Saat ini remunerasi hakim sudah bagus, sudah cukup untuk hidup layak. Apalagi untuk seorang hakim agung. Tetapi, menurut Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Prof. Dr. Mukti Fajar Nur Dewata, SH., M.Hum., godaan saat menjabat tidak kalah hebatnya. Itulah mengapa ada hakim agung yang terjerat OTT (operasi tangkap tangan) dari KPK (Komisi Pemberatasan Korupsi).
***
Memilih jalan hidup menjadi seorang hakim sejatinya adalah tugas yang amat mulia. Dengan kapasitas dan keilmuan yang dimilikinya, seorang hakim mendapat mandat untuk mengadili sebuah perkara yang diajukan ke meja hijau. Dalam memutus perkara hakim memiliki independensi. Putusannya dituntut adil sehingga membuat masyarakat percaya pada lembaga peradilan.
Namun dalam kenyataannya ada hakim yang goyah dengan intimidasi dan godaan. Salah satu contoh yang belum lama ini terjadi saat hakim agung Sudrajat Dimyati (SD) terjerat OTT KPK pada 21 September 2022. Memang bukan SD yang langsung menerima uang suap. Suap diberikan S kepada DY yang merupakan representasi dari hakim agung SD di sebuah hotel di Bekasi.
Menurut Ketua Komisi Yudisial Mukti Fajar Nur Dewata, dalam proses seleksi hakim sudah dilakukan dengan ketat. Tetapi saat bertugas intimidasi dan godaan sering menghampiri. “Godaannya banyak dan kami pun sudah melakukan beberapa program untuk merawat dan mencegah dengan pelatihan dan sosialisasi. Komisi Yudisial dan MA sudah komit untuk melakukan pembenahan termasuk mengawasi para hakim agung, bagaimana merawat dan menjaga integritas mereka,” ujarnya.
Diuraikan Mukti, upaya intervensi pada hakim saat menangani perkara bisa terjadi dalam bentuk tekanan dan iming-iming atau godaan. Godaan bisa dalam wujud materi atau harta dan bisa juga berwujud perempuan.
Pertanyaannya apakah remunerasi atau gaji beserta tunjangan yang diterima hakim masih kurang sehingga masih harus menerima suap atau sogokan? Ternyata sudah cukup. “Untuk remunerasi hakim sudah bagus, cuma memang ada beberapa fasilitas yang kurang seperti kesehatan dan keamanan di beberapa daerah. Tapi untuk para hakim agung mereka sudah mendapat gaji tinggi dan fasilitas yang amat memadai,” urai Mukti Fajar Nur Dewata.
Karena itu ia meminta kepada semua pihak untuk membantu mengawasi para hakim. Dari institusi, rekan kerja, relasi, keluarga dan lingkungan. Semua itu adalah support system yang bisa membuat hakim yang juga manusia biasa itu kadang tergoda dan lupa akan tujuannya menjadi seorang hakim. “Bukan hanya Komisi Yudisial, semua pihak harus memberikan dukungan agar hakim bisa melaksanakan tugas dengan baik,” katanya kepada Edy Suherli, Sovic Rabos dan Rifai dari VOI yang menyambangi ruang kerjanya di Kantor Komisi Yudisial RI, bilangan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat belum lama berselang. Inilah petikannya.
Seperti apa Anda melihat dunia hukum kita sekarang, banyak pejabat, anggota dewan, pengusaha, juga hakim agung yang terkena OTT oleh KPK?
Kalau dilihat dari kasus per kasus memang kita prihatin dengan kondisi hukum di negara kita sekarang. Ini menjadi catatan buruk dalam sejarah penegakan hukum kita. Pejabat, pengusaha sampai hakim agung terkena OTT. Namun kalau dilihat dalam lingkup yang lebih besar ada mekanisme check and balance dan pengawasan justru berjalan. Jadi peringatan kepada para pejabat termasuk para hakim, kalau mereka diawasi. Fokus kami bagaimana kasus-kasus yang muncul ini tidak membuat kepercayaan publik pada lembaga peradilan menurun. Hakim yang kena OTT memang ada, namun masih banyak hakim yang baik dan berintegritas yang perlu kami sampaikan kepada publik.
