Eksklusif: Jimly Asshiddiqie, Setelah MK Tiadakan Ambang Batas Parlemen, Berikutnya Ambang Batas Presiden

Banyak pihak menyambut baik keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan penurunan ambang batas parlemen dari 4% menjadi 0%. Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, SH., MH., menyambut hal ini dengan positif. Menurut dia, selanjutnya MK harus menurunkan ambang batas presiden dari 20% menjadi 0%. Akan banyak calon presiden alternatif muncul saat ambang batas diturunkan.

***

Penerapan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) pasca reformasi mulai diberlakukan pasca pemilu 2009. Saat itu, ambang batas parlemen ditetapkan 2,5% suara sah nasional. Pada pemilu 2004, prosentase itu naik menjadi 3,5%, dan pada pemilu 2019 mencapai puncaknya menjadi 4%. Salah satu tujuan ambang batas parlemen ini ingin menyederhanakan jumlah parpol yang masuk ke DPR RI, namun di saat bersamaan membuat banyak suara sah pemilu yang tak terpakai alias mubazir.

Karena itulah banyak pihak yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi soal ambang batas parlemen ini. Dan belum lama ini MK mengabulkan uji materi soal ambang batas parlemen menjadi 0%. Banyak pihak yang menyambut baik keputusan ini, termasuk Jimly Asshiddiqie Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI).

Selanjutnya, kata dia, ambang batas presiden alias presidential threshold juga mesti diturunkan. “Mudah-mudahan Hakim MK belajar dari kasus ini. Ambang batas parlemen sudah diputuskan. Kita menunggu ambang batas presiden juga diturunkan. Sebaiknya kalau ada pengujian dikabulkan saja. Biar MK tak dinilai inkonsistensi,” katanya.

Dengan dinolkan ambang batas presiden, lanjut dia, akan banyak calon presiden yang muncul. “Tak hanya didominasi oleh parpol tertentu dan suku tertentu. Selama ini yang paling sering menjadi presiden adalah orang Jawa. Berikutnya bisa Sunda, dan suku lain. Setelah itu orang Palembang, hehehe. Kepada orang Papua, saya bilang Anda juga punya hak untuk menjadi capres,” ujar Jimly yang belum lama ini mendapat undangan sebagai pemantau pilpres Rusia.

Kepada Edy Suherli, Bambang Eros, dan Irfan Medianto dari VOI yang menyambangi Jimly Asshiddiqie di kediamannya di bilangan Pondok Labu Jakarta Selatan belum lama ini, ia juga bicara soal dinamika pilpres dan pileg 2024, hak angket, etika politik bernegara, dan soal politik dinasti.

Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara  Jimly Asshiddiqie, seyogyanya ada demokrasi di internal parpol, baru bicara demokrasi di ruang lingkup kenegaraan. (Foto Bambang Eros, DI Raga Granada VOI)

Bagaimana Anda melihat proses pemilu 2024 ini?

Alhamdulillah pemilu kita kali ini lancar. Memang ada ketegangan sebelum pencoblosan dan pasca pencoblosan pun ada juga ketegangan saat penghitungan, baik hitung cepat  maupun hitung manual yang masih berlangsung. Saat pilpres 2019 diwarnai politik identitas, sekarang situasinya relatif cair. Ketika itu salah satu calonnya adalah petahana (Jokowi). Tahun 2019 juga menurut saya lebih rumit, ada 894 orang petugas KPPS yang gugur.

Sekarang presidennya tak maju dan tak juga kampanye meski dia dibolehkan. Di Amerika sama juga Barack Obama berkampanye  mendukung Hillary Clinton dari partai Demokrat. Pada pemilu kali ini ada dua isu yang amat seru dan paling banyak dibahas, soal etika bernegara dan pejabat publik serta politik dinasti. Dalam sejarah belum pernah dibahas dengan segala kemarahan dan emosi seperti sekarang. Ada yang menuduh orang lain tak beretika, dia tak sadar ketika menuduh tiga jarinya mengarah ke dirinya sendiri.

Soal politik dinasti ini menarik, mengapa banyak sekali yang memberikan perhatian?

Saat ini hampir semua partai politik menerapkan politik dinasti. Ada yang membela diri, politik dinasti harus dipisahkan antara di parpol dan negara. Padahal salah satu pilar demokrasi itu parpol. Maka ada yang namanya  eksternal demokrasi dan internal demokrasi. Kalau parpol mau dibilang demokratis harus ada demokrasi di internal parpol. Bapaknya yang jadi ketua parpol digantikan oleh anaknya, apakah itu bukan praktik politik dinasti? Kalau di lingkungan parpol tidak ada demokrasi, tak usah bicara demokrasi dalam ruang lingkup yang lebih luas; kenegaraan.

