Eksklusif, Arifin Abdul Majid Ungkap Beragam Problem Desa
Arifin Abdul Majid. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Bagikan:

Perkembangan desa di Indonesia satu sama lain tidak sama. Ada yang sudah mencapai predikat swasembada dan swakarya, namun ada juga yang masih di bawahnya dengan sebutan swadaya. Berbagai problem muncul di desa dari berbagai tingkatan tersebut. Menurut Arifin Abdul Majid, S.Sos., MM.,  sebagai Ketua DPP Apdesi (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) semua tingkatan desa itu punya problem masing-masing. Keadaan berubah drastis dengan hadirnya UU no 6 tahun 2014. Desa menjadi lebih berdaya dalam mengatasi problem yang muncul.

***

Secara umum, terdapat perbedaan yang signifikan suasana desa sebelum ada sesudah adanya UU Desa. “Dulu sebelum ada UU Desa, dana untuk desa hanya sekitar Rp20 juta untuk satu tahun. Sekarang setelah adanya UU dana desa yang didapat pemerintah desa Rp1 miliar. Ini bukan dana yang sedikit untuk keperluan pembangunan fisik dan non fisik di desa jika bisa dioptimalkan. Inilah yang membuat desa menjadi lebih berdaya dan bisa mengatasi problem yang muncul,” kata Arifin.

Dia menjelaskan problem yang mucul dari satu desa dan desa yang lain tidak sama. Banyak faktor yang mempengaruhi, di antaranya dari lingkungan sosial, tofografi wilayah dan keadaan masyarakat. Jika ditelisik berdasarkan klasifikasi desa swadaya, swakarya dan swasembada, persoalan yang mengemuka kata dia bisa diurai lebih detil. “Tiap katagori desa yang ada persoalannya berbeda dan cara penyelesaiannya juga tidak bisa sama antara desa yang satu dengan desa yang lain. Desa swadaya (desa tertinggal) masih sangat kurang, sedangkan swakarya (desa berkembang) sudah lebih bagus. Dan yang paling lumayan adalah desa swasembada (desa maju). Meski demikian masih ada juga problem yang muncul di desa yang seperti ini,” urainya.

Merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS) sampai saat ini terdata jumlah desa di Indonesia sebanyak 81.616. Provinsi Jawa Timur memiliki jumlah desa terbanyak (8.576 desa). Jumlah desa ini yang tersebar di 34 Provinsi, 514 Kabupaten, dan 7.230 Kecamatan. Menurut Arifin, dari jumlah Desa yang ada ini, anggota Apdesi tersebar di seluruh wilayah Indonesia. “Dari jumlah desa yang ada yang menjadi anggota Apdesi sampai saat ini sekitar 40ribu-an lebih yang tersebar di 33 provinsi, 514 Kabupaten dan 7.230 Kecamatan. Jumlah ini belum final karena kami masih melakukan pendataan dan jumlah yang masuk menjadi anggota akan terus bertambah,” katanya.

Sebagai ketua Apdesi, dalam berbagai kesempatan bertemu dengan Kepala Desa yang menjadi anggota, Arifin Abdul Majid tak henti-henti mengingatkan kepada mereka untuk berhati-hati dalam mengelola dana desa. Dana yang ada harus digunakan seluas-luasnya untuk kepentingan rakyat dan kemakmuran desa, bukan untuk kepentingan pribadi atau hal lain yang tidak ada korelasinya dengan kepentingan rakyat desa,”  katanya kepada Edy Suherli, Savic Rabos dan Irfan Medianto dari VOI yang menemuinya di Kantor DPP Apdesi beberapa waktu lalu. Inilah petikan selengkapnya. 

Arifin Abdul Majid. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Arifin Abdul Majid. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Bagaimana sejarah berdirinya Apdesi, apa perlunya Kepala Desa menyatu dalam sebuah wadah atau asosiasi?

