Eksklusif: CEO PSIM Liana Tasno, Melawan Kemapanan Laki-laki di Klub Sepak Bola  

Sepak bola adalah olahraga paling populer di seluruh dunia. Meski kaum hawa juga sudah terlibat di sepak bola, dominasi kaum pria masih terlihat jelas di semua level. Hal ini disadari betul oleh CEO PSIM (Perserikatan Sepak Bola Indonesia Mataram), Liana Tasno. Ia harus berjuang keras untuk membuktikan bahwa bisa bersaing di tengah dominasi kaum pria yang merajai sepak bola.

***

Perempuan bernama lengkap Yuliana Tasno ini memang bukan orang baru di dunia sepak bola. Mengawali karier dari bawah, ia melalui proses yang tidak mudah hingga akhirnya mampu membuktikan diri dan dipercaya menjadi CEO PSIM Yogyakarta sejak Juli 2023.

Kehadirannya di sepak bola memang dimulai dari urusan promosi dan bisnis. “Sebelum di PSSI, saya lebih dulu bergabung dengan IBL (Indonesian Basketball League). Saya kemudian bergabung dengan PSSI sebagai Manajer Brand dan Komunikasi sejak Agustus 2017,” kata perempuan yang sempat dijuluki sebagai Bidadari PSSI ini.

Meski mengaku menikmati kariernya di dunia sepak bola, ia sempat trauma dengan dunia tersebut. Kala itu, ia harus menjalani pemeriksaan karena ada pengurus organisasi sepak bola yang terjerat perkara hukum dugaan mengaturan skor pertandingan. Sejak itu, ia mencoba menjauh dari sepak bola. Namun sejauh dia menghindar, panggilan untuk kembali ke sepak bola semakin kuat. Dia tak kuasa untuk menghindar.

Jabatan CEO tak ia terima dengan mudah. “Saya bergabung dengan PSIM karena dipercaya oleh konsorsium investor. Awalnya saya diminta mengurusi sisi bisnisnya saja. Saya tak menyangka akan mendapat posisi setinggi ini di PSIM,” kata Liana Tasno.

Ia sempat sedih saat salah seorang petinggi PSIM mengatakan kepadanya soal kecilnya peluang untuk mencapai posisi puncak, hanya karena ia adalah seorang perempuan. “Saya sedih, kok begitu banget sama perempuan. Namun ternyata Tuhan berkata lain, semesta berpihak pada saya. Saya justru yang dipercaya oleh investor,” katanya kepada Edy Suherli, Bambang Eros, Irfan Meidianto, dan Dandi Juniar saat bertandang ke kantor VOI belum lama berselang. Inilah petikannya.

Sebagai  CEO klub, Liana Tasno melakukan analisa dan dia berjuang keras bersama tim untuk membenahi PSIM. (Foto: Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)

Tak banyak perempuan yang menjadi CEO klub sepak bola. Anda salah satunya. Apa pertimbangan Anda menerima tantangan menjadi CEO PSIM?

Saya sudah enam tahun bergabung dengan PSIM. Itu berawal ketika  EMTEK (konsorsium utama para investor) sebagai pemilik hak siar Liga 1 dan Liga 2, membeli PSIM. Investor menunjuk saya untuk menjadi perwakilan mereka di klub, dan saya dipercaya mengurus sisi bisnisnya. PSIM ini klub yang legendaris, suporternya besar, klub yang lahir tahun 1929 ini punya sejarah panjang. Jadi, tanggung jawabnya tidak ringan. Lalu, Yogyakarta adalah daerah yang unik; ada Keraton. Ini memang menantang sekali.

Dua tahun kita mengalami pandemi COVID-19 yang membuat pertandingan setahun terhenti, dan setahun berikutnya sudah boleh bertanding tapi tanpa penonton. Kita tak ada pendapatan dari tiket, tapi saya tetap bertahan. Saat sepak bola mulai bangkit pascapandemi, ada Tragedi Kanjuruhan, ini juga membuat kami terdampak. Beberapa direktur di PSIM mundur karena trauma. Dalam kondisi seperti ini, klub harus dipertahankan. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya saya menerima tantangan ini (menjadi CEO Juli 2023).

