JAKARTA - Sampul Koran Tempo mendapat kecaman publik karena dianggap melecehkan lambang negara. Pasca reformasi, kasus pelecehan lambang negara Indonesia sudah beberapa kali terjadi. Lantas apakah seseorang maupun lembaga yang melecehkan lambang negara dapat dikenakan sanksi?
Koren Tempo edisi Senin 31 Agustus memuat ilustrasi lambang negara Indonesia, burung garuda seperti sedang dalam pesakitan. Ilustrasi itu memperlihatkan burung garuda tengah kepayahan karena diserang virus corona baru penyebab penyakit COVID-19.
Pandemi belum juga bisa ditangani. Tingkat positif sampel uji usap kembali meningkat. Ruang perawatan rumah sakit rujukan di berbagai kota pun kian padat. Ditengarai akibat aktivitas masyarakat yang mulai normal, termasuk ramainya masa liburan. https://t.co/Gg9vX3lMUH pic.twitter.com/brYxVMoDMU
— Koran Tempo (@korantempo) August 31, 2020
Hal itu ternyata memicu reaksi publik. Bahkan Politisi Partai Demokrat Ferdinand Hutahean lewat akun media sosial Twitternya menyebut Tempo telah melakukan pelecehan pada lambang negara.
"Min, covermu tidak menghargai lambang negara kita yaitu Garuda. Seenaknya membuat Garuda seperti pesakitan adalah bentuk pelecehan pada lambang negara kita. Anda tidak suka pemerintah boleh saja, tapi jangan hinakan lambang negara kita," tulisnya.
Min, covermu tdk menghargai lambang negara kita yaitu Garuda. Seenaknya membuat Garuda seperti pesakitan adalah bentuk pelecehan pada lambang negara kita. Anda tdk suka penerintah boleh saja, tp jgn hinakan lambang negara kita.#tempomediasampah
— Ferdinand Hutahaean (@FerdinandHaean3) August 31, 2020
Kritikan juga datang dari pemilik akun @yssrck. Ia mengatakan jika hanya burung garuda saja masih bisa dimaklumi. Namun yang Tempo lakukan ini adalah mengilustrasikan burung garuda lengkap dengan atribut yang ada pada lambang negara yakni simbol-simbol Pancasila. "Logo lembaga/perusahaan/institusi aja enggak bisa seenaknya diubah, apalagi lambang negara," protesnya.
kalo hanya "burung garuda" aja masih bisa dimaklumi, tapi yg Tempo ilustrasikan itu burung garuda lengkap dengan atribut pada lambang negara mas, nggak bisa dibenarkan juga menurut saya.
logo lembaga / perusahaan /institusi aja nggak bisa seenaknya diubah, apalagi lambang negara. pic.twitter.com/76zjPQuzqd
— 𝖓𝖆𝖒𝖊𝖈𝖆𝖓𝖓𝖔𝖙𝖇𝖊𝖇𝖑𝖆𝖓𝖐 (@yssrck) August 31, 2020
Bukan pertama kali
Kasus pelecehan lambang negara bukan barang baru di negara ini. Kasus pelecehan lambang negara pertama kali mencuat pasca reformasi dilakukan oleh artis Zaskia Gotik pada Maret 2016.
Dalam sebuah acara di salah satu stasiun televisi swasta pemilik goyang itik itu menyampaikan, jika lambang sila kelima adalah bebek nungging. Padahal lambang sila kelima merupakan padi dan kapas.
Akibatnya, sejumlah netizen mencibir Zaskia telah melakukan penghinaan terhadap lambang negara Indonesia. Pada saat menggelar patroli cyber, Subdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya melihat dan membaca keluhan serta keresahan masyarakat itu dan meresponnya dengan membuat laporan polisi tipe A.
Menurut CNNIndonesia Zaskia diduga melanggar Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. Selain itu, ia akan dikaitkan ke Pasal 158 KUHP.
Beruntungnya, Zaskia tidak dijebloskan ke dalam penjara. Ia malah digandeng DPR sebagai Duta Pancasila.
Selain Zaskia, pria asal Toba Samosir, Sahat Safiih Gurning juga tersandung kasus yang sama. Namun bedanya, karena bukan publik figur, konsekuensi hukum tetap harus ia jalani.
Sahat meringkuk di penjara selama lima tahun sejak 2016. Ia diadili karena mengubah Pancasila menjadi Pancagila dalam akun Facebook-nya.
Mengutip Detik, Sahat kedapatan memasang foto dirinya menendang Burung Garuda Pancasila dengan kaki kanan di akun Facebook miliknya. Tidak hanya itu, Sahat dalam akun Facebook itu juga menuliskan 'Pancasila itu hanya lambang negara mimpi, yang benar adalah Pancagila'. Sahat mendefinisikan Pancagila yaitu:
1. Keuangan Yang Maha Kuasa.
2. Korupsi Yang Adil dan Merata.
3. Persatuan Mafia Hukum Indonesia.
4. Kekuasaan Yang Dipimpin oleh Nafsu Kebejatan Dalam Persengkongkolan dan Kepurak-purakan.
5. Kenyamanan Sosial Bagi Seluruh Keluarga Pejabat dan Wakil Rakyat.
Atas perbuatannya, Sahat diadili di PN Balige. Ia didakwa melakukan Pasal 68 UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta lagu Kebangsaan jo Pasal 154 huruf a KUHP. Pasal 68 UU No 24/2009.
Dalam pasal itu tertulis: Setiap orang yang mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta. Hal ini membuktikan menghina atau melecehkan lambang negara memang memiliki konsekuensi hukum.
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)