Bicara soal Apdesi tak lepas dari tugas yang pernah saya emban sebagai Kepala Desa Bojongsari, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Saya menjabat sejak 1998 hingga 2007. Pada 7 November 1999, teman-teman Kepala Desa se-kabupaten Bandung, di Cangkuang Kulon Kecamatan Dayeuhkolot Kabupaten Bandung sepakat mendirikan Ikatan Kepada Desa Lurah se-Kabupaten Bandung. Saat itu saya ditunjuk sebagai ketua. Namun dua tahun kemudian di tahun 2001 di Sumedang, ada perubahan nama menjadi Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi). Tahun 2003 dibentuk Apdesi Jawa Barat, saya juga ditunjuk sebagai ketua.

Organisasi Apdesi ini makin besar kalau begitu?

Ya makin berkembang dan makin banyak desa yang terlibat. Pada April 2005 di Yogyakarta ada pertemuan asosiasi kepala desa seluruh Indonesia. Saat itu dideklarasikanlah Apdesi secara nasional. Forum ini disebut juga Munas pertama Apdesi. Terpilih sebagai Ketua Umum pertama Suwardjo Hendrowijoyo, S.Pd., MM., dari Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Sedangkan saya menjadi Sekjen dipercaya sebagai Sekjen. Pada bulan Maret tahun 2011 diselenggarakan lagi Munas di Asrama Haji Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, secara aklamasi H. Sindawa Tarang SH., MM., dari Takalar Sulawesi Selatan terpilih sebagai Ketua dan saya mendampingi sebagai Sekjen.

Namun terjadi dinamika internal, pada 2014 dilakukan Mukernas di Yogyakarta yang dihadiri Pak SBY. Saat itu memutuskan Suhardi Buyung dari Lampung sebagai Ketua sampai akhir masa jabatan 2016.  Lalu pada tahun 2015 digelar kembali Rakernas di Asrama Haji Solo, yang dihadiri Pak Jokowi, yang merekomendasikan pada 2016 dijadwalkan Munas Apdesi. Sebelum Munas sempat terjadi pertemuan dengan Tim dari Pak Sindawa Tarang untuk bergabung dalam Munas. Namun dalam perjalanan tak terjadi titik temu. Akhirnya Munas berlangsung tanpa keikutsertaan dari kubu Pak Sindawa Tarang. Dalam Munas yang dilaksanakan di Lampung, Pak Suhardi Buyung Kembali dipilih sebagai Ketua Umum dan saya sebagai Sekjen. Pada Munas Selanjutnya di tahun 2021 saya terpilih sebagai Ketua Apdesi untuk masa jabatan 2021-2026.

Organisasi yang merangkul Kepala Desa dan Aparatur Desa ini kan banyak, mengapa tidak bersatu saja?

Upaya untuk menyatukan organisasi yang menaungi Kepala Desa ini sudah beberapa kali dilakukan. Pernah diundang Pak Buyung, Pak Sindawa Tarang, juga Bu Wargiyati yang sudah mendirikan Papdesi (Perkumpulan Aparatur Pemerintahan Desa). Pertemuan ini juga Dirjen Pemerintahan Desa, Nata Irawan, dari unsur DPD RI Pak Akhmad Muqowam dan dari DPR RI Pak Budiman Sudjatmiko. Namun menemui jalan buntu. Akhirnya Pak Sindawa Tarang menggelar Munas sendiri di Solo dan mengukuhkan dirinya sebagai Ketua. Sementara kami jalan dengan Apdesi dan Bu Wargiyati dengan Papdesi.

Buat Anda banyak organisasi yang menaungi Kepala Desa dan Aparatur pemerintahan desa ini bagaimana? 

Masing-masing berjalan, kami berjalan dan mereka juga berjalan. Tetapi meski namanya sama AD/ART berbeda. Sah-sah saja membentuk organisasi, itu hak setiap warga negara untuk berserikat dan berkumpul, dan juga membentuk organisasi. Itu semua dijamin oleh UU kok. Namun untuk nama organisasi tidak boleh sama dengan yang organisasi yang sudah ada sebelumnya. Untuk kami, Apdesi sebagai organisasi yang berskala nasional sudah terdaftar di Kementerian Hukum dan Perundang-undangan. Desa itu jumlahnya banyak 80ribu lebih dari 33 Provinsi, jadi tidak akan ter-cover kalau dengan cuma satu organisasi saja.

Jadi biarkan publik yang menilai soal ada beberapa nama asosiasi ini?

