JAKARTA - China tidak akan membutuhkan program vaksinasi COVID-19 massal. Alasannya, wabah secara efektif terkendali di negara tersebut. Untuk saat ini, setidaknya. Hal itu disampaikan Kepala Pencegahan Penyakit China.
Gao Fu, Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China, mengatakan bahwa vaksinasi skala besar untuk COVID-19 diperlukan jika wabah di suatu daerah begitu besar, seperti yang terjadi di Wuhan. "Ini adalah masalah menyeimbangkan antara risiko dan keuntungan," kata Gao.
Melansir SCMP, Senin, 14 September, Gao mengatakan akan sia-sia untuk memvaksinasi semua orang. Hal tersebut dikarenakan COVID-19 sebagian besar telah berhasil dikendalikan, bahkan mencapai nol kasus di perbatasan China.
China melaporkan sepuluh kasus baru COVID-19, yang mana semuanya adalah kasus impor. Gao juga mengatakan kloter pertama penerima vaksin harus diberikan kepada petugas medis dan pencegahan epidemi garis depan. Pemberian vaksin lalu diikuti oleh staf keamanan, petugas kebersihan, petugas katering dan pegawai negeri yang bekerja di tempat-tempat ramai.
Meski demikian, Gao juga memberikan catatan yang penting. Jika terjadi lagi wabah besar seperti yang terjadi di Wuhan, maka harus ada vaksinasi besar-besaran terhadap warga.
Sekitar 200 kelompok peneliti medis di seluruh dunia sedang mengerjakan vaksin COVID-19. Pengembang vaksin di China mengejar empat jenis teknologi yaitu protein inaktif, vektor virus, mRNA, dan rekombinan. Beberapa pengembang sedang mempersiapkan produksi massal meski calon vaksin masih menjalani uji klinis.
Sebelumnya, pemerintah China mengatakan bahwa mereka telah menginokulasi ratusan ribu orang di bawah aturan 'otorisasi penggunaan darurat' dengan tiga kandidat vaksin. Kandidat tersebut telah menyelesaikan uji coba Fase 1 dan 2, dan mengatakan sejauh ini tidak ada efek samping. Pada Juli, Gao juga ikut disuntik salah satu kandidat vaksin untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap penelitian tersebut.
Sementara epidemi telah berkurang, COVID-19 belum sepenuhnya diberantas di China. Seorang pasien yang diduga COVID-19 membuat sebuah kota di China yang berbatasan dengan Myanmar, untuk mengunci kompleks perumahan, menurut Global Times. Laporan itu mengatakan penduduk di daerah Aoxing Shiji di Ruili, di provinsi barat daya Yunnan, telah diperintahkan untuk tinggal di rumah untuk mencegah penyebaran COVID-19.
SEE ALSO:
Kemajuan vaksin di China
Dua vaksin yang dikembangkan oleh China National Biotec Group (CNBG), diharapkan memasuki pasar segera pada Desember. Diperkirakan dua suntikan akan menelan biaya kurang dari 1.000 yuan atau sekitar 146 dolar AS atau sekitar Rp2 juta, kata Zhou Song, penasihat hukum umum perusahaan.
CNBG masih menjalani uji coba fase tiga untuk keamanan dan kemanjuran di lebih dari 10 negara termasuk Uni Emirat Arab, Bahrain, Peru, Maroko, Argentina, dan Yordania. Percobaan dilakukan di luar China karena epidemi pada dasarnya telah terjadi dan berhasil dikendalikan di China.
Kedua kandidat vaksin, bersama dengan yang lain yang dikembangkan oleh Sinovac yang berbasis di Beijing, telah disetujui untuk penggunaan darurat sipil. Keputusan tersebut keluar setelah terdapat hasil yang dapat diandalkan dalam uji coba fase 1 dan fase 2.
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)