JAKARTA - Dalam sebuah cuplikan video yang baru-baru ini beredar, seorang pria terlihat menyeret satu perempuan ke sebuah ruangan. Beberapa menit kemudian wanita itu jatuh dari lantai dua ke jalanan. Wanita itu bernama Liu Zengyan. Katanya, hanya itu satu-satunya cara agar bisa melarikan diri dari suaminya.
Video itu direkam satu tahun lalu. Saat terbaring di rumah sakit setelah penyerangan, Liu bersumpah akan meninggalkan sang suami untuk selamanya. Sumpah itu diucap Liu dalam kondisi luka di mata, tulang pinggang dan rongga dada yang patah, serta kelumpuhan sementara di tubuh bagian bawah.
Ironis, sebab pengadilan mengatakan "tidak." Kasus Liu memicu debat nasional tentang dua masalah terbesar yang dihadapi perempuan di China: kekerasan dalam rumah tangga dan kesulitan mendapatkan keadilan dalam sistem hukum.
Masalah Liu dimulai sekitar satu tahun setelah pernikahannya pada 2017. Sang suami, Dou Jiahao adalah kekasihnya di masa SMA. Mereka menikah di Shangqiu, kota berpenduduk lebih dari tujuh juta orang. Selama masa pacaran, Dou memperlakukan Liu dengan sangat baik. Kemudian pada April 2018, Dou kehilangan uang akibat bermain judi. Dou memukuli Liu ketika pulang.
“Itu pertama kali. Saya tidak menelepon polisi karena saya tidak menggolongkan perilaku tersebut sebagai KDRT,” ujarnya. “Saat itu, frasa 'kekerasan dalam rumah tangga' belum terpatri di benak orang.”
Liu meninggalkan Dou selama lebih dari sebulan. Kemudian Dou meminta maaf dan meminta Liu untuk menerimanya kembali. Liu berkata dia memutuskan untuk tinggal bersamanya karena putra mereka yang sekarang hampir berusia 3 tahun.
Pada Juli 2019, Liu mengeluh kepada ibu mertuanya bahwa Dou tidak pulang sepanjang malam karena bermain kartu. Orang tua Dou kemudian memberi nasihat kepadanya. Dou tidak terima dengan aduan tersebut. Ia marah dan menampar serta meninju Liu. Setelah kejadian itu, Liu berkata, dia membuka Zhihu. Zhihu adalah situs web yang memungkinkan pengguna untuk bertanya dan menjawab pertanyaan, dan mencari apa ciri-ciri kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam daftar, Liu melihat semua hal yang telah ia alami, seperti dicekik pasangan selama pertengkaran, mendengar sang suami mengatakan ingin dirinya mati, hingga mengancam anggota keluarga lain. Meski tak merasa memiliki cukup bukti untuk melapor ke polisi, Liu memutuskan sudah waktunya untuk mengakhiri pernikahan. Tetapi, sebelum dia bisa melakukan itu, pemukulan ketiga terjadi.
Pada Agustus 2019, Dou sangat marah setelah sang ibunda memarahinya di depan teman-temannya karena berjudi. Sang ibu khawatir tentang betapa marahnya Dou dan memperingatkan Liu untuk mengunci pintu dan cepat melarikan diri.
Liu lalu kabur ke tempat ibu kandungnya malam itu. Tetapi, enam hari kemudian, Liu kembali ke butiknya, mengira suaminya sedang keluar kota. Sebaliknya, Dou ada di situ. Ia menyerbu Liu, mendorong, menampar, merampas ponselnya dan berkata akan membunuh Liu. Satu-satunya cara untuk menghentikan pemukulan adalah dengan melompat keluar jendela. Liu pun mendarat di tanah dengan sangat keras.
ekaman video dari kamera keamanan menunjukkan Dou berjalan keluar dan melihat dengan bingung ke jendela di lantai atas saat orang yang lewat yang terkejut mencoba membantu Liu. “Anda dapat melihat bahwa dia hampir menjadi psikopat,” kata Liu yang menggunakan kursi roda saat dia pulih. "Dia memukuli saya untuk memenuhi keinginan akan kekerasan."
Ketidakadilan untuk Liu
Hanya dalam beberapa tahun terakhir kekerasan dalam rumah tangga dilihat sebagai masalah yang signifikan di China. Sebagian besar undang-undang (UU) dibuat dan ditegakkan untuk laki-laki. Bahkan keluarga tidak disarankan mengungkap masalah mereka di depan umum.
Beberapa kasus terkenal telah menarik perhatian pada masalah ini. Satu kota di China, baru-baru ini mulai mengizinkan orang untuk memeriksa riwayat pasangannya, apakah memiliki riwayat kekerasan sebelum menikah.
Tetapi para korban seringkali menemui hambatan dalam sistem hukum. Hambatan yang dapat membuat mereka enggan mencari bantuan. Meski UU perkawinan di China menetapkan bahwa kekerasan rumah tangga adalah alasan yang cukup untuk perceraian, banyak pengadilan mendorong pasangan untuk mencoba berdamai atas nama keharmonisan sosial dan keluarga.
Akar permasalahan, menurut para aktivis adalah anggapan di kalangan aparat kepolisian dan pengadilan bahwa perceraian itu buruk dan perkawinan adalah fondasi masyarakat. “Perceraian dianggap sebagai kegagalan pribadi, bukan sebagai obat untuk hidup seseorang,” kata Feng Yuan, salah seorang aktivis.
Setelah pemukulan ketiga, mertua Liu mencoba membujuknya untuk tetap berdamai dengan Dou. Liu dijanjikan sebuah mobil dan apartemen. Liu menolak. Keluarga Dou pun berhenti membayar biaya pengobatan Liu sejak Maret.
Belas kasihan dari pihak kepolisian pun tidak didapat oleh Liu. Kepolisian menyatakan luka-lukanya hanyalah karena ia terjatuh. Pihak forensik mengklaim bahwa Dou hanya bertanggung jawab untuk luka mata kirinya.
Antiperceraian
Dikutip The New York Times, Kamis, 17 September, Liu mengajukan gugatan cerai di pengadilan Zhecheng, Provinsi Henan. Ia menunjukkan video pemukulan di butik sebagai bukti. Pengadilan menolak permintaannya. Alasannya, Dou tidak setuju dengan perceraian. Liu pun dipaksa menjalani mediasi dengan Dou. Liu juga diberitahu bahwa dia tidak bisa bercerai ketika kasus pidana terhadap suaminya masih tertunda.
“Tidak pernah terpikir oleh saya bahwa pengadilan tidak bisa langsung memberi saya cerai pada sidang pertama,” kata Liu.
SEE ALSO:
Dalam upaya menekan pengadilan, Liu mengunggah video pemukulannya ke WeChat, platform media sosial yang dominan di China. Ribuan pengguna internet China mendukung pembelaannya. Tagar tentang kasusnya dilihat lebih dari satu miliar kali. Wawancara media berita pun mulai berdatangan.
Tak lama kemudian, seorang hakim menelepon Liu. Hakim itu mengatakan bahwa Liu tidak perlu mediasi dan pengadilan akan segera mengeluarkan putusan. Pada 28 Juli, tiga pekan setelah Liu merilis video, Liu dinyatakan bercerai dengan Dou.
“Saya sangat senang,” kata Liu, yang sedang bersiap untuk membuka kembali butiknya setelah direnovasi. "Saya akhirnya mendapatkan apa yang saya inginkan."
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)