Publik saya pikir bisa menilai, mana organisasi yang benar-benar bekerja untuk mensejahterahkan anggota dan membantu anggotanya, dan mana organisasi yang hanya menyalurkan ambisi dari pengurusnya saja. Nanti waktu yang akan memperlihatkan semuanya. Makanya sudah ada asosiasi kepala desa, ada persatuan perangkat desa, dan lain-lain silahkan saja. Untuk Apdesi  sampai hari ini belum bebankan kepada perangkat desa dan desa anggota untuk iuran. Dan selama ini dalam melaksanakan berbagai kegitan masih ditanggung oleh pengurus dan sumber lain yang tidak mengikat.

Arifin Abdul Majid. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Arifin Abdul Majid. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Apa saja problem yang dihadapi desa, mulai dari desa swadaya, desa swakarya dan desa swasembada?

Bicara problem yang dihadapi desa tentunya antara desa swadaya, desa swakarya dan desa swasembada tidak sama. Dan cara penyelesaiannya pun berbeda. Secara umum desa swadaya atau dalam istilah lain disebut desa tertinggal atau desa miskin memiliki problem fasilitas desa tidak ada kalau pun ada minim sekali. Lalu SDM juga masih kurang dan perlu ditambah lagi. Biasanya desanya swadaya ini jauh dari kota atau terisolir. Untuk sumber daya alam nyaris tidak ada, sehingga amat menggantungkan pada bantuan pemerintah.

Sementara untuk desa swakarya atau disbut juga desa berkembang, keadaannya sudah lebih baik dari desa swadaya. Namun fasilitas yang ada masih harus ditingkatkan, SDM juga masih harus di-upgrade keterampilan dan kecakapannya. Untuk Desa swakarya ini pendapatannya sudah ada meski masih tetap bergantung pada kucuran dana dari pemerintah untuk pembangunan. Dan yang paling lumayan kondisinya itu adalah desa swasembada atau dalam istilah lainnya desa maju atau desa mandiri. Kondisinya sudah jauh lebih baik dari desa swadaya dan swasembada. Fasilitas publik desa sudah ada dan bagus, tapi memang perlu ditingkatkan. SDM Desa juga lumayan bagus meski tetap harus ditingkatkan karena perkembangan zaman dan kemajuan teknologi kadang larinya lebih cepat. Dari sisi pendapatan daerah sudah bagus, ada yang sudah punya BUMDes yang menjadi sumber pendapatan desa, namun demikian bukannya mereka tidak memiliki problem. Problemnya bagaimana mempertahankan atau bahkan meningkatkan apa yang sudah diraih agar bisa terus bertahan.

Setelah adanya UU No 6 tahun 2014 tentang Desa, apa benar desa itu lebih berarti dan berdaya?

Undang-undang Desa itu kan sejak zaman Belanda ada. Setelah Indonesia merdeka sudah berapa kali pergantian nama undang-undang. Yang terakhir tahun UU No. 6 2014. Dalam UU itu  memuat unsur-unsur keberpihakan negara yang luar biasa, diantaranya ada dalam pasal sumber-sumber keuangan Desa. Negara memberikan masukan untuk keuangan desa dari APBD dari dana perimbangan pusat dan daerah, bagi hasil pajak bumi dan bangunan serta retribusi. Ada juga  bantuan dari APBN kepada desa, sebelumnya bantuan untuk desa sekitar Rp20 juta pertahun, sekarang menjadi Rp1 miliar untuk tiap-tiap desa. Dengan kemampuan finansial yang demikian mustinya desa itu lebih berarti dan lebih berdaya.

Desa sudah dapat dana setiap tahun, seperti apa pemanfaatan dana itu?

Kepala desa dan masyarakat bisa memberikan sebuah rancangan perencanaan penyelenggaraan pemerintahan pembangunan desa, peningkatan pemberdayaan masyarakat desa melalui Lembaga Musyawarah Desa. Sekarang dananya ada tinggal pemanfaatannya yang harus benar. Kalau tidak benar bisa berujung pada persoalan hukum. Soalnya semua yang sudah dikeluarkan harus dipertanggungjawabkan. Selama ini sudah ada yang memanfaatkan dana desanya sudah sesuai dengan aturan yang ada, namun ada juga yang tidak sesuai, sehingga kita saksikan beberapa Kepala Desa dan perangkat desa harus berurusan dengan pihak berwajib. Ya begitulah kalau tidak bisa menggunakan dana sesuai dengan aturan yang ada.

