Dua Mata Pedang Pinjol di Indonesia
JAKARTA – “Hari ini jatuh tempo pembayaran utang Anda. Jika tidak segera bayar, kami akan langsung lakukan penagihan ke rumah dan kantor Anda. Kami juga akan sebar foto dan data Anda ke kontak telepon dan sosial media. Jangan salahkan kami jika Anda malu dan dihina.”
Itulah salah satu contoh pesan singkat yang dikirimkan penagih utang alias debt collector perusahaan teknologi finansial peer-to-peer lending (tekfin P2P lending) atau yang masyarakat kenal dengan pinjaman online (pinjol).
Memang, tidak semua penagih utang pinjol mengirimkan pesan seperti itu. Biasanya, pesan semacam itu dikirimkan oleh penagih utang dari pinjol ilegal atau perusahaan pinjol yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Pengalaman buruk dengan pinjol ilegal pernah dialami Iskandar Sahputra. Pria 45 tahun yang berdomisili di Tebet, Jakarta Selatan itu merasa malu lantaran tagihan melalui pesan singkat itu bukan hanya dikirimkan ke nomor pribadinya, tetapi juga menyasar ke nomor telepon tetangga.
“Kalau dibilang malu ya tentu malu. Tetangga saya yang tidak tahu menahu tiba-tiba juga mendapat pesan singkat untuk mengingatkan saya membayar tagihan. Ya ada sekitar empat sampai lima orang tetangga yang dikirim pesan,” ujarnya saat ditemui VOI, Sabtu 13 Januari.
Iskandar mengaku terpaksa berurusan dengan pinjol ilegal karena saat itu membutuhkan uang, sementara di saat bersamaan baru di PHK tempatnya bekerja. Selain itu, dia juga tergiur dengan persyaratan mudah yang ditawarkan pinjol illegal tersebut.
“Ya kapok lah sekarang (pinjam di pinjol ilegal). Pinjam duitnya ngga seberapa, tapi malunya bisa berminggu-minggu,” tuturnya sambil tertawa.
Tapi, apakah kasus seperti Iskandar Sahputra hanya dialami jika meminjam dari pinjol ilegal? Beberapa waktu lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan peminjam dari pinjol resmi (terdaftar di OJK) bunuh diri diduga usai diteror penagih utang.
Kasus tersebut viral di media sosial, baik Instagram maupun X. Terduga korban disebut meminjam uang sebesar Rp9,4 juta. Namun, ia diduga harus mengembalikan sekitar Rp18 juta-Rp19 juta imbas tingginya biaya administrasi.
Teror pun masuk dari DC yang diduga terafiliasi dengan perusahaan pinjol tersebut. OJK lantas turun tangan memanggil jajaran petinggi perusahaan pinjol untuk mengklarifikasi dugaan kasus bunuh diri tersebut. Hasilnya, meski mengaku prihatin atas hilangnya satu nyawa yang diduga peminjamnya, perusahaan pinjol itu mengaku tidak menemukan hubungan perusahaan dengan DC yang meneror korban.
Dua Wajah Pinjol
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unair, Zahrin Haznina Qalby mengungkapkan bahwa pinjol berhasil menarik perhatian publik dengan cepat karena dapat memungkinkan pemberian pinjaman kepada siapapun dengan syarat yang jauh lebih mudah dibandingkan bank dan proses yang jauh lebih sederhana melalui aplikasi.
Menurut dia, di satu sisi pinjol memang membawa dampak positif berupa peningkatan inklusi keuangan yang menjadi salah satu target utama pemerintah, serta peningkatan kontribusi sektor keuangan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Disisi lain, pinjol juga membawa berbagai dampak negatif, sampai memunculkan mosi penghapusan pinjol dari berbagai pihak.
Selain itu, kesulitan pengembangan bisnis yang relatif rendah, membuat pinjol ilegal yang tidak terdaftar dan berizin di OJK semakin menjamur. Pinjol ilegal berjalan tanpa mengikuti regulasi yang ada, dengan penerapan bunga mencekik, sistem penagihan disertai ancaman dan kekerasan, serta berujung pada tidak sedikitnya konsumen yang tertekan hingga bunuh diri.
“Ironisnya, kasus serupa tidak hanya ditemukan pada pinjol ilegal, namun juga yang legal. Baru-baru ini didapati juga kasus bunuh diri dari salah satu pengguna pinjol legal, namun diduga tetap melakukan berbagai praktik yang melanggar ketentuan, yang membuatnya tidak jauh berbeda dengan yang ilegal,” ungkapnya.
Berbagai kasus terkait dengan pinjol pun memicu pertanyaan apakah pinjol harus dipertahankan atau dihapuskan dari Indonesia? Zahrin menjelaskan, selama ini pemerintah cenderung mendukung pengembangan Fintech, termasuk pinjol, karena dianggap mampu menjadi penggerak roda ekonomi dan dapat bersesuaian dengan roadmap revolusi industri 4.0.
Jika dilihat dari perspektif positif, pinjol memang juga dapat memberikan berbagai manfaat dan mengisi gap yang belum bisa dicapai dengan mengandalkan pada lembaga keuangan lainnya. Seperti misalnya terkait pembukaan akses kredit untuk UMKM yang sering kali tidak memenuhi persyaratan pengajuan kredit perbankan.
Meski demikian, berbagai fenomena yang terjadi dan membuat persepsi publik menjadi cenderung negatif terhadap pinjol menjadi bukti nyata bahwa hal ini merupakan isu yang serius dan tentunya juga tidak dapat diabaikan. Penegakan regulasi yang ada terkait pinjol masih jauh dari sempurna.