Untuk meningkatkan kepercayaan publik pada lembaga penegak hukum apa yang dilakukan KY?
Setiap tahun kami melakukan perbaikan seleksi calon hakim. Juga kerja sama dengan lembaga terkait seperti PPATK, Dirjen Pajak, dll. Dan kami juga melibatkan publik untuk bertanya kepada calon hakim.
Hasilnya apakah sudah bisa dilihat?
Secara metodologi bisa dipertanggungjawabkan. Kalau ada yang terkena OTT setelah lulus, itu lain lagi. Kondisi dan godaannya banyak. Walau pun kami sudah melakukan beberapa program untuk merawat dan mencegah dengan pelatihan dan sosialisasi. KY dan MA sudah komit untuk melakukan pembenahan termasuk mengawasi para hakim agung, bagaimana merawat dan menjaga integritas mereka.
Bicara soal kesejahteraan hakim, apakah mereka sudah sejahtera?
Untuk remunerasi hakim sudah bagus, cuma memang ada beberapa fasilitas yang kurang seperti kesehatan dan keamanan di beberapa daerah. Tapi untuk para hakim agung mereka sudah mendapat gaji tinggi dan fasilitas yang amat memadai.
Kalau sudah memadai tapi masih ada hakim yang tergoda bagaimana itu?
Kalau itu saya kira sudah kembali ke masing-masing hakim. Sebenarnya kalau mau hidup dengan wajar, gaji hakim sudah cukup. Soal pejabat, hakim yang korupsi, itu berawal dari ketamakan dan gaya hidup yang mewah. Perlu diingat jadi seorang hakim itu tidak diukur dari kekayaan.
Di Indonesia ini ada tidak hakim yang ideal?
Ada banyak hakim yang baik meskipun ada juga yang sebaliknya. Memang hakim itu harus menjaga perilaku dan hubungan dengan lingkungan, tapi bukan anti-sosial. Kalau profesi lain boleh dugem, hakim tidak bisa. Seorang hakim harus sadar kalau dia memilih jalan sunyi.
Kita masih ingat dengan sosok mendiang Artijo Alkostar, bagaimana dengan sosok hakim yang seperti ini?
Saya tahu dia meski tidak kenal dekat karena sama-sama dari Yogyakarta. Dia hakim yang idealis dan punya visi dan misi yang kuat. Sebagai manusia tentu ada plus dan minusnya. Namun sebagai hakim dia bisa jadi panutan, dia adalah hakim yang bersih.
Sudah banyak pejabat, politisi, pengusaha, hingga hakim agung yang terkena OTT, apakah hukum di negara kita ini lemah, yang tidak bikin orang jera?
Bicara hukum tidak bisa parsial, kita harus lihat secara keseluruhan. Regulasi, sistem, keluarga serta lingkungan harus mendukung. Pembenahan regulasi sudah dilakukan. Untuk lembaga ada inisiasi dari Presiden, kenapa begitu karena Presiden tidak boleh intervensi lembaga yudikatif. Jadi akan ada pertemuan antara Presiden, KY dan lembaga penegak hukum dalam membenahi hukum dan person yang bekerja di institusi hukum kita. Nanti akan dilakukan pengawasan dan memperketat pengawasan dan kontrol masyarakat. Yang jelas masyarakat dan keluarga harus mendukung dan mengontrol hakim dalam menegakkan hukum.
Soal putusan hakim ada yang wajar dan ada yang tidak wajar, bagaimana evaluasinya?