Jokowi dalam konteks dinasti politik ini dipersepsikan melakukan politik dinasti. Dia dituding merancang anaknya untuk maju dalam pilpres. Mendudukkan anaknya menjadi ketum parpol (PSI), anaknya serta juga menantunya menjadi Walikota. Orang bertambah marah karena dugaan praktik dinasti politik yang dilakukan Presiden Jokowi.

Soal etika dalam berpolitik apakah kita sudah punya?

Seperti yang saya katakan tadi, tidak pernah ada orang begitu marah pada persoalan politik dinasti dan etika berpolitik di negeri ini. Sudah 10 tahun terakhir saya menjadi promotor (untuk mahasiswa yang menempuh jenjang doktor). Saya juga sudah membuat buku soal pentingnya  rule of ethics, etika dalam berbangsa dan bernegara, serta rule of law. Dalam beberapa buku, saya tegaskan bahwa Pancasila dan UUD kita bukan hanya supreme sourse of law tapi juga supreme sourse of ethics.  Jadi keduanya adalah sumber dari segala sumber norma; etika dan hukum.

Jadi sekarang ini menurut saya kita punya momentum untuk pembenahan ke depan, dalam memoderninasi budaya politik dan penataan sistem etika berbangsa dan bernegara. Ini menjabarkan Pancasila dan UUD 1995 dan Tap MPR No 6/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Tidak perlu saling menyalahkan, koreksi diri saja. Ada banyak yang emosi, ada profesor, mantan jenderal, mantan menteri, para pakar, wartawan senior dan sebagainya.

Menghadapi fenomena seperti ini bagaimana kita bersikap?

Kita amati dan nikmati saja, jangan ikut terbawa arus perasaan dan emosi. Ini seperti orang main catur, mereka yang main kita tak perlu emosi. Kata anak sekarang jangan baper (bawa perasaan). Saran saya kita terima hasil pemilu kali ini terlepas dari plus dan minus yang ada.

Jimly Asshiddiqie menegaskan pentingnya aturan etik disamping aturan hukum. (Foto Bambang Eros, DI Raga Granada VOI)

Tidak semua pihak bisa langsung menerima, ada parpol yang akan menggunakan hak angket menyoal dugaan pelanggaran pemilu?

Silahkan kalau ada yang mau seperti itu. Jadi kekecewaan dan ketidakpuasannya tersalurkan. Nanti dibagi dua saja, ada yang menggunakan hak angket, dan ada yang melalui jalur MK. Tadi yang menentukan itu di MK, yang menang bisa ditetapkan jadi pemenang dan yang kalah bisa jadi pemenang. Kalau di DPR (lewat hak angket) hanya tekanan politik saja. Di DPR tidak bisa mengubah hasil pemilu yang menang jadi kalah dan yang kalah jadi menang. Dalam konteks pemilu hakim tertinggi itu di TPS.

Sekarang yang ribut ini pihak yang kalah, dan beberapa anggota DPR yang tidak terpilih lagi periode berikutnya, ada kepentingan pribadi di sini. Yang menang 58% diam. Jadi hak angket ini legal dan itu haknya DPR, silahkan digunakan tidak perlu dihalangi.

Jadi hak angket soal pemilu yang akan digulirkan anggota DPR tidak bisa memengaruhi hasil pemilu?

Tidak bisa. Ujung dari hak angket itu penegakan hukum. Kalau ada yang melanggar dalam pelaksanaan pemilu diproses secara hukum. Hukumannya apa nanti pengadilan yang akan memutuskan. Yang diduga melanggar pidana pemilu bisa dipanggil panitia hak angket, termasuk presiden. Misalnya menurut mereka presiden melanggar, dilihat dulu apa pelanggarannya. Untuk presiden ada 4 kriteria pelanggaran yang bisa dijadikan alat untuk pemakzulan; satu berkhianat pada negara. Dua, menerima suap. Ketiga; korupsi. Dan keempat melakukan tindak pidana berat lainnya yang ancamannya di atas lima tahun.

