JAKARTA - Pemilihan kandidat Pilpres 2024 memberikan efek domino pada partai politik pengusung. Hal itu telah dirasakan sejumlah parpol dalam pesta demokrasi terdahulu ketika melibatkan sosok berpengaruh.
Lantas, apakah efek serupa dirasakan NasDem yang baru mengumumkan mengusung Anies Baswedan dan PSI yang baru mendeklarasikan mendukung penuh Ganjar Pranowo?
Menurut Direktur Eksekutif Nusantara Institute PolCom SRC, Andriadi Achmad, pemilihan kandidat dalam pilpres memang sangat mempengaruhi elektabilitas partai pengusung.
Bahkan sosok yang diusung bisa menjadi magnet yang dapat mendongkrak suara partai pendukung saat pemilihan legislatif atau pileg.
Andriadi menjelaskan, efek ekor jas atau coat-tail effect seperti itu pernah dialami Partai Demokrat saat menghadapi Pemilu 2004 dan 2009. Ketika itu, Partai Demokrat mengusung Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY sebagai capres yang memiliki tingkat keterpilihan mumpuni sehingga berpengaruh pada suara partai berlambang bintang mercy tersebut dalam Pileg 2004 dan 2009.
Partai NasDem pun merasakan hal yang sama saat menjagokan Joko Widodo dalam Pemilu 2014 dan 2019. Suara NasDem sebagai parpol baru melesat hingga lolos parlemen threshold 4 persen pada 2014. Hasil positif juga diraih NasDem pada 2019 dengan meraup suara sebesar 9,05 persen atau berada di posisi 5 besar.
"PDIP dan NasDem secara langsung mendapat efek ekor jas dari mencapreskan Jokowi, bahkan terpilih sebagai Presiden RI 2014-2019 dan 2019-2024," ujar Andriadi kepada VOI, Selasa, 4 Oktober.
Dari fenomena politik itu, Andriadi menyampaikan sudah terpaparkan dengan jelas efek ekor jas berpengaruh pada partai pengusung agar dapat melenggangkan kadernya masuk ke DPR.
"Maka menjadi catatan penting bagi partai politik bahwa mengusung capres potensial dan kuat akan berdampak pada perolehan elektoral di Pileg," tuturnya.
Hitung-hitungan politik
Andriadi menganggap momen pengumuman NasDem mengusung Anies dan PSI mendeklarasikan Ganjar juga tak dapat dilepaskan dalam hitung-hitungan politik memperkuat efek ekor jas. Sebagaimana diketahui, Ganjar dan Anies masuk daftar tiga kandidat capres potensial 2024, bersama Prabowo Subianto.
Anies, kata Andriadi, akan lengser sebagai Gubernur DKI Jakarta pada pertengahan Oktober 2022. Maka dari itu NasDem ngebut mengumumkan namanya agar dapat menyusun strategi dan langsung diterapkan ketika Anies tak lagi memimpin DKI.
"Tentu aktifitas ABW (Anies Baswedan) akan intens turun ke penjuru nusantara menyapa masyarakat bersama NasDem. Momentum ini secara tidak langsung semakin memperkuat dan menambah basis massa Partai NasDem, terlebih dari kelompok Islam yang selama ini pendukung ABW," ujarnya.
"Citra positif ABW selama memimpin DKI Jakarta dari 2017 sampai 2022, setidaknya akan berdampak besar ke partai NasDem," sambung Andriadi.
Sedangkan Ganjar diusung PSI agar partai yang diketuai Giring Ganesha itu mendapatkan efek ekor jas maksimal sebelum Pilpres 2024. Target PSI pun tak main-main tembus parliamentary threshold maka sudah jauh hari mengumumkan Ganjar yang merupakan kandidat capres dengan elektabilitas tinggi menurut banyak lembaga survei.
"Harapan PSI tentu dengan mendeklarasikan GP. Setidaknya kalau GP menjadi salah satu Capres 2024 dan menang bisa membawa efek ekor jas minimal PSI lolos parliamentary threshold 4 persen," kata Andriadi.
Berkoalisi
Namun, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia itu menilai efek ekor jas Anies terhadap NasDem dan Ganjar terhadap PSI akan menjadi sia-sia jika presidential treshold 20 persen tidak terpenuhi.
Untuk itu, NasDem maupun PSI harus bekerja keras dan segera menggaet kawan koalisi yang sama-sama ingin mencalonkan Anies dan Ganjar demi terpenuhinya presidential treshold.
"Persoalannya, bagaimana NasDem dan PSI kerja keras agar bisa menggaet parpol lain dalam koalisi mengusung Anies Baswedan atau Ganjar Pranowo dengan persyaratan presidential threshold minimal 20 persen?" kata Andriadi.
NasDem menjadi partai yang sedikit lebih beruntung. NasDem telah membangun komunikasi intens dengan Demokrat dan PKS untuk membentuk koalisi yang jika digabungkan memenuhi presidential threshold 20 persen.
Namun, berbeda hal dengan PSI. Selama ini, PSI terlihat masih main aman melihat dinamika politik tanpa pendekatan yang mengarah kepada poros tertentu. Maka dari itu PSI masih harus membangun komunikasi dengan parpol lain untuk bergabung dengan koalisi yang ada atau membentuk poros baru.
"Belum terlihat (komunikasi dengan parpol)," pungkasnya.
SEE ALSO:
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)