Apa saran Anda agar penggunaan dana Desa itu tepat guna dan tepat sasaran?

Desa sekarang sudah mendapat dana dari APBN dan APBD. Ada desa pemanfaatan dana desanya sudah hebat, sehingga penghasilannya makin bertambah dari pengelolaan dana yang ada. Kuncinya musyawarah dengan unsur Badan Permusyawaratan Desa, LPM, Tokoh Masyarakat, Kelompok Perempuan, dan lain-lainnya harus dilibatkan dalam pengelolaan dana desa ini. Silahkan disusun prioritas menggunakan dana untuk apa saja. Kepala Desa jangan sampai terjebak pada permainan sendiri. Kami mengucapkan terima kasih kepada pemerintah yang melalui amanat UU sudah mempercayakan kepada desa untuk mengelola keuangannya secara mandiri.

Bagus sekali kalau setiap Desa punya BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), dana yang ada bisa berputar dalam wujud usaha produktif, sejauh ini seperti apa yang terjadi di lapangan?

Dana yang diterima dari APBD dan APBN akan bagus sekali kalau bisa dikelola melalui BUMDes. Potensi ekonomi yang ada di desa bisa dihimpun. Warga yang berprofesi sebagai pedagang, dan petani serta profesi lainnya bisa diperdayakan melalui BUMDes ini. Dengan dikekolah oleh desa dan melibatkan masyarakat desa, uang berputar di desa. Dengan perputaran uang di desa yang nilai Rp1 miliar itu bisa menambah angkatan kerja baru, mengurangi angka kemiskinan, dan menambah penghasilan masyarakat. Mudah-mudahan BUMDes ini benar-benar bisa berperan dalam mengangkat perekonomian masyarakat. Dalam hal ini Kepala Desa hanya sebagai komisaris, yang menjabat sebagai direktur usaha dan jabatan lainnya adalah warga desa yang lain.

Sebentar lagi Pemilu, seperti apa Apdesi menegaskan independensinya di tengah tarik-menarik partai politik yang ada?

Saya tekankan kepada pengurus dan anggota untuk tidak mudah memberikan dukungan kepada pasangan calon yang sedang berlaga di pemilu atau pemilukada. Jadi secara organisasi harus tetap independen dan tidak menggunakan organisasi untuk mendukung partai politik tertentu atau calon dari partai politik yang sedang berkompetisi di pemilukada. Kalau pribadi-pribadi mau menyalurkan aspirasi politiknya silahkan, itu adalah hak masing-masing. Itu yang bisa dilakukan untuk menjaga independensi organisasi dalam hal ini Apdesi. Akibatnya bagi organisasi akan sulit saat mendukung salah satu calon, namun calon tersebut kalah. Kalau sudah begini akan menyulitkan organisasi.

Ini Trik Arifin Abdul Majid Kuatkan Imun di Tengah Pandemi

Arifin Abdul Majid. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Arifin Abdul Majid. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Banyak cara yang bisa dilakukan saat pandemi masih belum mereda kini. Arifin Abdul Majid, S.Sos., MM., sebagai Ketua Apdesi mengatakan kalau dia menjaga stamina dan kesehatan tubuh dengan berolahraga secara teratur, mengonsumsi makanan yang bergizi dan multivitamin serta berjemur sinar matahari. Baginya mencegah dan menjaga kesehatan lebih penting daripada mengobati.

“Olahraga dan mengonsumsi multivitamin di saat pandemi masih belum hilang, sudah tak bisa ditawar lagi. Engga perlu yang susah-susah olahraganya. Kalau saya memilih jogging atau lari untuk membakar lemak dan mengeluarkan keringat, yang mudah dan murah saja. Tak memerlukan area khusus, cukup di jalan raya atau halaman rumah. Kalau saya sedang tugas di luar kota di halaman hotel atau penginapan tempat saya menginap pun cukup. Menurut saya lari itu adalah olahraga yang paling gampang. Tak perlu peralatan khusus, hanya dengan sepatu lari dan pakai olahraga,” kata pria kelahiran Bandung, 16 Agustus 1964 ini.