Kalau panitia bisa membuktikan Jokowi bersalah, maka ada proses hukum. Kalau dia masih menjabat sebagai presiden, mekanismenya pemakzulan. Tapi kalau sudah tak lagi menjadi presiden yang berlaku pidana umum. Hasil angket itu dilanjutkan dengan pernyataan pendapat dari fraksi-fraksi. Lalu diajukan ke MK untuk pembuktikan. Setelah itu baru dibawa DPR ke MPR. Proses ini bisa setahun lebih, sedangkan sisa masa jabatan Jokowi tinggal tujuh bulan. Jadi pemakzulan itu tidak mungkin bisa terjadi, waktunya tak cukup.

Apakah Anda melihat anggota DPR dan fraksi yang ada serius menggunakan hak angket kali ini?

Sikap PDIP ada dua yang saya catat. Ketum PDIP Megawati mempersilahkan pergunakan hak angket tapi jangan sampai ke pemakzulan. Ini sudah arahan yang jelas sekali. Jadi fokus pada dugaan pelanggaran pemilu. Pernyataan dari Djarot Saiful Hidayat soal angket tidak ada arahan dari partai, semua diserahkan kepada kreativitas anggota PDIP di DPR RI. Jadi PDIP tidak terlalu bersemangat. Lagi pula kalau ada pasca angket, perubahan yang paling diuntungkan paslon 01, mengapa paslon 03 harus besemangat. Jadi ini nanti hanya sebatas angket, itu harus dilihat cukup suara atau tidak untuk terus lanjut ke inisiatif dan ke paripurna. Selain itu angket ini hanya untuk menyelidiki dan mengungkap fakta saja. Ujungnya penegakan hukum.

Sebenarnya daripada repot-repot urus hak angket, lebih konkrit mengurus perkara di Bawaslu kalau ada dugaan pidana pemilu, diproses di pengadilan negeri. Bahkan kalau ada anggota TNI yang melakukan pelanggaran pidana pemilu diadili pengadilan militer. Kalau menyangkut soal proses pemilu diadili di Bawaslu, sebagai pengadilan semu. Dia bisa memutuskan siapa yang melanggar. Jika tidak puas bisa dibawa ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, tidak sampai ke MA. Soal hasil pemilu dan pilpres diadili di MK. Siapkan saja bukti yang cukup.

Saat DPR masih wacanakan hak angket, DPD sudah meresmikan pansus dugaan pelanggaran pemilu, apakah DPD punya hak untuk menyelidiki seperti halnya DPR lewat hak angket?

DPD punya kewenangan dalam hal pemerintahan daerah, urusan yang ada kaitan dengan pemerintah daerah. Tapi bisa saja diperluas, karena banyak anggota DPD yang tidak terpilih lagi. Mereka punya kepentingan juga, keputusannya tidak mengikat dan memaksa, hanya mendukung hak angket DPR. Tapi kalau ditanya  boleh atau tidak ya boleh, anggota DPD mau mengekspresikan pendapatnya, menyalurkan aspirasi konstituennya.

Dugaan kecurangan pemilu sudah dikemukakan beberapa pihak, yang paling menyita perhatian film dokumenter Dirty Vote, bagaimana Anda melihat realitas ini?

Para pakar yang mengemukakan pendapat saya pikir bagus agar publik tidak didominasi oleh satu pendapat saja. Jadi cara berpikir publik tidak hegemonik dengan banyak ragam penafsiran dan pendapat. Itu tidak bisa diklaim sebagai kebenaran. Untuk keputusan bernegara yang mengikat adalah hasil atau putusan MK. Pendapat perorangan tidak berlaku meski dia profesor. Film dokumentar Dirty Vote sama juga, ini adalah Dirty Propaganda, dan Dirty Mind. Apa yang dilakukan adalah propaganda. Mereka barisan 04, atau asal bukan  02. Yang mereka lakukan lewat Dirty Vote ini kampanye, menyudutkan paslon 02. Hal serupa dilakukan oleh para guru besar yang ramai-ramai menyatakan sikap. Sebenarnya itu bisa disoal, karena aturan di UU-nya tegas dilarang berkampanye menggunakan sarana pendidikan dan rumah ibadah.

Dalam ilmu sosial dan politik itu tidak ada yang objektif, yang ada inter subyektifitas. Yang objektif hanya ilmu alam atau eksakta. Jadi tak perlu mengklaim dirinya paling benar dalam dunia politik.

Kalau ditemukan pelanggaran misalnya di TPS tertentu, apakah bisa memengaruhi hasil pemilu?