Hakim itu punya independensi dalam memutuskan perkara. KY tidak bisa intervensi. Kalau masyarakat merasa putusan hakim tidak adil, bisa melakukan upaya hukum seperti banding, kasasi, dll. Yang bisa kami lakukan adalah menjaga perilaku, kapasitas dan integritas hakim agar tidak terintervensi saat menangani kasus. Baik intervensi sifatnya kekerasan atau iming-iming harta atau godaan. KY punya tugas membantu hakim yang mengalami ancaman. Selama ini yang dilaporkan soal ancaman, iming-iming tidak pernah.
Untuk godaan selain materi, apa lagi; perempuan misalnya?
Perempuan juga ada, kami baru saja memberhentikan tidak hormat seorang hakim yang punya hubungan dengan seorang perempuan. Profesi hakim itu memang berat, harus menjaga moralitas dan kepribadian. Saat seseorang sudah memilih profesi hakim, harus tahu konsekwensinya. Kalau tidak sanggup jangan memilih jadi seorang hakim, itu saja. Saya pesan kepada calon hakim kalau pikirannya masih duniawi, hura-hura, tambah harta dan wanita, lebih baik tinggalkan profesi hakim. Urusannya bagaimana memberikan putusan yang adil untuk menegakkan hukum. Seorang hakim itu harus mendekati manusia yang sempurna.
BACA JUGA:
Apakah pendidikan hakim kita sudah ideal?
Prosesnya sudah cukup, tapi tidak semata-mata teknis yudisial, bagaimana membangun integritas juga penting. Makanya ada remunerasi yang lebih baik untuk para hakim dan beberapa fasilitas. Dari KY sendiri terus melakukan pengawasan dan mengingatkan para hakim. Masyarakat juga ada yang mengawasi lewat lembaga, salah satunya bernama Koalisi Pemantau Peradilan. Saya optimis kita akan lebih baik, akan ada hakim yang ideal. Semua pihak baik internal maupun eksternal harus mendukung agar hakim kita bisa bekerja baik. KY tidak mungkin bekerja sendirian, ada 4000-an hakim yang bertugas di 900-an pengadilan di seluruh Indonesia. Usaha yang kami dilakukan mungkin masih kurang, tapi kita tidak boleh menyerah.
Bagaimana Anda mengamati proses persidangan Ferdy Sambo dan kawan-kawan sampai putusan?
Sejak awal kasus Ferdy Sambo dan kawan-kawan ini menarik perhatian publik dan beritanya bikin heboh. Kami dari KY juga sudah menawarkan konsep safe house (rumah aman) kepada hakim yang menangani perkara ini agar tidak terintervensi. Namun kemudian hakimnya masih merasa percaya diri, masih tidak perlu, artinya masih bisa menangani soal keamanan. Kami juga mengamati dan terjunkan tim di kasus ini. KY terjun langsung mengawasi persidangan Sambo, baik yang di Waskim (pengawasan Hakim) yang tampak hingga yang investigasi yang tidak nampak dari belakang. Kita coba lihat ada upaya-upaya enggak di belakang.
Ada juga upaya advokasi dari KY kalau hakimnya diintervensi. Sejauh ini yang kami amati hakim sudah menjalankan tugasnya secara profesional. Soal putusannya apa, itu bukan kewenangan KY.
Meski konsep safe house belum diaplikasikan, apakah masih akan dibuka ketika hakim membutuhkan?
KY memang menawarkan advokasi dan juga konsep safe house namun itu diserahkan kepada para hakim, selama belum dibutuhkan KY tidak akan memaksa. Kembali lagi bahwa hakim terpengaruh nggak, hakim dipengaruhi nggak, kemudian hakim ditekan nggak? Hakim kemudian berperilaku yang melanggar etik nggak ketika memutuskan itu? Jadi lebih ke proses pengambilan keputusan, itu yang jadi concern di KY.
Salah seorang pejabat yang sering mengingatkan penegak hukum adalah Menko Polhukam Prof Mahfud MD baik secara langsung maupun lewat media sosial, bagaimana Anda melihatnya?