Ia memilih pagi hari sebagai waktu untuk berolahraga. “Pagi-pagi atau subuh saya sudah bangun, selepas salat subuh saya mulai bersiap-siap untuk berolahraga. Kurang lebih satu jam saya berlari atau jogging. Buat saya satu jam itu sudah cukup, itu sudah bikin capek dan keringat bercucuran,” lanjutnya.

Istirahat sebentar setelah berlari, kalau cuaca bagus dan sang mentari tak pelit berbagi sinarnya, Arifin akan lanjut dengan berjemur atau mandi cahaya matahari pagi. Sinar matahari pagi memang bagus untuk menambah asupan vitamin D yang amat dibutuhkan oleh tubuh. “Sinar matahari itu sudah sedemikian rupa diciptakan oleh Yang Maha Kuasa untuk kita. Sayang sekali kalau tidak dimanfaatkan. Kita tak perlu lagi mengonsumsi vitamin D kalau sudah berjemur sinar matahari pagi,” katanya.

Namun tak hanya vitamin D yang dibutuhkan tubuh. Vitamin-vitamin dan mineral lainnya juga diperlukan tubuh. Jika asupan makanan sehari-hari tak mencukupi, meminum multivitamin adalah acara yang jitu untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan hal tersebut. “Tidak selamanya makanan yang kita makan pagi, siang dan petang itu memenuhi zat gizi, vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh. Saya memilih mengonsumsi multivitamin sebagai untuk menutupi kekurangan tersebut,” lanjut mantan Kepala Desa Bojongsari (1998-2007) ini.

Arifin Abdul Majid. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Arifin Abdul Majid. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Menurut Arifin di masa pandemi COVID-19 ini, menjaga kesehatan mutlak harus dilakukan. Keadaan yang terbatas, bepergian dibatasi, bukan halangan untuk terus berolahraga dan bergerak. Soalnya itulah yang bisa menguatkan imun tubuh. “Banyak orang yang tumbang karena COVID-19 sekarang ini, mereka harus dirawat dan mendapat pengobatan khusus di rumah sakit. Saat rumah sakit penuh koridor dan halaman disulap menjadi tempat perawatan darurat. Kalau kondisi kita vit dan imun tubuh kuat, keadaan ini bisa dihadapi. Tidak sedikit mereka yang terpapar tapi tanpa gejala akhirnya bisa melewati masa karantina dengan selamat,” lajut Arifin sembari menambahkan agar tidak lupa pemanasan sebeum melakukan olahraga.

Ia bukannya tidak merasakan persoalan di masa pandemi ini. Ia malah sempat indra perasanya berkurang drastis. “Saya juga sempat bermasalah dengan indra perasa saya, beberapa waktu yang lalu saya hampir tidak bisa merasa dan mencecap dengan sempurna. Mengetahui keadaan itu saya langsung berinisiatif untuk mengisolasi diri, saya isolasi mandiri. Di rumah saya dibuatkan istri ramuan empon-empon dari rempah-rempah,” katanya.

Beberapa hari, kata Arifin, ia beraktifitas di rumah saja. Kalau ada hal yang urgen ia melakukannya dengan daring. Seperti komunikasi dengan team, koordinasi dengan staf dan kolega dilakukan secara daring untuk sementara. “Setelah menjalani isolasi mandiri dan mengonsumsi empon-empon itu keadaan tubuhnya mulai membaik. Pelan-pelan indera perasa dan penciumannya  berangsung-angsur pulih,” katanya sembari bersyukur.

Saat itu ia memang sengaja tak mau langsung tes antigen atau PCR dan sejenisnya yang biasa digunakan untuk mendeteksi orang yang terpapar COVID-19. Ini dilakukan karena ia ingin memastikan dulu kondisi bisa pulih kembali dengan isolasi mandiri, istirahat, dan meminum ramuan rempah-rempah yang sudah lama dikenal berkhasiat. “Saya memang sengaja tak periksa dulu. Kalau keadaan memburuk baru periksa. Kalau masih bisa ditanggulangi ya diam saja dulu. Setelah keadaan pulih saya kembali beraktifitas seperti semula,” ujar Tenaga Pengajar di Pusat Studi Hukum dan Otonomi Daerah, Jakarta.