Anda perempuan, di tengah mayoritas pria yang terlibat di PSIM. Bagaimana Anda menghadapi keadaan ini?

Memang kehadiran saya sering diperbincangkan di tengah industri ini, tapi nggak apa-apa. Soalnya, bisa sampai ke posisi sekarang ini (CEO) bukan sesuatu yang mudah. Saya melaluinya dari nol. Buat saya, ini adalah pencapaian karier yang luar biasa.

Setahu Anda, sebelum konsorsium investor memilih Anda, apakah ada kandidat lain?

Dari pihak investor, mereka juga mencari calon selain saya, namun mereka tidak menemukan yang cocok. Ini saya baru cerita di VOI saja, sebelum jadi CEO, saya sudah empat tahun berkarier di PSIM. Ada salah seorang petinggi di PSIM bilang ke saya, mau berapa tahun pun, saya tidak akan bisa mencapai posisi puncak di PSIM. Saya tanya alasannya apa? Dia jawab karena saya perempuan. Lalu saya bilang, siap, Pak.

Meski bilang begitu, dalam hati saya sedih, kok begitu banget sama perempuan. Namun ternyata Tuhan berkata lain, semesta berpihak pada saya, saya justru dipercaya oleh investor.

Saat awal menjadi CEO, apa yang Anda lakukan?

Saya menganalisis apa saja kelemahan dan kelebihan PSIM. Ternyata kelemahannya itu teknis banget. Tahun pertama jadi CEO, saya belajar banyak hal. Ternyata memang tak mudah mengurus klub bola, apalagi dengan target tinggi, masuk ke Liga 1 dari posisi Liga 2 saat ini. Saya sudah bereskan A, B, dan C, ternyata ada lagi problem D, E, dan F. Inilah sepak bola, di luar perkiraan.

Pelatih sudah dapat, pemain sudah kombinasi pemain lokal dan asing sesuai kuota. Saat semua sudah ditata dan direncanakan, ada satu saja yang tak cocok, berpengaruh pada yang lain. Menurut saya, menangani klub bola itu menangani manusia atau human resources management. Pendekatan personal harus baik, cepat tanggap, kritis, karena itu saya cari manajer tim yang bagus. Harus yang berintegritas, terutama pada hak-hak pemain. Dan bisa berkolaborasi dengan pelatih. Puji Tuhan, saya akhirnya dapat manajer seperti yang saya inginkan.

Bagi PSIM Liana Tasno membawa PSIM ke kasta yang lebih tinggi adalah target yang ingin ia raih. Karena itu ia membutuhkan dukungan dari semua lini. (Foto: Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)

Sebagai seorang CEO apakah anda punya role model di luar sana?

Sejauh ini engga ada, tapi ada sosok yang saya kagumi, Pieter Tanuri. Dia adalah pemilik klub Bali United. Saya melihat Bali United ini bisa menjadi rujukan. Secara perusahaan Bali United sudah melantai di bursa saham. Mereka tak hanya bikin cafe atau bikin merchandise. Mereka juga bikin lapangan latih yang bagus. Lalu pengembangan usia muda juga bagus. Satu lagi dia mengurusi Bali United itu dengan hati. Jadi dia role model saya. Saya harus belajar banyak dari dia.

Anda domisili di Jakarta, bagaimana membangun bonding dengan pemain staf dan Laskar Mataram?

Memang saya tinggal di Jakarta, tapi saya tetap perhatian pada PSIM. Kelebihan saya sebagai wanita saya punya insting yang kuat. Kalau ada tanda-tanda saya merasa, langsung komunikasi dengan manajer dan tim yang di Jogja, ada masalah ya? Apakah saya perlu turun? Mereka bilang tak perlu. Ya sudah saya tunggu laporannya. Tapi suatu waktu saya datang untuk bersilaturahmi dengan pemain. Minimal sebulan sekali ke Jogja, kalau lagi penting kadang sebulan dua kali atau lebih, tergantung kebutuhan.

