Penyandang Disabilitas Bisa Menjadi Pelaku Kekerasan Seksual, Selama Memiliki Kecakapan Berpikir
JAKARTA – Kasus kekerasan seksual yang melibatkan I Wayan Agus Suartama (IWAS) atau dikenal Agus, seorang penyandang disabilitas, menjadi perhatian banyak pihak. Sangkaan publik bahwa penyandang disabilitas, terutama tunadaksa, tidak mungkin melakukan kekerasan seksual dibantah oleh penjelasan psikolog forensik Reza Indragiri Amriel.
Agus, pria asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pelecehan terhadap 15 orang, termasuk anak-anak di bawah umur. Kasus ini bermula dari pengakuan mahasiswi berinisial MA, yang menceritakan kekerasan seksual yang ia alami kepada temannya.
Setelah MA melaporkan perbuatan Agus, muncul korban-korban lain yang mengaku mengalami kejadian serupa.
Namun kasus ini awalnya memicu spekulasi dan menimbulkan berbagai pertanyaan besar di kalangan masyarakat. Banyak yang bertanya-tanya bagaimana mungkin seorang penyandang disabilitas justru menjadi pelaku kekerasan seksual.
Reza Indragiri Amriel menegaskan siapa pun, termasuk penyandang disabilitas tunadaksa, mampu melakukan kekerasan seksual selama ini memiliki kecakapan dalam berpikir.
Keliru Memandang Penyandang Disabilitas
MA menceritakan bagaimana ia diperdaya Agus sebelum menjadi korban kekerasan seksual. Agus mendatangi korban yang sedang sendirian di kampus, kemudian mereka mengobrol dengan Agus menanyakan beberapa hal, termasuk hal yang sangat pribadi mengarah ke seksualitas.
Hal ini juga dibenarkan melalui keterangan kepolisian. Agus disebut memanfaatkan manipulasi emosional dan ancaman psikologis untuk memaksa korban mengikuti keinginannya. Hal ini memantik kemarahan masyarakat, apalagi setelah bukti berupa rekaman video dan suara mulai terungkap.
Reza Indragiri Amriel menyoroti reaksi masyarakat yang awalnya tidak percaya dengan kasus kekerasan seksual yang dilakukan Agus. Keraguan publik bahwa seseorang yang difabel dapat melakukan kekerasan seksual, kata Reza, berangat dari kekeliruan memahami dua hal, yaitu keliru memahami kekerasan seksual dan apa itu penyandang disabilitas.
Masyarakat selama ini terlanjur percaya bahwa kekerasan seksual adalah sebuah kejahatan keji yang hanya bisa dilakukan oleh monster. Imajinasi publik selama ini menggambarkan monster adalah sosok yang bertubuh kuat, memiliki energi besar, sehingga bisa menaklukkan korbannya dengan kekuatan besar yang ia miliki.
VOIR éGALEMENT:
“Kita kadung percaya dan menganggap penyandang disabilitas bahwa mereka lemah, tidak berdaya, tidak bisa berperilaku jahat,” kata Reza kepada VOI.
“Kekeliruan terkait kekerasan seksual dan penyandang disabilitas inilah yang membuat kita tidak percaya bahwa ada orang-orang tunadaksa bisa melakukan kekerasan seksual,” imbuhnya.
Terkait dengan kekerasan seksual, kata Reza, ada dua modus yang bisa dilakukan oleh pelaku, yaitu kekerasan, baik itu kekerasan fisik maupun psikis. Sedangkan modus yang kedua yaitu grooming behavior. Modus ini menurut para ahli justru yang paling sering digunakan oleh pelaku kekerasan seksual.
“Jadi, alih-alih menggunakan cara yang membuat target mengalami ketakutan, yang membuat korban merasa ngeri, grooming behavior justru dilakukan dengan membuat orang terlena, target tidak menyangka bahwa orang di hadapannya sesungguhnya orang yang akan menjahatinya secara seksual,” Reza menjelaskan.
“Boleh jadi titik awal kekerasan itu bukan kekerasan fisik, tetapi didahului modus grooming behavior, sehingga target dikelabui, tidak sadar,” imbuhnya.
Memanfaatkan Kondisi Tubuh untuk Mendapat Iba
Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat mengatakan, pemahaman publik soal kekerasan seksual termasuk pelecehan seksual terlalu sempit dan kerap memakai “kacamata nondisabilitas”. Perkosaan termasuk kekerasan seksual juga bisa dilakukan dengan menggunakan benda-benda atau anggota tubuh lainnya, seperti kaki, menurut Rainy.
“Bahkan kekerasan seksual dapat terjadi ketika pelaku memaksa korban menyaksikan video atau foto intim,” kata Rainy.
"Atau ada perbuatan meraba, menyentuh, mengusap, menggosokkan bagian tubuh pada tubuh korban tanpa persetujuan korban, itu semua bisa dikatakan pelecehan seksual,” imbuhnya.
Rainy juga menerangkan dalam kasus kekerasan seksual yang pelakunya adalah seorang tunadaksa, modus yang kemungkinan diperbuat adalah dengan ancaman seperti membuka aib masa lalu atau foto intim korban.
Pelaku, dikatakan Rainy, bisa saja menjadikan aib atau foto intim tersebut sebagai alat untuk menguasai korban. Korban pun pada akhirnya terpaksa mengikuti kemauan pelaku.
Hal senada juga dituturkan Reza Indragiri Amriel, yang menyebut pelaku melakukan kekerasan secara psikis, ancaman, atau intimidasi mental setelah rahasia korban ‘dikuasai’. Atas dasar itulah, Reza menyimpulkan sesungguhnya kekerasan seksual bisa dilakukan oleh siapa pun.
“Termasuk penyandang disabilitas, sepanjang si pelaku memiliki kecakapan berpikir, kecakapan menyiapkan siasat psikologis baik itu grooming behavior maupun kekerasan psikis guna menaklukkan target yang akan dijahati secara seksual,” terang Reza.
Ia tidak menganggap kejahatan seksual yang dilakukan penyandang disabilitas adalah sesuatu yang luar biasa. Menurutnya, sudah sejak lama pelaku memanfaatkan tubuh untuk menaklukkan target. Dan, ini tidak terbatas hanya pada laki-laki yang gagah dan tampan, maupun perempuan yang cantik. Penyandang tunadaksa pun, katanya bisa menjadi pelaku.
"Kita bisa membayangkan para penyandang disabilitas yang berbuat jahat justru akan memanfaatkan kondisi tubuh ini sebagai instrumen kejahatan untuk mendapat simpati, iba, dan kepercayaan dari target," terangnya.
"Jadi memang tunadaksa sekalipun sepanjang punya kecakapan berpikir bisa melakukan pidana berupa kekerasan seksual," ujar Reza menyudahi.