan untuk menghentikan pengajuan proposal kepada calon bupati, calon gubernur, atau calon anggota legislatif. Yang kami anjurkan adalah jika melihat caleg yang bagus, tidak peduli agamanya apa, kumpulkan persembahan untuk dia untuk modal dia maju jadi caleg, bukan sebaliknya.
Bukan rahasia jika menjelang pemilu, tokoh agama didekati oleh politisi, apakah Anda juga?
Ya, kami juga didekati. Bahkan untuk membangun Gedung PGI ini pada tahun 2013-2014, kami didekati oleh tim sukses calon presiden tertentu. Namun, dengan halus kami menolaknya. Saya bersyukur gedung ini selesai atas sumbangan dari jemaat kami sendiri.
Pdt. Gomar Gultom, MTh., Banyak Belajar dari Perjalanan
Bagi Ketua Umum PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), Pdt. Gomar Gultom, MTh., melaksanakan tugas ke berbagai daerah dan manca negara memiliki banyak hal yang bisa dilakukan. Selain melaksanakan tugas, ia juga belajar dari perilaku dan adat istiadat daerah atau negara yang ia kunjungi. Seperti kata pepatah, "sekali merangkuh dayung, dua tiga pulau tercapai."
"Saya itu hobi traveling. Kalau ada tugas ke daerah atau suatu negara, saya selalu mengombinasikannya dengan menjelajahi daerah tersebut. Selain itu, saya juga hobi mendengarkan musik tahun 1970-an seperti musik dari CCR (Creedence Clearwater Revival), Panbers, Bee Gees, dan lain-lain," kata pria kelahiran Tarutung, Tapanuli Utara, 8 Januari 1959 ini.
Dalam urusan traveling di dalam negeri, ia sangat menikmati perjalanan ke Sulawesi Utara dan Pulau Nias. "Saya sangat terkesan saat bertugas ke Sulawesi Utara, tetapi saat menyambangi pedesaannya, bukan di perkotaan. Masyarakat di sana sangat ramah. Dari anak-anak hingga dewasa, tak ada yang tidak menyapa meski tidak kenal saat bertemu," katanya.
Keramahan yang sama juga ia temukan saat bertugas di Pulau Nias. "Di Pulau Nias juga memiliki keramahan yang sama seperti di daerah Sulawesi Utara. Hal itu sangat berkesan bagi saya setelah mengunjungi kedua daerah tersebut," ujar pendeta yang menyelesaikan stsudinya di Sekolah Tinggi Filsafat dan Theologia Jakarta ini.
Saking terkesannya dengan dua daerah tersebut, dia sampai menggambarkannya sebagai smiling Indonesia. "Kalau mau melihat smiling Indonesia, itu ada di Nias dan Manado," katanya.
Terkait pemandangan alam, menurutnya, masih belum ada yang bisa menandingi keindahan alam di kampung halamannya. "Mungkin saya subjektif, tetapi menurut saya pemandangan alam di Sumatera Utara sulit dicari tandingannya. Bukan hanya Danau Toba, tetapi masih banyak lagi gunung, bukit, ngarai, dan panorama alam lainnya yang indah-indah. Dan itu belum banyak dieksplorasi. Yang ditampilkan hanya Danau Toba," katanya, sembari berharap pemerintah juga memerhatikan daerah wisata yang lain agar dapat dipublikasikan dengan baik.
Beradaptasi dengan Makanan
Selain keramahan penduduk, Gomar Gultom juga terkesan dengan keanekaragaman kuliner daerah atau negara yang ia kunjungi. "Di sana, saya selalu diajak makan makanan yang enak-enak, termasuk makanan bagi umat Islam yang dilarang," candanya.
Namun, jujur diakui olehnya, untuk kuliner ekstrim di Sulawesi Utara, ia tidak berani mencicipinya. "Bagi banyak orang yang berkunjung ke Sulawesi Utara, kuliner ekstrim seperti paniki, kelelawar, tom and jerry (anjing dan kucing), ular, dan lain-lain, saya tidak berani untuk menyantapnya," katanya.