Apa target Anda sebagai CEO untuk prestasi PSIM?

Menurut saya target seorang CEO itu aman dulu klub dan pemain, jadi soal finansial. Untuk anggaran belanja dan berjalannya musim kompetisi sudah terjamin. Soal prestasi memang dibebankan kepada pelatih, tapi CEO bertanggungjawab memilih pelatih yang bagus.

Sebelum Anda bergabung ke PSIM dan sampai sekarang secara keuangan apakah sehat?

Sebagai sebuah klub sepak bola sejak 2019 sampai sekarang saya garansi PSIM adalah salah satu klub yang paling sehat di Liga2. Gajian rutin dan tak pernah telat, perpajakan rapih, semua administrasi kami dipenuhi.

Apa yang sudah dan akan dilakukan untuk membawa PSIM ke kasta yang lebih tinggi?

Selama setahun ini saya dan tim sudah berbuat maksimal, kalau ternyata hasilnya belum seperti yang diharapkan kami harus lebih keras lagi. Tim pelatih kami lengkapi, ada analis, pelatih fisik, kami juga menggunakan sport scientist.

Apa masih ada rencana menambah pemain?

Kuota pemain asing dan lokal nyaris sudah terisi, tinggal kuota pemain U-21. PSIM Persiapannya lebih matang di antara klub Liga2 lainnya. Boleh diadu soal ini.

Bagaimana tips untuk menjaga investor dan mendekati sponsor?

Untuk menjaga investor modal kami adalah kepercayaan, itu yang harus kami jaga. Kami harus membuktikan dengan kerja dan prestasi agar investor yakin. Untuk sponsor, kami memberikan data terupdate untuk mereka gunakan dalam strategi marketing produk dan jasa mereka. Jadi kalau mereka sudah melihat target market cocok, biasanya join.

Saat ini untuk suporter; Laskar Mataram, apakah sudah terdata?

Sebenarnya untuk urusan suporter kita serahkan kepada pengurus Brajamusti dan The Maident. Ini adalah dua kelompok pendukung PSIM atau Laskar Mataram. Saat ada pertandingan yang datang ke stadion itu puluhan ribu.

Apakah keberadaan suporter ini bisa dioptimalkan untuk kepentingan perusahaan?

Yang penting PSIM harus menang dalam setiap pertandingan. Soalnya kalau menang bisnis juga ikut jalan. Tiket laku, merchandise laris. Kalau pada hari pertandingan sekolah kosong, kantor sepi, ada tagar kosongkan sekolah, kosongkan kantor. Karena PSIM mau main.

Apa ada kerja sama dengan pemda untuk menggalang dana buat PSIM?

Sampai saat ini belum ada. Ada pengalaman yang amat berkesan saat PSIM memang 1-0 lawan Persis Solo. Jogja macet, masyarakat tumpah-ruah menyambut kemenangan PSIM. Ada iba-ibu yang rela berdesakan membawa anaknya demi menyambut kemenangan PSIM.

Di era sekarang apakah PSIM sudah masuk ke NFT untuk mencari dana?

Rencana itu sudah ada, tapi belum bisa direalisasikan. Relevansinya masih jauh, mungkin beberapa tahun mendatang baru bisa.

Apa harapan Anda untuk pecinta sepak bola?

Untuk semua penggemar bola, bukan hanya Laskar Mataram, kalau kalian mencintai klub sepak bola cintailah seperti kalian mencintai pasangan hidup kalian. Susah dan senang didukung, jangan saat menang saja memberikan dukungan. Dukungan itu amat penting untuk klub dan pemain, terutama ketika sedang terpuruk.

