Epidemiolog: Pembatasan Berskala Mikro Tak Lagi Efektif Kalau Diterapkan Saat Ini
JAKARTA - Permintaan Joko Widodo (Jokowi) agar daerah menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM) atau intervensi berbasis lokal, dinilai epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman tak lagi efektif jika dilakukan saat ini khususnya di wilayah DKI Jakarta.
Menurutnya, penerapan PSBM atau intervensi berbasis lokal ini harusnya dilakukan sejak awal ketika kasus COVID-19 terjadi bukan ketika kasus harian sudah mencapai angka ribuan.
"Tidak tepat kalau dikatakan lebih efektif (PSBM, red). Karena strategi ini hanya efektif pada situasi wabah yg relatif terkendali atau di positivity rate lima pesen ke bawah," kata Dicky saat berbincang dengan VOI, Selasa, 15 September.
Sementara di DKI Jakarta, berdasarkan keterangan tertulis dari Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Dwi Oktavia, tercatat positivity rate atau perbandingan jumlah orang yang positif dengan orang yang dites selama sepekan terakhir sebesar 15,7 persen dan persentase kasus positif secara total sebesar 7,3 persen.
Sehingga, berkaca dari jumlah positivity rate yang berada di atas standard World Health Organization (WHO) tersebut atau berada di atas angka lima persen maka sudah tepat jika Anies kembali memberlakukan PSBB seperti di awal.
Jika nantinya positivity rate ini menurun dengan pemberlakuan PSBB tersebut, maka, pembatasan mikro atau komunitas tersebut bisa kembali diterapkan. Lagi pula, di awal pandemi COVID-19 ini terjadi, cukup banyak komunitas atau lingkup masyarakat di RT/RW maupun kelurahan melakukan pembatasan berskala mikro secara sukarela.
"Tapi ya kalau kondisinya sudah seperti ini, di mana wabah sudah terjadi ya enggak efektif," tegasnya.
"Jadi kalau mau kembali melakukan PSBM setidaknya ditekan dulu positivity ratenya di kisaran lima persen ke bawah. Itu juga yang dilakukan oleh negara lain saat ini," imbuhnya.
Sebelumnya, dalam rapat terbatas bersama Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional meminta agar kepala daaerah tak asal menutup daerahnya di tengah pandemi COVID-19. Dia meminta, semua keputusan yang diambil harus berbasis data yang ada.
"Sekali lagi jangan buru-buru menutup sebuah wilayah, menutup kota, kabupaten dan kita bekerja itu berbasiskan data," katanya ketika membuka rapat tersebut seperti disiarkan di YouTube Sekretariat Presiden, Senin, 14 September.
Eks Gubernur Jakarta ini juga meminta agar kepala daerah lebih menerapkan strategi intervensi berbasis lokal atau yang biasa disebut sebagai Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM) di tingkat RT/RW, Desa, hingga kampung.
Alasannya, dengan penerapan strategi intervensi semacam ini maka penanganan dalam menghadapi penyebaran COVID-19 bisa dilakukan secara fokus dan detail. Sesuai dengan keadaan daerah-daerah yang ada.
"Penanganannya tentu saja jangan digeneralisir. Di sebuah kota atau di kabupaten sama. Tidak di semua kelurahan, tidak semua desa, kecamatan mengalami hal yang sama merah semuanya. Ada yang hijau, ada yang kuning dan itu memerlukan treatment dan perlakuan yang berbeda," tegas Jokowi.
"Oleh sebab itu, sekali lagi strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi pembatasan berskala lokal penting untuk dilakukan. Baik itu manajemen intervensi yg dalam skala lokal, atau komunitas," imbuhnya.
Pernyataan senada juga pernah disampaikan oleh Jokowi lewat Juru Bicara Kepresidenan, Fadjroel Rahman. Setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memutuskan untuk mengganti PSBB transisi dengan PSBB ketat di awal, Fadjroel menyebut, Presiden Jokowi lebih menyebut pembatasan mikro atau berbasis komunitas lebih manjur.
Hal ini, kata Fadjroel, disampaikan langsung oleh Jokowi saat dia dia melaksanakan pertemuan dengan pemimpin redaksi sejumlah media di Istana Kepresidenan Bogor, Kamis, 10 September lalu.
"Saya ikut mendampingi Presiden kemarin. Beliau menekankan, berdasarkan pengalaman empiris sepanjang penanganan COVID-19, pembatasan sosial berskala mikro atau komunitas ini lebih efektif untuk menerapkan disiplin protokol kesehatan," kata Fadjroel dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Jumat, 11 September.
