Di tengah dunia yang sudah terintegrasi seperti sekarang pemilihan presiden (pilpres) di mana pun tak akan steril dari pengaruh kekuatan global. Hal itu menurut Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Partai Gelora), H. Muhammad Anis Matta, Lc, MA., adalah keniscayaan. Yang penting, kata dia, calon presiden harus independen. Dan jangan membiarkan orang asing menjadikan Indonesia sebagai medan pertempuran.
***
Contoh paling anyar adalah Turki yang baru saja menggelar pesta demokrasi. Dalam pemilihan umum, calon petahana Recep Tayyip Erdogan untuk ketiga kalinya kembali menjadi pemenang. Ia mengalahkan rival beratnya Kemal Kilicdaroglu dari partai oposisi. Hasil pemungutan suara secara nasional Erdogan meraup 52,14 persen suara dan Kilicdaroglu mengumpulkan suara sebanyak 47,86 persen. “Terbaru terjadi pada Turki, Erdogan menuduh campur tangan Amerika yang masuk lewat kekuatan partai oposisi. Sebaliknya partai oposisi menuduh Rusia ikut campur membantu Erdogan,” kata Anis.
Indonesia, lanjutnya yang sebentar lagi akan menjalani pilpres dan pileg secara serentak, juga tak akan steril dari campur tangan asing yang punya kepentingan tertentu di Bumi Pertiwi. “Indonesia juga tak bisa lepas dari pengaruh global. Pilpres di Indonesia pasti menarik kekuatan global untuk terlibat. Sampai di sini tak ada soal, karena inilah sifat dunia yang sudah terintegrasi,” tegas Anis Matta.
Masalah akan muncul, kalau nama-nama yang akan maju sebagai calon presiden tak bisa independen. “Masalahnya kalau kita kehilangan independensi. Kita membiarkan negara kita menjadi medan tempur kekuatan global, akhirnya kita yang menjadi collateral damage. Sekarang kita tinggal melihat mana calon presiden yang paling independen dan paling kuat dari tekanan global,” ujar Anis kepada Iqbal Irsyad, Edy Suherli, Savic Rabos, Rifai dan Irfan Medianto dari VOI yang menyambanginya di Gelora Media Center, Patra Kuningan Jakarta Selatan belum lama berselang.
Ia bicara soal muasal kelahiran Partai Gelora, arah baru Indonesia, bagaimana partai Islam di Indonesia hanya fokus pada mewakili kelompoknya bukan mewakili populasi secara keseluruhan. Ia juga bicara soal problem terbesar yang dialami parpol baru seperti Gelora Indonesia, dan bagaimana menghadapi kompetisi dalam pemilu yang akan digelar tahun depan. Anis juga mendorong agar pemimpin dan politisi di Indonesia tak hanya jago kandang. Dengan potensi yang dimiliki Indonesia sebagai bangsa, punya peluang besar untuk menjadi super power baru. Inilah petikan selengkapnya.
Bisa diceritakan secara singkat bagaimana sejarah lahirnya Partai Gelora Indonesia ini?
Partai ini lahir dari kegelisahan saya sebagai salah seorang pimpinan DPR RI 2009-2014, tapi saya mengundurkan diri pada 2013. Ada dua masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia. Pertama akan ada krisis besar secara global. Krisis yang ini akan mengubah sejarah global ini, dipengaruhi oleh konflik ideologi dan geopolitik atau konflik supremasi antara kekuatan-kekuatan utama dunia.
Yang kedua elit Indonesia tak punya sence of urgency pada persoalan kritis global seperti ini. Padahal sejarah Indonesia ditentukan oleh momen-momen kritis dari masa ke masa. Misalnya Vasco Da Gama datang ke Nusantara setelah Columbus sampai ke Amerika. Setelah itu kita menjalani era baru imperialisme Eropa. Kemudian setelah berabad-abad Jepang masuk dan menjajah Indonesia. Jepang kalah, Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. Tahun 1965 Indonesia mengalami peristiwa besar yang menjadi cikal bakal lahirnya orde baru, dan runtuhnya orde lama. Kemudian tahun 1998 terjadi reformasi yang menandai selesainya era Orde Baru. Sekarang 2023 terjadi krisis global yang melanda dunia. Terjadi hubungan panas antara Rusia dan negara-negara Barat.