Kalau industri olahraga ini dikelola dengan baik, dengan SDM yang kompeten saya yakin bisa maju. Soal sponsor itu akan ikut dengan sendirinya kok. Pengelola klub harus baik dan berintegritas. Kalau sudah begini olahraga kita akan maju, bisa mengharumkan nama bangsa. Klub bisa menjadi tempat untuk berkarya dan berprestasi.

 

Liana Tasno Ingin Jadi Menteri Pemuda dan Olahraga

Tak ada larangan untuk bermimpi di republik ini, dan setelah meraih posisi CEO PSIM Liana Tasno bercita-cita menjadi menteri yang mengurusi olahraga. (Foto: Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)

Liana Tasno sebelumnya tak menyangka akan mencapai posisi sebagai CEO PSIM Yogyakarta, saat posisi itu berhasil dia raih, ia makin percaya diri. Dia bercita-cita menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga. Jika cita-cita itu tercapai, ia ingin membangun sebanyak mungkin fasilitas olahraga agar atlet Indonesia bisa berprestasi.

Perjalanan karier Liana di dunia sepak bola nasional menarik dan bisa menjadi inspirasi. Bagaimana sebuah cita-cita dan keinginan harus diupayakan dengan sungguh-sungguh. Bagaimana sebuah perjuangan akan berbuah manis dan indah pada waktunya. Semua dilalui dengan sabar dan setapak demi setapak.

“Latar belakang saya adalah orang biasa. Saya bukan anak konglomerat. Makanya saya bersyukur sekali bisa melalui perjalanan di dunia sepak bola sampai sejauh ini. Tak ada pikiran untuk sampai di posisi puncak sebuah klub sepak bola seperti sekarang,” aku perempuan kelahiran 19 Juli 1983 ini.

Liana mengenyam pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi di dalam negeri. “Sekolah saya memang di swasta tapi semua dijalani di dalam negeri,” kata peraih gelar Sarjana Hukum (Bisnis) dan Magister Manajemen dari Universitas Tarumanegara Jakarta.

Kesukaan pada marketing dan periklanan menghantarkannya bergabung di Indonesian Basketball League (IBL). Namun keberadaannya di IBL tak lama, ia kemudian hijrah ke PSSI dan mengurusi bidang bisnis dan komunikasi. “Saya banyak belajar di IBL menangani sponsorship. Saat perhelatan Asian Games Jakarta – Palembang 2018 saya terlibat mengurusi branding. Bagaimana mem-branding kedua kota ini dari bandara sampai ke venue,” kata alumnus SMA Regina Pacis Bogor ini.

Saat Liana bisa masuk ke PSSI banyak yang curiga, dikira dia punya orang dalam. “Ada saja yang curiga, kok bisa masuk PSSI. Ada orang dalam dan KKN ya. Padahal enggak ada sama sekali. Murni berdasarkan kemampuan dan pengalaman saya,” kata Liana yang bergabung saat PSSI sempat dibekukan FIFA karena dualisme kepengurusan.

Baru tiga bulan bertugas di divisi komunikasi, Liana dipromosikan menjadi Manajer Brand dan Komunikasi Timnas PSSI sejak Agustus 2017. “Soalnya saya berhasil mendatangkan beberapa sponsor besar untuk Timnas. Saya dapat promosi dan saya terima tantangan itu,” katanya.

Sempat Trauma di PSSI

Perjalanan karied Liana Tasno untuk sampai ke pucuk pimpinan klub tak selalu mulus. Ia bahkan sempat trauma dan keluar dari dunia sepak bola karena trauma. (Foto: Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)

Perjalanan karier Liana Tasno di PSSI tak selamanya lancar. Bahkan ia sempat mengalami trauma. “Tahun 2019 PSSI diperiksa KPK dalam dugaan kasus pengaturan skor. Karena trauma berhadapan dengan proses hukum, saya akhirnya keluar dari PSSI. Saya menjauh dan mencoba peruntungan lain di luar sepak bola.”

