JAKARTA – Wartawan sepak bola senior, Joseph Erwiyantoro belum meyakini PSSI dapat lebih baik ke depannya. Terlebih, bila melihat dua nama yang telah resmi mencalonkan diri sebagai calon ketua umum, La Nyalla Mahmud Mattalitti dan Erick Thohir. Duan nama itu adalah dua kandidat Ketua Umum PSSI, yang akan dipilih dalam Kongres Luar Biasa PSSI (KLB PSSI) pada 16 Februari mendatang.
La Nyalla memang sudah bergelut dalam organisasi sepak bola di Indonesia sejak lama. Pada periode 2011-2013, La Nyalla sempat menjabat sebagai anggota Komite Eksekutif (Exco). Lalu, wakil Ketua Umum PSSI pada 2013-2015, hingga terpilih sebagai Ketua Umum PSSI pada 2015-2016, tepat satu hari ketika PSSI dibekukan oleh Menpora Imam Nahrowi.
Namun, menurut Toro, sapaan akrab Erwiyantoro, dia belum terbukti mampu mereformasi PSSI. “Prestasi La Nyalla di PSSI hanya menjadikan kantor PSSI lebih megah dengan dana dari kantong pribadinya, tidak lebih.”
Begitupun Erick Thohir. Di kancah internasional, dia pernah mengakuisisi lebih dari 70 persen saham tim Liga Amerika Serikat, DC United pada 2012. Juga, mengakuisisi 70 persen saham Inter Milan dan menjabat Presiden klub Serie A Italia tersebut selama periode 2013-2019.
Sedangkan di Tanah Air, Erick pernah menjabat Wakil Komisaris Utama PT Persib Bandung Bermartabat pada 2014 dan mundur setelah dilantik menjadi Menteri BUMN pada 2019. Terkini, Menteri BUMN itu tercatat menjadi salah satu pemegang saham Persis Solo.
“Tapi itu hanya kepentingan bisnis. Coba lihat saat Erick jadi Presiden Inter Milan, pernah enggak membeli pemain hebat? Pernah enggak juara serie A? Memang dia bukan orang bola, dia lebih ngerti basket.”
“Jadi, saya yakin, ya PSSI gitu-gitu aja, tidak ada perubahan,” kata Toro kepada VOI, Minggu (15/1).
Tak dapat dipungkiri, permasalahan yang menjerat PSSI sebagai organisasi sepakbola sudah sangat kompleks. Pengamat Sepak Bola Nasional, Kesit Budi Handoyo bahkan menyebut sudah seperti benang kusut.
Bukan hanya masalah teknis, tetapi permasalahan yang lebih fundamental. Menurut Kesit, manajemen sepak bola Indonesia secara keseluruhan masih amburadul.
“Lihat manajemen tim nasional, manejemen kompetisi, manajemen perwasitan, pembinaan pemain muda, mana yang sudah ada perubahan? Belum lagi infrastruktur terkait stadion. Masih banyak PR-nya,” kata Kesit.
Tidak Fokus
Meski sudah beberapa kali berganti pemimpin, toh permasalahan yang dihadapi masih tetap sama. Ini karena pemimpin yang terpilih tidak benar-benar fokus mengurusi sepak bola.
Pengusaha, pejabat militer, politikus pernah jadi ketua umum PSSI. Secara kemampuan kepemimpinan, mayoritas cukup capable. Namun ternyata belum mampu membawa perubahan yang lebih baik untuk sepak bola Indonesia secara menyeluruh.
“Kita harus jujur terkait itu. Artinya, tidak ada yang fokus urus sepak bola, konsentrasinya cenderung pecah untuk politik. Misal Pangkostrad yang pernah jadi Ketum PSSI, ternyata akhirnya kelihatan ada agenda tersembunyi untuk karier politik, jadilah dia gubernur,” tutur Kesit kepada VOI, Minggu (15/1).
“Kemudian, pensiunan Polri, sudah rahasia umum kalau dia juga ingin mencalonkan diri dalam konstelasi politik dengan menjadi Gubernur Jabar. Hal-hal inilah yang membuat sepak bola Indonesia tidak melangkah maju,” tambah Kesit.
Begitu juga dengan dua nama calon Ketua Umum PSSI saat ini yang akan dipilih pada kongres luar biasa PSSI pada Februari nanti.
“Okelah kita punya La Nyalla sosok yang pernah di PSSI, tapi harus lihat lagi nanti, dia menjadikan PSSI ini untuk apa. Sebab, 2024 tahun politik, apalagi dia Ketua DPD saat ini. Apakah dia benar hanya untuk mengurusi PSSI, atau punya agenda lain?” ucap Kesit.
Sama halnya dengan Erick Thohir, sambung Kesit, “Dia benar-benar ingin fokus urus PSSI atau hanya menjadikan PSSI batu loncatan untuk menaikkan popularitas?”
Bila motif-motif tersebut yang selalu mendominasi para pemimpin PSSI, sepak bola Indonesia tidak akan berkembang. Sehingga, kata Kesit, pemimpin PSSI harus meyakinkan niatnya terlebih dahulu. Tidak hanya ketua umum dan para wakilnya, jajaran komite eksekutif (exco) juga harus memiliki mindset memajukan sepak bola Indonesia.