Untuk Pandemi

Arifin Abdul Majid. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Arifin Abdul Majid. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Pandemi yang melanda diakui Arifin membuat sulit semua pihak, tak terkecuali pemerintahan di tingkat desa. Namun kini mereka bisa bernapas lega, karena diperbolehkan menggunakan dana desa yang setiap tahun turun untuk menanggulangi pandemi COVID-19 dan dampak ikutan yang menyertainya. “Dana desa itu mulai tahun 2020 bisa digunakan sekitar 30% untuk kegiatan penanggulangan dan pencegahan pandemi. Bisa digunakan untuk membeli peralatan, untuk membeli obat dan juga untuk sosialisasi bahaya COVID-19. Serta untuk proyek yang bersifat padat karya,” katanya.

Anjuran pemerintah untuk melaksanakan protokol kesehatan seperti menjaga jarak, mencuci tangan dan menggunakan masker saat berkativitas di luar rumah masih jalankan masyarakat desa. “Apalagi kegiatan vaksinasi sudah dilakukan smapai ke desa-desa, informasi yang saya dapat sudah banyak desa yang warganya sudah divaksinasi. Angka capaian vaksinasi sudah mendekati 80 persen. Semoga pemerintah bisa menuntaskan kekurangan yang ada dan seluruh warga desa bisa divaksinasi semua,” harap Arifin.

Sebelum adanya UU No 6 tahun 2014 tentang Desa. Sumber keuangan desa amat terbatas. Karena itu, kata Arifin tidak heran kalau banyak warga desa yang melakukan urbanisasi. “Mereka mau mencari penghidupan yang layak. Kalau tidak meratau ke desa daerah rentang sekitar ya pilihannya ke kota. Dalam konteks ini urbanisasi tak terelakkan. Kini dengan adanya dana desa seperti yang diamanatkan oleh UU No 6 tahun 2014 tentang Desa, Desa sudah punya dana rutin yang setiap tahun turun. Itulah yang dioptimalkan untuk pembangunan dan penciptaan lapangan kerja,” katanya.

Memang, lanjut dia belum semua desa bisa menahan laju urbanisasi, namun setidaknya proses penciptaan lapangan kerja dan penciptaan peluang untuk berusaha di desa sudah ada. Bahwasanya ada yang pelum maksimal dan ada yang belum baik, diakuinya itu adalah proses yang harus dilalui. “Kepada Kepala Desa dan jajarannya, harus benar-benar amanat dan menggunakan dana desa dengan sebaik mungkin. Jangan sampai salah kelola,” tukas Arifin.

Melalui UU Desa negara telah  memberikan keleluasaan anggaran APBN yang disalurkan untuk Desa. Dengan dana yang ada, kata Arifin Abdul Majid diharapkan Kepala Desa dan jajarannya bisa menyelenggarakan pemerintahan yang lebih baik. Bisa melakukan pembangunan fisik dan non fisik di desa. “Jalan setapak bisa dibangun, drainase, rumah kumuh bisa dipugar dan proyek lainnya. Tenaga kerja yang digunakan untuk melakukan pembangunan semua fasilitas ini dari warga desa sendiri, inilah yang bisa mencegah mereka melakukan urbanisasi. Kalau ada lagi usaha yang berkelanjutan itu lebih baik lagi. Makin banyak tenaga kerja yang bisa terserap,” katanya.

“Saya tekankan kepada pengurus dan anggota untuk tidak mudah memberikan dukungan kepada pasangan calon yang sedang berlaga di pemilu atau pemilukada. Jadi secara organisasi harus tetap independen dan tidak menggunakan organisasi untuk mendukung partai politik tertentu atau calon dari partai politik yang sedang berkompetisi di pemilukada. Kalau pribadi-pribadi mau menyalurkan aspirasi politiknya silahkan, itu adalah hak masing-masing,” 

Arifin Abdul Majid