“Namun isu lainnya yang membuat dampak negatif dari pinjol semakin teramplifikasi adalah rendahnya literasi keuangan dari masyarakat kita sendiri,” sambungnya.
Berdasarkan Survey Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan oleh OJK, literasi keuangan di tahun 2022 mencapai 49,68 peresn yang telah meningkat dibandingkan tahun 2019 yang hanya di level 38,03 persen. Namun demikian, walaupun mengalami peningkatan, angka tersebut masih relatif rendah jika dibandingkan dengan tingkat inklusi keuangan sendiri yang telah mencapai 85,10 persen di tahun 2022.
Tingkat literasi keuangan ini lebih rendah lagi dalam kaitannya dengan Fintech. Berdasarkan data SNLIK, literasi keuangan mengenai Fintech hanya sebesar 0,34 persen di tahun 2019 dan meningkat menjadi 10,90 persen di tahun 2022.
“Sekali lagi, walaupun terdapat peningkatan, namun tingkat literasi keuangan mengenai Fintech tersebut masih sangat kecil bahkan jika dibandingkan dengan rata-rata tingkat literasi keuangan nasional sendiri,” kata Zahrin.
Dia menyatakan, sekalipun memang pinjol dapat memberi dampak positif jika digunakan dengan bijak, tapi rendahnya tingkat literasi keuangan terkait Fintech, termasuk pinjol didalamnya, mengindikasikan bahwa masyarakat tidak benar-benar memahami bagaimana layanan pinjol bekerja.
Hal ini yang kemudian membawa pada diambilnya berbagai keputusan keuangan yang tidak tepat dari banyak masyarakat yang selanjutnya berakhir menjadi korban, baik dari pinjol ilegal ataupun legal. Karena itu, pemerintah perlu melakukan penguatan penegakan regulasi yang ada dan yang lebih krusial adalah peningkatan literasi keuangan dari masyarakat kita.
“Hal ini dapat dimulai dengan memahami perbedaan antara pinjol legal dan ilegal, memahami cara kerja dan bunga yang diterapkan, membaca dengan seksama syarat dan Ketentuan yang berlaku, dan lebih berhati-hati dengan data pribadi kita. Bukan untuk kita menjadi antipati terhadap pinjol sepenuhnya, namun agar kita dapat menjadi lebih bijak dalam menyikapi semuanya. Dengan demikian, kita dapat tetap mempertahankan dampak positif dari pinjol, namun dengan menekan dampak negatif yang bisa muncul,” terang Zahrin.
VOIR éGALEMENT:
Tips Bebas dari Pinjol
Lantas bagaimana bila seseorang seperti Iskandar Sahputra terlanjur terlilit utang pinjol? Pakar ekonomi Unair, Wisnu Wibowo mengungkapkan bahwa ada beberapa hal yang bisa dilakukan jika terlilit utang pinjol.
Pertama, disarankan agar utang tersebut segera dilunasi. Sebab, jika tak segera dilunasi, para penagih utang akan melakukan segala cara. Misalnya melontarkan ancaman dan makian hingga menyebarkan info pribadi ke kontak dan keluarga.
“Sekarang kalau misalnya sudah terlanjur karena literasi keuangannya rendah, karena gaya hidup atau konsumsinya yang kurang terkontrol. Kalau sudah terjebak begitu ada beberapa solusinya. Satu, pinjaman online itu harus segera dilunasi. Minimal harus meminta restrukturisasi,” ujar Wisnu.
“Karena semakin dianggap tidak memberikan komitmen, maka itu akan mengambil data pribadi nasabah, bisa dibuat grup kemudian di dalamnya dimaki-maki nggak karuan, kadang nggak setara dengan pinjamannya yang nggak seberapa,” sambungnya.
Bagaimana bila belum memiliki uang untuk melunasi? Wisnu menyarankan agar berutang ke tempat lain yang memiliki bunga lunak. Namun, dia menegaskan jangan sampai gali lubang tutup lubang, dengan utang lagi ke finansial teknologi atau fintek lain.
“Yang paling rasional itu ya harus dilunasi. Tapi nggak punya uang? Apa yang harus dilakukan? Bisa mencari pinjaman dengan bunga lunak. Bisa misalnya dari koperasi dari kantor, atau lembaga perbankan. Selain itu, ada pinjaman tanpa bunga. Misalnya dari saudara dekat,” tuturnya.
Selain itu, para nasabah yang terlilit utang juga bisa merelakan menjual aset seperti emas atau barang berharga lain. “Jika pinjaman tidak tersedia, ya mau tidak mau, akhirnya kita harus mengorbankan aset atau yang kira-kira bisa digunakan untuk menutup pinjaman. Tragis memang karena menuntut pengorbanan yang lebih besar. Tapi itu risiko dari pinjol jika kita tidak cermat,” tutup Wisnu.
Anggota Komisi Keuangan DPR RI, Willy Aditya mendorong OJK memperketat pengawasan dan pemblokiran terhadap aktivitas pinjol ilegal yang masih meresahkan masyarakat. Dia menilai, meningkatnya masalah sosial terkait pinjol disebabkan pemerintah belum maksimal dalam memperketat penegakan aturan hukum terhadap penyelenggara pinjol.
Dia mendorong adanya revolusi digital perbankan untuk mengatasi fenomena ini. Keamanan, privasi dan keterpercayaan harus menjadi kunci kebijakan digitalisasi keuangan dan perbankan. Di samping itu, aturan hukum yang melindungi nasabah juga perlu diperkuat bersamaan dengan penguatan usaha keuangan digital.
“Dengan adanya revolusi digital, mau tidak mau harus ada blue print dan white print yang tegas tentang jaminan perlindungan nasabah khususnya terkait dengan pinjol yang harus diperhatikan pemerintah,” kata Willy.