PPN Naik Plus Rupiah Tertekan Bikin Hidup Warga +62 Makin Sulit
JAKARTA – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 menjadi 12 persen yang mulai berlaku 1 Januari 2025 disebut membuat hidup rakyat Indonesia alias warga +62 akan semakin sulit. Terlebih, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS belakangan juga masih tertekan.
Menurut Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani, kenaikan tarif PPN sendiri sudah akan menekan daya beli masyarakat karena harga barang menjadi tinggi akibat kenaikan pungutan transaksi. Belum lagi ditambah dengan pelemahan nilai tukar rupiah yang bisa membuat efek imported inflation atau inflasi akibat perubahan nilai tukar.
Dia mengungkapkan, pelemahan daya beli sebetulnya telah terjadi sejak pertengahan tahun ini yang terlihat dari deflasi yang terjadi berturut-turut sejak Mei hingga September 2024, sampai dengan besarnya penurunan jumlah penduduk kelas menengah, dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024 berdasarkan data BPS.
“Selama ini, kelas menengah Indonesia berperan penting dalam mendongkrak konsumsi nasional. Hal ini akan diperparah dengan rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen per 1 Januari 2025. Ini yang membuat hidup masyarakat diprediksi semakin sulit,” tuturnya, Kamis 19 Desember 2024 lalu.
Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Bambang Brodjonegoro mewanti-wanti pemerintahan Prabowo Subianto agar tidak hanya berpatokan pada tingkat inflasi dalam mencermati dampak kenaikan PPN terhadap perekonomian masyarakat. Sebab, dampak inflasi kecil yang diklaim pemerintah dari kenaikan tarif PPN itu tidak hanya bisa dilihat secara general, mengingat potensi kenaikan inflasi tidak bisa disamaratakan dampaknya antarkelompok ekonomi masyarakat.
“Desil 5 ke 8 yang itu tadinya aspiring dan near poor ini tentu memberatkan. Jadi kadang-kadang kalau kita melihat inflasi itu harus hati-hati. Inflasinya mungkin kelihatan kecil tapi dampak inflasi kecil itu bisa beda antara yang incomenya besar dengan income yang terbatas,” ujarnya, Senin 23 Desember 2024.
Dia mengaku sudah memperingatkan pemerintah agar tidak mengejar pendapatan negara dengan menaikkan tarif pajak. Sebab, risikonya besar bagi masyarakat banyak, khususnya daya beli kelas menengah ke bawah. “Jadi dari dulu sejak saya di kementerian keuangan, pendekatan saya adalah jangan kita terlalu cepat ingin mencari tambahan penerimaan pajak dengan menaikkan tarif pajak yang sifatnya menyeluruh tadi,” tambah Bambang.
VOIR éGALEMENT:
Kejatuhan Daya Beli Masyarakat Indonesia Tinggal Menunggu Waktu
Bambang Brodjonegoro menilai, kejatuhan daya beli masyarakat Indonesia tinggal menunggu waktu, bila pemerintah terus menerus mengacuhkan fenomena yang sebenarnya sudah terjadi sejak Paska Pandemi COVID-19. Pasalnya, hilangnya daya beli masyarakat terjadi karena memang dari sisi pendapatan kelas pekerja RI sangat kecil dengan kebutuhan biaya belanja bahan pokok yang terus melejit.
“Maka tidak heran bila ada yang mengeluh daya beli kita turun, karena tadi income-nya enggak bisa bergerak banyak, biayanya enggak bisa dihindari sehingga ruang untuk daya belinya itu menjadi tipis. Belum lagi kemudian kalau ada tadi gejolak rupiah, kemudian ada inflasi, ya makin tipis aja, bahkan takutnya hilang daya belinya,” tukas Bambang.
Menteri keuangan di periode pertama Presiden Joko Widodo itu mengatakan, dari sisi pendapatan masyarakat Indonesia nilainya jauh tertinggal bila dibandingkan negara lain, bahkan dibanding negara tetangga. Dari sisi upah minimum saja, yang rata-ratanya pada tahun ini Rp3,04 juta jauh tertinggal dari Malaysia yang mencapai rata-rata Rp6,12 juta per bulan, apalagi dibanding Singapura yang senilai Rp25,75 juta per bulan.