Tawaran untuk kembali ke dunia sepak bola datang saat sebuah konsorsium menawarinya untuk bergabung dan mengurusi sisi bisnis sebuah klub bola. “Saya sempat menolak karena saya benar-benar trauma mengurusi sepak bola,” ungkapnya. “Kalau sepak bola, enggak dulu deh,” begitu dia menolak tawaran dari EMTEK.

Namun yang menawarinya tak kalah gesit. “Padahal saya sudah bersumpah tidak mau lagi berkiprah di dunia sepak bola. Eh ternyata saya makan sumpah saya sendiri. Saya diperlihatkan foto stadion Mandala Krida Yogyakarta. Saya lihat stadion dan lapangannya bagus. Saya mulai luluh,” katanya mengenang momen itu.

Liana kembali terngiang antusiasme penonton sepak bola. “Soal antusiasme penonton sepak bola, tak ada yang bisa mengalahkan. Akhirnya saya luluh dan menjadi Direktur Bisnis di PSIM. Dan selanjutnya saya dipercaya menjadi CEO sejak Juli 2023,” kata Liana yang sempat berkarier di bidang pameran olahraga setelah keluar dari PSSI.

Dipercaya menjadi CEO PSIM menuntut Liana Tasno mengetahui semua hal dalam manajemen sepak bola. “Semua hal yang berurusan dengan klub, perizinan, gaji karyawan dan pemain sampai manajemen, saya harus tahu dan harus dipertanggungjawabkan kepada investor,” katanya.

 

Tetap Berolahraga Meski Sibuk

Meski sibuk dengan target di PSIM, Liana Tasno tetap meluangkan waktu untuk berolahraga dan tentunya menjaga pola makan yang sehat. (Foto: Bambang Eros, DI: Raga Granada VOI)

Meski kesibukan menggunung, Liana Tasno tetap menyempatkan berolahraga. “Biasanya tiga kali dalam sepekan saya harus berolahraga, angkat beban dan sepeda atau lari,” katanya.

Sadar akan kesibukan yang tinggi, dia amat memperhatikan asupan makanan. “Tidak boleh kurang karena bisa menurunkan konsentrasi, dan juga tidak boleh berlebihan karena bisa repot kalau bobot sudah bertambah. Pokoknya asupan makanan harus cukup,” lanjutnya.

Liana bersyukur kini keadaan sudah berubah. Saat mengawali karier di PSSI, dia masih menggunakan kostum gratis-an dari sponsor yang masuk ke PSSI. Sekarang dia sudah bisa punya budget sendiri untuk busana, meski dia mengaku tak punya stylist pribadi untuk urusan penampilan. “Itu cita-cita saya, kalau dipercaya,” kata Liana.

Dia berharap kepada semua Laskar Mataram untuk selalu mendukung PSIM. “Membesarkan PSIM itu adalah tanggung jawab kita semua, bukan hanya manajemen saja. Kami meminta dukungan penuh dari semua pihak. Dukungan diperlukan di semua situasi. Saat terpuruk atau kalah, dukungan itu amat berpengaruh agar bisa bangkit,” tandas Liana Tasno.

>

Malang melintang di dunia olahraga membuat Liana bercita-cita menjadi seorang menteri yang menangani bidang olahraga. Dalam Kabinet Presiden Jokowi, kini Menteri Pemuda dan Olahraga. “Kalau jadi Menpora saya bisa bekerja sama dengan Menteri PUPR untuk membangun lapangan olahraga. Saya prihatin melihat kondisi sarana dan prasarana olahraga di daerah. Bagaimana atlet kita bisa berprestasi jika lapangan dan sarana pendukungnya tidak layak,” tandas Liana Tasno.

"Untuk semua penggemar bola, bukan hanya Laskar Mataram, kalau kalian mencintai klub sepak bola cintailah seperti kalian mencintai pasangan hidup kalian. Susah dan senang didukung, jangan saat menang saja memberikan dukungan. Dukungan itu amat penting untuk klub dan pemain, terutama ketika sedang terpuruk,"

Liana Tasno