Berapa jumlahnya, kalau hanya 1 persen tidak bisa menggugurkan hasil pemilu. Saat pilkada di Depok 2005, Badrul Kamal (Golkar) bersaing dengan Nur Mahmudi (PKS). Karena tidak terima kalah, Badrun mencari bukti dugaan pelanggaran. Dia menemukan ada 15 TPS yang melanggar. Tapi itu tak bisa mengugurkan kemenangan Nur Mahmudi yang suaranya jauh lebih besar. Jadi kecurangan di satu TPS tak bisa menjeneralisir seluruh TPS. Begitu juga dengan pilpres dan pileg sekarang, kalau terbukti ada pelanggaran, tak bisa menjeneralsir hasil seluruh pemilu.

Kecurangan atau pelanggaran itu terjadi antarpartai yang  menggunakan “tangan” penyelenggara pemilu, dan internal partai; calon nomor urut pertama kasak-kusuk ketika perolehan suaranya lebih banyak dari nomor urut 3 atau 5. Di DPD juga kasak-kusuk antara peserta dengan penyelenggara pemilu. Masif iya, kalau terstruktur dan sistematis dan apalagi dikendalikan oleh presiden itu tidak mungkin. Ini terjadi persepsi, akibat  anak Jokowi maju Cawapres. Negara kita ini luas sekali. Yang terbukti TSM itu pernah di sebuah daerah, MK pernah memutuskan yang menang jadi kalah karena terbukti TSM.

Dengan membuat putusan ambang batas parlemen dari 4% menjadi 0% namun di sisi lain tak mengubah putusan soal ambang batas presiden 20%, MK dinilai inkonsistensi, apa ulasan Anda soal ini? 

Mudah-mudahan Hakim MK belajar dari kasus ini. Ambang batas parlemen sudah diputuskan. Kita menunggu ambang batas presiden juga diubah. Sebaiknya kalau ada pengujian dikabulkan saja. Biar MK tak dinilai inkonsistensi. Dengan dinolkan ambang batas presiden, akan banyak calon presiden yang muncul. Tak hanya didominasi oleh parpol tertentu dan suku tertentu. Selama ini yang paling sering jadi presiden orang Jawa.  Berikutnya bisa Sunda, dan suku lain. Setelah itu orang Palembang, hehehe. Kepada orang Papua saya bilang Anda juga punya hak untuk jadi capres.

Belum lama ini saya diundang jadi pemantau pilpres Rusia. Yang mendaftar ada 30 calon. Setelah diseleksi KPU sana, yang lolos 8 orang. Saat pilpres Vladimir Putin terpilih dengan suara 76%. Artinya kalau seorang tokoh populer dan dikehendaki rakyat akan terpilih juga, tanpa harus menghalangi calon lain untuk maju di kancah pilpres. Jadi sudah tepat kalau ambang batas presiden dinolkan juga.

Jimly Asshiddiqie Tak Sengaja Jadi Pakar Hukum, Cita-citanya Diplomat atau Presiden

Meski tidak bercita-cita menjadi pakar hukum, Jimly Asshiddiqie konsisten hingga meraih gelar Guru Besar dalam bidang Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia. (Foto Bambang Eros, DI Raga Granada VOI)

Boleh saja seorang punya cita-cita di masa kecil dan remaja. Namun tak perlu kecewa saat di tengah jalan tak bisa dicapai. Itulah yang dialami Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, SH., MH., Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia (UI). Mulanya ia ingin menjadi diplomat dan presiden. Namun kesempatan yang ada membuat dia kuliah di Fakultas Hukum UI pada tahun 1977-1982. Seterusnya ia menekuni bidang hukum.

Ia tak bersedih meski cita-cita menjadi seorang diplomat atau presiden belum juga tercapai. “Terus terang saya tidak punya cita-cita menjadi seorang pakar hukum dan juga Guru Besar Hukum Tata Negara. Namun saya mensyukuri apa yang sudah  saya raih sekarang,” kata Jimly yang tahun 2023 dikukuhkan menjadi Guru Besar di Fakults Hukum Universitas Merbourne, Australia.

Ia menamatkan sekolah di Madrasah Aliyah di kota Palembang. “Sejak kecil saya rajin korespondensi dengan Radio dan Televisi asing seperti BBC, CNBC dan juga Kedutaan Asing. Setiap pekan saya dapat kiriman buku atau buletin dari media dan kedutaan. Dari situ saya bercita-cita menjadi diplomat,” ungkap pria kelahiran Palembang, 7 April 1956.

Selama di Palembang, ia rajin menemani turis yang datang ke kotanya. “Saya belajar bahasa Inggris itu sambil praktik saat bertemu turis. Akhirnya saya sampai lancar berbahasa Inggris,” kata anggota DPD RI asal Jakarta periode 2019-2024.