Satu lagi makanan kondang dari Manado yang cukup lama dia bisa menikmatinya. Setelah beradaptasi selama sekitar empat tahun, dia akhirnya bisa menikmati bubur Manado. "Soalnya, kalau melihat bubur Manado, saya teringat dengan makanan untuk babi di kampung saya. Seluruh ampas-ampas makanan daun-daunan dan beras kemudian digodok dimasak jadi satu. Maka hasilnya persis seperti bubur Manado. Makanya saya tak bisa menelannya," akunya.
Tetapi oleh karena pergaulan dan setiap kali ke Manado selalu disuguhkan Bubur Manado, akhirnya dia bisa menikmatinya. "Karena sering disuguhi, akhirnya saya pelan-pelan mencoba. Tetapi itu butuh waktu sekitar empat tahun sampai akhirnya bisa menikmati. Kalau dari sisi gizi, tak diragukan lagi. Banyak sekali gizi dan kandungan zatnya, ada sayuran, ubi, ikan, dan beras sebagai bahan utamanya. Tidak hanya enak tetapi juga sehat," katanya.
Pengalaman di Indonesia
Dalam perjalanannya ke mancanegara, yang paling berkesan adalah Scotlandia. "Di sana, saya sangat terkesan dengan alam, busana, musik, dan budayanya. Mereka memiliki tradisi perkawinan yang unik. Dan itu dijaga dalam berbagai festival-festival yang terjadwal dan menarik perhatian wisatawan. Saya kira kita juga memiliki tradisi yang tak kalah unik dan beragam, hanya saja memang belum di kemas dengan baik. Itu adalah tugas kita bersama agar menjadi nilai tambah," katanya.
Selain itu, yang tak kalah berkesan adalah Irlandia Utara. Di negara ini, antara penganut Katolik dan Protestan tak henti-henti bertengkar. "Ada beberapa tokoh pendeta di sana yang mendamaikan mereka. Dan tokoh itu mengatakan dia mendapatkan inspirasi setelah melakukan pelayanan di Indonesia. Dia melihat bagaimana orang Muslim dan Kristen di berbagai tempat bisa bersatu. Dan dia menerapkannya untuk masyarakat Irlandia Utara," ungkapnya.
Gomar mengakui bahwa dia kaget dan merinding mendengar kisah dari pendeta yang bisa mendamaikan pertikaian di Irlandia Utara itu. "Jadi, pendeta itu saat bertugas di Indonesia, dia melayani di Sulawesi Tengah dan di daerah Jawa. Apa yang dia saksikan di Indonesia menjadi model dan inspirasi bagi masyarakat Irlandia untuk hidup rukun dan damai meski berbeda," lanjutnya.
Tak hanya mendengar cerita, Gomar benar-benar dipertemukan dengan penduduk yang dahulu mengalami pertikaian tanpa henti. "Saya diajak bertemu dengan keluarga Katolik lalu ke keluarga Protestan. Sekarang mereka sudah bisa hidup dengan damai. Permusuhan sudah menjadi masa lalu bagi mereka," katanya.
Dalam berbagai kunjungannya ke berbagai negara Uni Eropa bersama Kemenlu, kata Gomar, mereka justru ingin mengadopsi Pancasila untuk negara mereka. "Dulu mereka homogen dengan agama yang sama, sekarang menjadi heterogen sekali dengan masuknya imigran dari Turki, Maroko, India, dan Pakistan. Agamanya juga beragam. Bahkan di beberapa kota seperti London, Wali Kota sudah Muslim, begitu juga beberapa kota lain di Eropa," katanya.
Inilah yang dibutuhkan oleh mereka, sebuah perekat yang bisa menyatukan warganya yang kini telah menjadi heterogen. "Mereka menganggap Pancasila sebagai perekat," kata Gomar Gultom.
"Bahwa ada ceramah di rumah ibadah yang kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak benar, saya kira itu biasa. Saya juga sering ceramah atau menyampaikan pendapat mengkritik pemerintah. Mengkritik pemerintah itu harus dilihat sebagai bagian dari upaya kita membangun bangsa agar terwujud kondisi yang lebih baik,"