Itu memang tugas beliau, concern beliau melihat proses penegakan hukum kita. Reaksi Prof Mahfud MD itu perlu kita apresiasi. Termasuk juga dia sering memberikan masukan untuk penguatan kewenangan KY agar komisi ini bisa lebih kuat dan saat menjalankan tugas bisa maksimal.
Arti Keluarga Bagi Mukti Fajar Nur Dewata
Keluarga bagi Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Prof. Dr. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum., adalah segalanya. Ia akan pulang untuk berbagi cerita, tawa, bahkan tangis pada keluarganya. Karena itu setiap akhir pekan harus ada sesi berkumpul dengan keluarga. Ketika perjumpaan fisik sudah tidak memungkinkan, ia terpaksa menggunakan teknologi untuk berkumpul. “Yang penting bisa tatap muka, meski hanya video call,” tukasnya.
Sebelum memimpin Komisi Yudisial, Mukti Fajar Nur Dewata adalah seorang dosen dan akademisi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Ia memulai karier sebagai dosen di Fakultas Hukum UMY. Selain itu dia juga menjadi dosen tidak tetap di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia dan Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada.
Diakui pria kelahiran Yogyakarta, 29 September 1968 ini baginya bekerja sebagai tenaga pendidik adalah hal yang biasa ia lakoni. Namun saat mendapat kepercayaan menjadi Ketua Komisis Yudisial ia harus menyesuaikan diri dengan ritme kerja di ibu kota. “Kalau kerja secara fisik saya sudah terlatih. Saya sebagai akademisi termasuk yang sibuk dan banyak kegiatan. Namun saat bertugas di KY saya harus menyesuaikan diri karena ini dunia baru bagi saya,” katanya.
Bagi dia pekerjaan harus selesai di pikiran, jangan terlalu dibawa ke perasaan. “Kalau semua pekerjaan masuk ke perasaan kita bisa sakit. Tensi darah bisa naik, berpotensi terkena stroke dan penyakit lainnya. Itu yang saya hindari,” kata alumnus Fakultas Hukum UGM ini.
“Meski badan sehat, kalau tekanan terlalu tinggi ujung-ujungnya bisa tumbang juga. Kalau kata anak sekarang jangan baper dengan pekerjaan,” lanjut Mukti yang menyelesaikan S2 di Universitas Diponegoro, Semarang. Sedangkan untuk gelar Doktor Ilmu Hukum (S3) ia peroleh dari Universitas Indonesia.
Tak mau dibawa ke perasaan, lanjut Mukti, bukan berarti dia tak punya perasaan. Namun ini adalah kiat yang ia lakukan agar semua pekerjaan bisa selesai dengan baik. “Kalau ada masalah diselesaikan dengan diskusi, komunaksi dan dialog. Baik dengan di internal KY atau dengan rekan kerja seperti lembaga penegak hukum lainnya dan juga Komisi III DPR RI,” lanjutnya.
Sejauh ini strategi yang ia terapkan berjalan baik. “So far semua berjalan baik. Bahwa ada pertentangan kecil itu biasa. Itu bisa diselesaikan dengan logika. Jadi engga sampai di bawa ke perasaan,” ungkap Mukti.
Gaya Hidup
Meski tidak ada larangan dalam mengonsumsi makanan tertentu. Mukti Fajar Nur Dewata sudah membatasi asupan makanan yang mengandung kolesterol tinggi. “Tidak perlu banyak yang penting makanan itu cukup mengandung gizi,” lanjut Mukti yang membentengi dirinya dengan vaksin booster.
Gaya hidup orang di Jakarta menurutnya terlau banyak mengonsumsi makanan makan yang tinggi kolesterol. “Saya harus batasi itu, karena saya kadar kolesterol lumayan tinggi. Untuk yang lain saya masih terjaga. Jantung, gula darah, alhamdulillah masih aman. Karena itulah saya harus kontrol makanan agar kolesterol tidak melebihi ambang batas,” katanya.