Di sisi lain, ketika pendapatannya pas-pasan, biaya untuk bertahan hidup di Indonesia justru terus melejit yang tercermin dari lonjakan angka inflasi bahan pangan ke level 8-10 persen sejak 2022 sebelum akhirnya deflasi pada tahun ini. Malangnya bagi masyarakat, lanjut Bambang, harga bahan pokok yang tinggi itu tidak hanya terjadi untuk bahan makanan saja, melainkan merambah ke kebutuhan pokok lain yang sebetulnya bisa dikendalikan pemerintah, seperti air minum hingga perumahan.
Dia menyebut, di negara maju, air layak minum gratis langsung disediakan pemerintahnya sedangkan di Indonesia masyarakat masih harus membeli air layak minum melalui botol kemasan, seperti air galon. “Akhirnya terpaksa kita beli air dalam galon atau air dalam botol yang harganya ya mungkin kelihatannya murah tapi kan kita belinya sering dalam volume yang lumayan, jadi itu terpaksa menjadi suatu biaya yang enggak bisa kita hindari dan itu pasti kan ikut mengurangi daya beli,” terang Bambang.
Pengaruh Kenaikan PPN Tidak Signifikan terhadap Tingkat Inflasi
Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar menyatakan bahwa pernyataan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang mengatakan dampak kenaikan inflasi akibat kenaikan PPN hanya 0,2 persen sangat tidak tepat dan cenderung menyesatkan publik. Dia menyebut, tiga tahun lalu atau April 2022, Pemerintah Indonesia telah menaikkan PPN dari 10 ke 11 persen, namun inflasi tahunan melonjak dari 3,47 menjadi 4,94 persen hanya dalam waktu tiga bulan atau tepatnya pada Juli 2022.
Dia menegaskan, alasan DJP bahwa tingkat inflasi yang tinggi ke level 5,51 persen pada 2022 itu terjadi karena tekanan harga global, gangguan pasokan pangan, hingga kenaikan BBM tidak tepat. Sebab, berkaca pada periode 2022, inflasi melonjak dari 3,47 menjadi 4,94 persen hanya dalam kurun waktu tiga bulan paska kenaikan PPN pada April 2022. Sementara itu, kebijakan kenaikan BBM baru dilakukan pada Desember 2022.
“Artinya, anomali inflasi terjadi persis setelah PPN dinaikkan, dan sudah pasti disebabkan oleh kenaikan PPN, dibandingkan dengan masalah tekanan harga global dan supply pangan yang terjadi sepanjang tahun pada 2022,” tukas Media.
Menurut dia, kenaikan PPN 12 persen akan mempengaruhi sejumlah sektor seperti jasa konsumsi, barang konsumsi, produk elektronik, hingga otomotif. Sektor jasa konsumsi seperti salon, laundry, kafe dan bahkan restoran harus mempertimbangkan dan menghitung dengan cermat dampak kenaikan PPN agar dapat bertahan di pasaran. Pada sektor konsumsi harian seperti sektor makanan, minuman, sabun, sampo, deterjen, hingga berbagai produk rumah tangga lainnya akan melonjak akibat PPN.
“Belum kalau kita menyebut topup uang elektronik, pulsa termasuk tiket transportasi. Dampak seperti itu apakah sudah diperhitungkan pemerintah? Transaksi-transaksi (pulsa, uang elektronik) yang mungkin terlihat sepele tapi justru hampir tiap hari dijalani oleh masyarakat,” tandas Media.
Meski demikian, pemerintah melalui Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu optimistis bila dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 tidak akan signifikan terhadap perekonomian Indonesia. “Dampak kenaikan PPN terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan. Pertumbuhan ekonomi 2024 diperkirakan tetap tumbuh 5,0 persen,” ujarnya.
Menurut dia, adanya paket stimulus seperti bantuan pangan, diskon listrik, Pembebasan PPN Rumah, Pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) selama satu tahun bagi buruh, pabrik tekstil, pakaian, alas kaki, dan lainnya ini akan menjadi bantalan bagi masyarakat. “Tingkat inflasi saat ini juga masih tergolong rendah. Dampak kenaikan PPN kami perkirakan hanya menambah 0,2 persen, sehingga Inflasi diprediksi masih sesuai target APBN 2025 di kisaran 1,5-3,5 persen,” kilah Febrio.