SEE ALSO:
Beda PSBB DKI Jakarta Sekarang dengan PSBB April Lalu
Terkait pelaksanaan PSBB yang berlaku per Senin, 14 September hingga dua pekan ini, terdapat sejumlah perbedaan dengan sebagian regulasi yang diterapkan ketika PSBB pertama kali dilakukan di DKI Jakarta. Pertama, terkait pembatasan kegiatan perkantoran. Sama seperti PSBB sebelumnya, ada 11 sektor usaha esensial yang tetap boleh beroperasi di kantor dengan menerapkan protokol kesehatan.
Kesebelas sektor ini adalah kesehatan, bahan pangan, energi, komunikasi dan teknologi informasi, sistem keuangan, logistik, perhotelan, konstruksi, industri starategis, pelayanan dasar, dan fasilitas kebutuhan sehari-hari.
Dalam PSBB pertama pada April lalu, perkantoran swasta nonesensial yang tak termasuk dalam 11 sektor tersebut diwajibkan bekerja dari rumah seluruhnya. Namun, pada PSBB kedua, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membolehkan beroperasi dengan batas maksimal karyawan 25 persen.
"Apabila sebagian pegawai harus bekerja di kantor, pimpinan perusahaan swasta kategori nonesensial wajib membatasi paling banyak 25 persen pegawai berada dalam tempat kerja dan dalam waktu bersamaan," kata Anies, Minggu, 13 September.
Kedua, terkait dengan rumah ibadah. Saat PSBB awal, semua tempat ibadah ditutup. Masyarakat diwajibkan beribadah dari rumah. Sedangkan dalam PSBB yang berlaku saat ini, ada beberapa penyesuaian kegiatan di tempat ibadah. Tempat ibadah yang hanya digunakan masyarakat setempat masih dibolehkan dibuka dengan kapasitas 50 persen.
"Tapi, tempat ibadah yang dikunjungi peserta dari berbagai lokasi dan tempat ibadah di zona merah itu tidak diizinkan untuk beroperasi," ucap Anies.
"Jadi, misalnya masjid raya itu harus ditutup dulu, tapi tempat ibadah di komunitas bisa tetap dijalankan," lanjut dia.
Ketiga, terkait mobilitas kendaraan pribadi. Saat PSBB awal, maksimal penumpang hanya 50 persen dari kapasitas kursi. Saat ini, kendaraan pribadi boleh diisi dengan ketentuan maksimal 2 orang per baris kursi dan sepenuhnya bisa digunakan jika diisi satu keluarga yang tinggal bersama.
Keempat, terkait dengan pengoperasian ojek online. Saat PSBB sebelumnya, Anies melarang ojol membawa penumpang. Namun, kini ojol bisa mengangkut penumpang seperti masa PSBB transisi. "Motor berbasis aplikasi diperbolehkan untuk mengangkut barang dan penumpang dengan menjalankan protokol Kesehatan yang ketat," ungkap Anies.
Kelima, terkait dengan pembatasan pergerakan masuk dan keluar Jakarta. Saat PSBB April lalu ada pembatasan berupa pengurusan surat izin keluar-masuk (SIKM). Namun, saat ini SIKM ditiadakan.
Selain perbedaan yang telah disebutkan, regulasi lainnya masih sama dengan penerapan PSBB awal. Tempat hiburan, rekreasi, taman kota, dan RPTRA kembali ditutup. Akad nikah hanya di KUA dan kantor catatan sipil.
Restoran, rumah makan, dan kafe dilarang menyajikan makanan di lokasi atau dine-in, hanya diperkenankan melayani pesan antar atau makanan dibawa pulang.
Kemudian, kegiatan olahraga hanya dilakukan di sekitar rumah dan tidak ada car free day (CFD). Kegiatan pendidikan juga belum dibuka. Serta, mobilitas angkutan umum massal beroperasi maksimal 50 persen penumpang.
Penerapan PSBB ini diatur dalam 3 peraturan gubernur (pergub). Pertama, Pergub Nomor 33 Tahun 2020 soal PSBB yang diterapkan April lalu. Kedua, Pergub DKI Nomor 79 mengenai sanksi pelanggaran PSBB. Ketiga, Pergub Nomor 88 Tahun 2020 yang mengatur sejumlah perubahan dalam pergub PSBB sebelumnya.