Setelah itu baru dia ikut kursus di Shailendra Institute Palembang. “Saya masuk kelas advance. Karena dianggap bagus saya kemudian menjadi pengajar di sana tahun 1972 sampai 1974. Saat itu Anwar Fuady juga menjadi pengajar. Murid saya antara lain Tantowi Yahya, Helmy Yahya dan lain-lain,” kata Jimly yang juga sempat mengajar di salah satu SMP di kota Palembang.

Hijrah ke Jakarta

Ada kita yang dikemukakan Jimly Asshiddiqie dalam melihat perseteruan politik saat ini, jangan baper alias bawa perasaan. (Foto Bambang Eros, DI Raga Granada VOI)

Untuk menggapai cita-cita hal yang dilakukan Jimly Asshiddiqie adalah hijrah ke Jakarta tahun 1974. Ia bekerja di salah satu kedutaan asing di Jakarta sebagai penerjemah. Selain itu dengan keahliannya dia juga mengajar privat bahasa Inggris dari rumah ke rumah.

“Saya lalu cari kampus untuk kuliah. Karena saya bekerja pilihannya ya kelas ekstensi atau kelas sore. Saat itu alumni madrasah seperti saya bisa memilih di IAIN atau UI, saya pilih UI. Yang tersedia saat itu Fakultas Hukum, untuk Fakultas Ekonomi harus level bachelor. Ya sudah meski bukan cita-cita, saya ikut tes. Alhamdulillah lulus di antara ribuan yang ikut,” ujar mantan Ketua MK yang kini menjabat sebagai Ketua MKMK.

Karena kepandaiannya saat tingkat akhir kuliah dia diangkat menjadi asisten dosen di kampusnya, mengajar mata kuliah Studia Islamika. “Untuk anak kelas sore alias ansor, salah satu yang diangkat jadi asisten dosen saya. Kelas pagi itu Yusril Ihza Mahendra juga jadi asisten dosen. Saya kebagian mengajar di Fakultas Ekonomi. Suatu hari saat bertemu Menteri Keuangan Sri Mulyani, dia bilang dulu pernah ikut kuliah saya. Saya enggak tahu kalau dia tak mengingatkan, hehehe,” ungkap Ketua Badan Pembina Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar, Jakarta ini.

Baca dan Baca

Kiat sukses dari Jimly Asshiddiqie adalah membaca buku teks dan juga membaca realitas kehidupan. Saat keduanya dipadukan akan membuat berhasil melakoni kehidupan. (Foto Bambang Eros, DI Raga Granada VOI)

Kepada anak muda ia menyarankan untuk rajin berolahraga. “Saya baru merasakan sekarang, karena selama ini kurang olahraga. Sekarang saya harus memaksa diri untuk jalan pagi sekitar 6 ribu langkah. Saya ini casing-nya saja bagus, dalamnya banyak penyakit,” kata Jimly yang pernah menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia (Wantimpres RI) Bidang Hukum dan Ketatanegaraan, 2009-2010.

Selain itu harus akrab dengan bacaan. “Membaca buku teks dan membaca kehidupaan sekitar kita. Amati dan jadikan bacaan apa yang ada di sekitar. Kombinasi keduanya akan membuat kita berhasil menjalani kehidupan,” ungkap Jimly yang rajin menulis buku, kini sudah 68 buku yang ia tulis.

>

Selain itu integritas juga harus dibangun. “Kita harus selalu menjaga dan meningkatkan iman dan taqwa. Rajin membaca al Quran sebagai teks dan sunnatullah sebagai ayat kehidupan. Penguasaan iptek yang bagus, diimbangi dengan imtak. Jadi hidup kita akan seimbang. Ini akan menjaga integritas kita,” tandas Jimly Asshiddiqie yang juga pendiri ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia).

"Saat ini hampir semua partai politik menerapkan politik dinasti. Ada yang membela diri, politik dinasti harus dipisahkan antara di parpol dan negara. Padahal salah satu pilar demokrasi itu  ya parpol. Maka ada yang namanya  eksternal demokrasi dan internal demokrasi. Kalau parpol mau dibilang demokratis harus ada demokrasi di internal parpol. Bapaknya yang jadi ketua parpol digantikan oleh anaknya, apakah itu bukan praktik politik dinasti? Kalau di lingkungan parpol tidak ada demokrasi, tak usah bicara demokrasi dalam ruang lingkup yang lebih luas; kenegaraan,"

Jimly Asshiddiqie