Tapi Anda sempat mengalami konflik internal di PKS?
Saat saya sedang mengalami kegelisaan secara pribadi itu, saya mengalami konflik internal di PKS. Pilihannya saya keluar dari PKS.
Gelora Indonesia akan berebut suara yang selama ini diperebutkan partai Islam lainnya, bagaimana Anda menghadapi hal ini?
Kita akan menghakhiri pemisahan agama dan negara. Itu tidak bisa dilakukan. Tak ada dalam sejarah satu kekuatan yang mampu melakukan itu. Persoalan di Indonesia hal ini sengaja untuk mengeliminir orang-orang yang membawa idiologi agama, khususnya Islam. Padahal Pancasila sendiri memastikan bangsa ini bangsa yang religius. Lalu mengapa dukungan publik untuk partai Islam tak sebesar yang diharapkan. Masalahnya pertama, partai Islam berorientasi mewakili kelompoknya sendiri, bukan mewakili populasi/rakyat secara keseluruhan. Ada partai Islam yang menyasar kaum tradisional, ada partai Islam yang membidik kalangan moderen, tak ada yang pernah menawarkan Islam sebagai ajaran itu untuk seluruh populasi.
Partai-partai Islam juga tidak concern menjawab persoalan fundamental dalam hal ketidakadilan distribusi ekonomi dengan menggunakan ajaran agamanya. Dan masih banyak persoalan penting lainnya yang mestinya dijawab dengan menggali ajaran Islam.
Apakah pendiri bangsa kita tidak meletakkan dasar yang kuat dalam konteks keterwakilan?
Kaum nasionalis seperti Bung Karno sadar betul kalau bangsa ini banyak aliran pemikiran, ada kelompok kiri, kelompok Islam dan kelompok nasionalis. Dasar yang ditawarkan adalah Pancasila yang mewakili semua kelompok. Artinya Bung Karno datang dengan narasi yang mewakili semua populasi, bukan kelompok. Sebaliknya partai Islam di Indonesia concern pada mewakili kelompoknya sendiri. Kami dari Partai Gelora Indonesia datang dengan narasi yang mewakili populasi, inilah arah baru Indonesia.
Apalagi yang lemah dari partai-partai Islam kita sekarang?
Partai Islam itu tak pernah menawarkan kepemimpinan yang kuat. Karena sejak awal sudah mewakili kelompok, sulit untuk menjadi pemimpin untuk semua populasi. Saat pilpres biasanya mereka cuma menjadi komplimenter, paling tinggi jatahnya Wakil Presiden. Dari nama-nama calon presiden yang muncul di survei saat ini tak ada yang mewakili idiologi Islam, mereka beragama Islam ya.
Sebagai pendatang baru, apa tantangan terbesar Partai Gelora ke depan?
Tugas kami menyelesaikan dua faktor fundamental dalam kehadiran satu parpol baru. Sisi narasi; idiologinya dan sisi kepemimpinannya. Kami menawarkan narasi yang mewakili seluruh populasi Indonesia. Kami juga menyiapkan calon pemimpin bangsa yang tak hanya mampu mewakili kelompoknya. Tantangan terbesar kami lebih ke persoalan teknis, soal logistik. Soalnya wilayah Indonesia ini amat luas, semurah-murahnya ongkos operasional partai, tetap saja mahal. Selama era reformasi ini kita beralih ke demokrasi pasar, di mana konstituen dimanjakan dengan banyaknya bantuan sosial.
Lalu apa yang ingin ditawarkan Gelora lewat tag line “arah baru Indonesia” itu?
Tahun 2011 saya melakukan penelitian yang sampai pada dua kesimpulan. Pertama soal fase perjalanan sejarah dan kedua pada core value. Sejarah panjang Indonesia melewati dua gelombang besar, pertama bagaimana kita mengalami identitas baru yang bernama Indonesia. Kita butuh ratusan tahun untuk sampai pada entitas baru ini. Soalnya sistem kerajaan yang berlaku ketika itu tak bisa melawan imperialisme. Di awal abad XX muncul Budi Oetomo, Syarikat Islam, dll. Inilah proses menjadi Indonesia. Tonggak pentingnya itu adalah Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan.
