JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD membenarkan jika pemerintah terkesan gamang dalam menghadapi dampak akibat pandemi COVID-19. Kegamangan ini muncul karena penyebaran virus ini yang terus berubah secara tidak pasti.
"Semua (penanganan COVID-19, red) terbuka meskipun terlihat gamang. Memang tampak gamang," kata Mahfud dalam diskusi SMRC yang ditayangkan secara daring, Minggu, 23 Agustus.
Meski gamang, namun, Mahfud mengatakan pemerintah tidak asal bekerja. Menurut dia, semua keputusan yang diambil pemerintah telah berdasarkan dengan kajian berdasarkan metodelogi maupun data terkait penyebaran COVID-19.
Setidaknya, sambung dia, ada empat metodelogi yang digunakan oleh instansi yang berbeda-beda dalam perumusan kebijakan.
"Ada empat metodelogi berdasarkan data lapangan. Misalnya, metodelogi satu yang digunakan oleh Menko Perekonomian, kedua yang digunakan oleh Gugus Tugas oleh Pak Doni Monardo, ketiga yang dipakai oleh LIPI, keempat yang digunakan Bappenas," ujarnya.
Kegamangan ini, kata Mahfud, muncul karena sikap masyarakat itu sendiri. Menurut dia, masyarakat kerap berbeda pendapat terkait masalah kebijakan. Padahal kebijakan ini, kata dia, diolah berdasarkan data.
"Data yang diolah itu tetap menimbulkan kegamangan karena di masyarakat ini juga kontroversial. Misalnya, dulu soal PSBB, karantina wilayah, atau soal mudik. Itu kan masyarakatnya sendiri, sosiolognya berbeda-beda," ungkapnya.
"Ada yang bilang bahaya kalo mudik. kemudian ada yang bilang lagi kalau tidak mudik itu lebih bahaya dan macem-macem.Masyarakat gitu, dokternya juga gitu. Bilang COVID penyakit biasa, tapi ada yang bilang jangan main-main dengan COVID. Itu dokter juga. WHOnya juga gitu," imbuh eks Ketua Mahkamah Konstitusi ini.
Sehingga, jika kemudian pemerintah terlihat gamang, menurut dia hal yang wajar. Namun, dia menegaskan segala kebijakan yang diambil telah sesuai data dan dirapatkan secara intensif. Bahkan dirinya menyebut, ketika awal pandemi COVID-19 terjadi di Indonesia, setidaknya dalam sehari ada dua hingga tiga rapat untuk membahas persoalan ini.
Lebih lanjut, Mahfud kemudian mengapresiasi hasil survei SMRC. Dia merasa yakin, tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah masih tinggi karena kinerja mereka selama ini.
"Pada umumnya masyarakat yang waras itu memberi kepercayaan, ya memang itu yang dilakukan," katanya.
"Karena di masyarakat itu ada yang selalu apapun yang dilakukan pemerintah itu salah. Begini salah, begitu salah. Sehingga pemerintah dihadapkan pada situasi yang dilematis," tambahnya.
SEE ALSO:
Diketahui, Saiful Mujani Research dan Consulting (SMRC) merilis hasil survei terbaru terkait kondisi demokrasi di masa pandemi COVID-19. Hasilnya, sebanyak 65 persen responden mengaku puas dengan kinerja pemerintah pusat menghadapi pandemi ini.
"Mayoritas 65 persen menyatakan puas terhadap pemerintah pusat terhadap pemerintah pusat menangani COVID-19," kata pendiri SMRC, Saiful Mujani dalam konferensi pers yang ditayangkan secara daring, Minggu, 23 Agustus.
Saiful kemudian memaparkan berdasarkan survei yang dilakukannya pada 12 Agustus hingga 15 Agustus tersebut terdapat 59,5 persen responden yang cukup puas dengan kinerja pemerintah pusat dan 5,2 persen yang mengaku sangat puas.
Selain itu, terdapat 28,6 persen responden yang mengaku kurang puas dan 4,6 persen yang mengaku tidak puas sama sekali.
Sementara itu, survei ini juga mencatat sebanyak 60 persen responden merasa puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan 7,4 persen merasa sangat puas. "Mayoritas warga sekitar 67 persen merasa puas dengan kerja Presiden," ujar dia.
Namun, untuk angka ketidakpuasan mencapai 27,4 persen dan tidak puas sama sekali berada di angka 3,1 persen.
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)