Istirahat itu perlu setelah bekerja seharian. “Waktu tidur itu untuk orang normal 6 jam dalam sehari. Tapi saya cicil waktunya, dalam perjalanan dari kantor ke rumah atau sebaliknya bisa dapat satu jam kan lumayan. Jadi saya cicil waktu tidurnya biar cukup 6 jam sehari,” ungkap bapak tiga anak ini.
Kalau tak cukup waktu istirahat, lanjut Mukti akan berpengaruh pada metabolisme tubuh.
Selain beristirahat, ada cara unik yang dilakukan Mukti untuk melepas stres pekerjaan. “Saya biasanya bermain musik di rumah. Kebetulan saya bisa memainkan alat musik seperti gitar, keboard dan juga drum. Biasanya bernyanyi sembari memainkan alat musik itu buat saya sudah meringankan beban. Ya nyanyi sendiri dan tepuk tangan sendiri, hehehe,” katanya sembari tertawa khas.
Sejak kecil Mukti memang sudah suka bermain musik. “Ini hasil dari suka nongkrong di pos ronda, saya jadi bisa memain alat musik. Sebenarnya ada cita-cita untuk jadi anak band, tapi orangtua tidak mengizinkan. Kalau sekarang situasinya sudah berbeda. Akhirnya saya jadi dosen,” kata Mukti yang memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk menggapai cita-citanya.
Selain bermain musik cara Mukti melepas stres adalah dengan mengajar. “Saya itu dosen, mengajar itu bagian dari hidup dan rutinitas yang tak bisa ditinggalkan. Saat mengajar saya bisa berinteraksi dengan mahasiswa. Ada kebebasan mimbar dan bisa berdebat. Itu menyegarkan pikiran,” kata Mukti yang senang saat mahasiswanya berhasil mengalahkannya dalam berdebat. Dari situ ia akan dapat ide untuk melakukan riset dan penelitian.
Berbagi Perhatian
Meski sibuk dengan aktivitas sebagai dosen, guru besar Fakultas Hukum UMY ini punya komitmen dengan keluarga. “Meski sibuk saya harus kumpul bersama dengan istri dan anak-anak minimal sekali dalam sepekan. Biasanya di akhir pekan kami berkumpul,” kata Mukti yang memiliki tiga anak dari pernikahannya dengan Endang Pujiastuty, yaitu RayMarsha Fajar Charaty, RayGian Fajar Sampai dan RayNaga Fajar Jessica.
Kini saat anak-anak sudah besar, kebiasaan untuk berkumpul itu tetap dijalankan. Cuma bedanya perjumpaan fisik sudah tidak lagi, karena situasinya yang tidak memungkinkan. “Sekarang anak-anak sudah besar kami video call bareng-bareng,” kata Mukti menjadikan anak-anaknya sebagai teman.
Di rumah Mukti bisa berbagi cerita dengan anak-anak dan istri tercinta. “Keluarga itu prioritas, tempat kita pulang, mengeluh, mengangis, tertawa dan berbagi rasa satu sama lain. Semua itu dilakukan di rumah. Itu yang bikin saya kangen ingin pulang dan bertemu dengan keluarga,” kata Mukti Fajar Nur Dewata yang berusaha untuk pulang ke Yogyakarta sekali dalam dua pekan.
"Profesi hakim itu memang berat, harus menjaga moralitas dan kepribadian. Saat seseorang sudah memilih profesi ini yang harus tahu konsekwensinya. Kalau tidak sanggup jangan memilih jadi seorang hakim, itu saja. Saya pesan kepada calon hakim kalau pikirannya masih duniawi, hura-hura, tambah harta dan wanita, lebih baik tinggalkan profesi hakim. Urusannya bagaimana memberikan putusan yang adil untuk menegakkan hukum. Seorang hakim itu harus mendekati manusia yang sempurna,"