Yang kedua setelah Indonesia menjadi sebuah negara. Ada tiga pengalaman penting yang sudah dilalui, Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi. Goals-nya kita ingin menjadi negara demokrasi yang sejahtera. Secara relatif kita mencapai ini, keseimbangan antara demokrasi dan kesejahteraan. Kita berhenti di sini. Gelombang kedua menjadi negara bangsa moderen yang kuat.
Lalu ke depannya seperti apa?
Dalam sejarah kita selalu dipengharuhi oleh kekuatan global. Mengapa? Karena kasta kita dalam kekuatan global masih rendah. Karena itu kita tak bisa memengaruhi sejarah global tapi selalu menjadi collateral damage. Selalu menjadi korban dalam peristiwa global. Dunia sekarang sedang mengalami krisis idiologi. Dunia berubah dari sistem unipolar menjadi multipolar. Amerika tak akan bisa menjadi pemimpin sendirian seperti beberapa waktu lalu. Sekuat-kuatnya Amerika dan sekutunya dalam perang Ukraina-Rusia, mampu dilawan Rusia. Kita berada di situasi seperti ini sekarang karena itulah kita membutuhkan arah baru. Indonesia butuh sejarah baru, sumber nasionalisme baru, inilah waktunya Indonesia menjadi pemimpin dunia. Kita harus menjadi super power baru. Secara geografi kita punya ukuran yang cukup besar, populasi kita juga menengah, dan kita punya sumber daya alam. Dalam istilah saya, langit kita tinggi tapi kita terbang terlalu rendah.
Kita adalah negara berpenduduk Islam terbesar di dunia. Islam yang muncul dari bumi Indonesia ini berbeda dengan yang ada dari negara Islam lain. Seharusnya kita bisa muncul sebagai pemimpin dunia Islam.
Dengan konstelasi seperti ini apakah pemimpin di Indonesia sudah siap?
Elit Indonesia ini tak menyadari perubahan besar yang sedang terjadi. Mereka merasa tak ada sesuatu yang penting. Inilah mengapa Partai Gelora berdiri.
Kalau begitu apa idiologi partai Gelora?
Kita harus menggabungkan antara agama dan nasionalisme. Namun agama yang dimaksud adalah yang mampu memberikan solusi persoalan bersama umat manusia. Kalau ini kita elaborasi akan mampu menjadi solusi persoalan umat manusia.
BACA JUGA:
Intervensi geopolitik global pada pilpres di setiap kawasan amat terasa, bagaimana dengan di Indonesia?
Indonesia juga tak bisa lepas dari pengaruh global. Terbaru terjadi pada Turki, Erdogan menuduh campur tangan Amerika yang masuk lewat kekuatan partai oposisi. Sebaliknya opisisi menuduh Rusia membantu Erdogan. Pilpres di Indonesia pasti menarik kekuatan global untuk terlibat. Sampai di sini tak ada soal, karena inilah sifat dunia yang sudah terintegrasi. Masalahnya kalau kita kehilangan independensi. Kita membiarkan negara kita menjadi medan tempur kekuatan global, akhirnya kita yang menjadi collateral damage. Sekarang kita tinggal melihat mana calon presiden yang paling independen dan paling kuat dari tekanan global.
Bagaimana Gelora menyelesaikan persoalan seperti urusan logistik yang Anda ungkap tadi?
Pada dasarnya masyarakat akan ikut pemimpin. Pemimpin kalau tak punya narasi akan mengandalkan logistik. Keseimbangan antara kedua hal itu ditentukan oleh sang pemimpin. Kita bergairah karena membaca survei ada 52 persen populasi yang mengharapkan lahirnya partai baru. Ada ruang yang amat besar bagi mereka yang kecewa. Lalu ada pemilih yang gelisah, ini pemilih pemula.