“Butuh kejelian dan penilaian yang objektif, mana figur-figur yang memang pantas untuk duduk sebagai exco. Kuncinya ada di voter. Voter pun harus mau mengubah mindset bila ingin PSSI dan sepak bola Indonesia lebih baik. Jangan kemudian memilih exco yang kapasitasnya di dunia sepakbola belum teruji sama sekali, latar belakangnya juga penting,” tutur Kesit.
Dia optimistis bila PSSI mampu menciptakan dan menerapkan sistem yang baik, hasilnya pun akan ideal. Tidak lagi sulit mencari 11 pemain yang bisa membawa Indonesia menjadi juara.
“Persoalannya karena pembinaannya enggak bagus, kompetisinya juga masih amburadul, akhirnya resource yang didapatkan jadi enggak bagus, jadi outputnya juga pasti tidak akan optimal,” ucapnya.
Pembinaan Usia Dini
Pembinaan usia dini menjadi hal krusial dalam memajukan sepak bola Indonesia. PSSI harus membuat kompetisi berjenjang berdasarkan usia, mulai dari usia 15, 17, 19, 21, 23, hingga puncak di level senior.
Tak hanya itu, klub-klub sepak bola yang ada di Indonesia juga harus serius mengembangkan sepak bola akar rumput. Sebab, ini bagian salah satu persyaratan klub sepak bola profesional yang ditetapkan oleh FIFA maupun AFC. Klub harus memiliki akademi.
“Keduanya harus berjalan seiring. Meski akademi sudah ada tetapi wadah kompetisinya tidak ada, ya sama saja bohong,” kata Kesit.
VOIR éGALEMENT:
Yang tak kalah penting adalah peran pelatih. Kalau memang mau membangun generasi yang bagus, pelatihnya juga harus bagus. Jangan asal menunjuk pelatih.
“Karena ini pemain muda yang diharapkan dapat menjadi pemain nasional nantinya. Kalau dia dasarnya sudah salah, ya selanjutnya salah. Ya, memang banyak PR-nya. Ketua baru nantinya harus memberikan prioritas yang sama, pembinaan harus dapat prioritas, kompetisi apa lagi, kemudian tim nasional,” Kesit menandaskan.
Dana Bukan Masalah
Terkait dana, menurut Kesit, tidak perlu khawatir. Selama PSSI konsisten dan mampu menciptakan kompetisi yang baik dan aman, sponsor sudah banyak yang mengantre.
"Masalahnya hanya trust, bisa enggak sih PSSI melindungi biar citra sponsor bagus. Misalnya kalau bikin kompetisi jangan ribut mulu dong, kalau bikin kompetisi jangan sebentar-sebentar jadwalnya berubah dong. Seperti sekarang, tiba-tiba berhenti, kalau begini kan mengganggu," ungkap Kesit.
Selain sponsor, PSSI juga bisa memanfaatkan bantuan rutin dari FIFA yang lazimnya dalam bentuk program pembinaan.
"Intinya, kalau liganya jalan secara berjenjang, dan dikelola dengan baik, transparan, soal pendanaan akan jauh lebih mudah. Kalau liganya berhenti, ya susah," tambah Kesit.
Ketika ditanya terkait persentase alokasi dana yang ideal untuk pembinaan usia dini, Kesit mengatakan sulit untuk mengukurnya. Sebab, besaran dana yang masuk ke PSSI setiap tahun bervariasi.
Toro berpendapat sama. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana memanfaatkan peluang-peluang yang ada untuk kemajuan sepak bola Indonesia.
"Celah mencari duitnya sangat banyak. Banyak yang bisa dijual dari Timnas. Misal, jual jersey. Contoh Thailand bisa dapat lebih dari Rp300 miliar per tahun. Lalu Singapura, negara yang tidak terlalu berprestasi tapi bisa raup keuntungan miliaran rupiah juga dari jersey. Belum lagi dari siaran langsung, tiket, atau sponsor lain," tutur Toro.
Sama halnya dengan produk-produk PSSI lain seperti kompetisi Liga 1 dan seterusnya. Menurut Toro, itu semua bisa dioptimalkan karena PSSI punya modal kuat. Prestasi memang masih belum maksimal, tetapi kekuatan suporter yang dimiliki sangat besar.
"Asal cerdas, kreatif, dan jujur. Jangan ada yang ditilep. Semua pemasukan harus dikembalikan lagi untuk sepak bola Indonesia. Khususnya, pembinaan usia dini. Ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang ngerti dan peduli dengan sepak bola," ucap Toro.
Pelatih Persebaya Surabaya Aji Santoso pun berharap ketua umum PSSI terpilih merupakan sosok yang memiliki keinginan kuat membawa sepak bola Indonesia ke arah yang lebih baik.
“Tak masalah siapapun orangnya. Yang penting bisa mengubah sepak bola kita ke kemajuan, baik dalam pembinaan usia muda, kompetisinya, maupun tim nasionalnya. Juga, mampu menciptakan sepak bola yang bermartabat, bersih, jujur, dan fair play,” imbuh Aji, mantan pemain dan pelatih timnas Indonesia kepada VOI, Minggu (15/1).
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)