Jadi tergantung para pemipin kita, apa mata uang yang digunakan saat mendekati konstituen. Kalau mata uangnya narasi akan melahirkan pengikut. Tapi kalau mata uangnya sembako akan melahirkan pengemis. Yang ingin kita ciptakan adalah pengikut yang bergairah dengan cita-cita.
Soal target di Pemilu 2024 berapa besar yang diharapkan Gelora?
Cita-cita saya tinggi, tapi saya realistis. Lolos threshold saja dulu target kami.
Yang sedang ramai sekarang adalah sistem pemilu terbuka yang digugat agar kembali menjadi tertutup, bagaimana melihat hal ini?
Dengan sistem proporsional terbuka selama ini bagus untuk partisipasi individual. Di saat sama kedaulatan partai tetap terjaga. Kalau proporsional tertutup, partisipasi individu akan menurun drastis. Gelora mendukung proporsional terbuka. Tapi kami siap kalau MK memutuskan kembali ke proporsional tertutup.
Apa strategi Gelora untuk menggaet pemilih pemula?
Pemilih pemula yang paling gelisah dengan masa depan yang tak pasti. Dan ada juga kelompok yang sudah berkali-kali ikut pemilu namun nasibnya tak berubah. Kedua kelompok inilah yang menghendaki hadirnya partai baru, jumlahnya 52 persen, itu amat besar. Kami tak bisa makan ceruk itu sendirian. Kami optimis bisa meraih itu. Doakan kami bisa meraih target yang diinginkan. Insya Allah.
Ini Kiat Anis Matta Menyeimbangkan Antara Kesibukan Berpolitik dengan Kesehatan Jasmani dan Rohani
Meski sibuk dengan segudang aktivitas politik, aktivitas lain juga harus dilakoni seperti berolahraga dan mencari inspirasi dengan menonton film. Kata Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Partai Gelora), H. Anis Matta, Lc, MA., dengan cara itu kehidudpannya menjadi seimbang. Dan hanya sehat secara fisik namun juga secara rohani.
Olahraga adalah katup pengaman yang mudah dan murah untuk melepas stres yang menimpa. “Saya punya tradisi sejak lama berolahraga. Saya biasanya ngejim untuk mempertahkan kesehatan. Saya bisa lakukan push-up cukup banyak kalau sudah berada di pusat kebugaran. Alternatifnya bisa berenang, kalau sudah berenang saya bisa lakukan 2.000 sampai 3.000 meter. Ketika kedua hal itu tak memungkinkan saya jalan kaki,” ungkapnya.
Kalau tidak sibuk dia bisa setiap hari dalam sepekan berolahraga. “Kalau tidak sibuk saya bisa 4 sampai 5 kali sepekan. Tapi kalau lagi sibuk sekali ya 3 kali dalam sepekan. Memang harus disiplin kalau enggak, tak teralisasi,” lanjutnya.
Kalau stres Jadi yang pertama saya punya tradisi yang sudah lama ya saya rutin berolahraga.
Untuk jalan kaki, dia tak main-main, sekali melakukan bisa sampai 20 km hingga 30 km. “Dengan berjalan kali ia bisa melepas penat dan sekaligus sehat yang diperoleh. Kalau lagi banyak pikiran saya bisa jalan kaki dari Bundaran Hotel Indonesia Jakarta Pusat, hingga ke daerah Ciganjur di Jakarta Selatan,” kata Anis yang memilih waktu malam hari untuk olahraga jalan kaki agar tak terlalu berdebu.
Film Dokumenter
Selain aktivitas berbentuk fisik seperti olahraga, Anis Matta juga sering menonton film. Film apa yang kerap ia tonton? “Saya suka film-film dokumenter dan film-film yang menyangkut sejarah kerajaan era lampau. Itu bisa jadi sumber inspirasi buat kehidupan. Kadang saya menonton film yang sama berulang-ulang,” akunya.
Di antara film yang menyita perhatiannya adalah Roman Empire di salah satu OTT (Over the Top), jaringan televisi berbayar yang menyajikan beragam film layar lebar dan sinema elektronik. “Ini kan ceritanya tentang bagaimana banyak peristiwa sejarah yang besar yang kita lihat itu awalnya adalah persoalan-persoalan emosional yang ada di dalam istana,” katanya.
Energi yang dimiliki oleh seorang Julius Caesar tersalurkan dengan melakukan penaklukan hingga begitu jauh ke Eropa Barat. “Saat dia tak begitu mendapat tempat di istana Kekaisaran Romawi, ia menyalurkan energi yang dimiliki untuk ekspansi militer. Jadi motivasinya untuk menyalurkan energi dan meraih eksistensi,” paparnya.
Film lain yang juga menyita perhatiannya adalah soal Sejarah Kekuasaan Ottoman atau Kekaisaran Turki. Ada banyak film yang mengisahkan soal kejayaan Kekuasaan Ottoman ini, salah satunya yang ia tonton adalah Muhammad Al Fatih yang berhasil menaklukkan Constantinopel, ibukota Kekaisaran Romawi Timur.
“Bagaimana seorang pemimpin yang sangat obsesi untuk menaklukkan kota dan simbol kejayaan. Kota ini begitu kokohnya, bertahun-tahun percobaan penaklukan tak pernah berhasil dilakukan oleh Kaisar Ottoman,” katanya.
“Jadi obsesi itu bagi seorang pemimpin mampu menggerakkan energi sehingga bisa meraih impiannya. Dia berpikir keras bahkan out of the box untuk menaklukkan Constantinopel. Dan pada waktu yang sudah direncanakan dengan matang Muhamamd Al Fatih dan pasukannya berhasil menaklukkan Constantinopel,” katanya.
Al Fatih ingin posisinyanya sejajar dengan seorang Alexander The Great. Al Fatih membaca sejarah, dia tahu ada seorang tokoh yang namanya harum karena berhasil menaklukkan banyak negeri hingga jauh ke Afrika, Asia Barat, semenanjung Arab. “Itu juga energi yang amat besar sehingga bisa men-drive Al Fatih untuk membebaskan Constantinopel,” tandasnya.
Nubuat Rasulullah
Apa yang dilakukan orang-orang Romawi yang berhasil menaklukkan banyak negeri yang terbentang dari Timur Ke Barat sudah ada ramalan atau nubuat dari Nabi Muhammad SAW. “Nabi Muhammad SAW sudah memberikan nubuat kepada sahabatnya berhubungan dengan imperium Romawi,” katanya.
“Rasulullah mengatakan kalau umat Islam suatu hari akan memebaskan Romawi. Sahabat bertanya Romawi Barat apa Romawi Timur. Rasulullah menjawab yang akan dibebaskan adalah kotanya Heraclius, artinya ibukota Romawi Timur; Constantinopel,” lanjutnya.
Namun nubuat ini baru terbukti 7 abat kemudian. “Nubuat Rasulullah kalau kaum muslimin akan membebaskan Romawi Timur itu baru terbukti 700 tahun kemudian setelah Rasullah sudah wafat,” lanjutnya.
Sekarang ada bagian Romawi kedua, yaitu Romawi Barat yang belum bebas. “Ini adalah pertanyaan besar bagi umat Islam dan juga orang di Vatikan. Seorang teman saya yang juga ulama dan pemikir dari Perancis yang mendirikan Lembaga di Italia. Belum lama ini ia datang ke Jakarta. Dia sering ditanya orang Vatikan apakah masih percaya dengan nubuat nabi,” katanya.
“Jadi nubuat seperti ini memang menandakan kalau agama itu adalah wahyu dari Allah SWT. Dan jalannya sejarah itu bisa kita telusuri dari nubuat seperti itu. Jadi saat menonton film sejarah seperti ini membantu saya menemukan inspirasi,” tandas Anis Matta.
"Tugas kami menyelesaikan dua faktor fundamental dalam kehadiran satu parpol baru. Sisi narasi; idiologinya dan sisi kepemimpinannya. Kami menawarkan narasi yang mewakili seluruh populasi Indonesia. Kami menyiapkan calon pemimpin bangsa yang tak hanya mampu mewakili kelompoknya. Tantangan terbesar kami lebih ke persoalan teknis, soal logistik,"