Pajak Karbon Bagi PLTU Dinilai Tak Realistis Tekan Emisi di Tengah Surplus Listrik, Pemerintah Perlu Turunkan Target Produksi
Ilustrasi (Foto: Dok. Kemenkeu)

Bagikan:

JAKARTA - Ekonom dari Institute of Development of Economics and Finance (INDEF) Arba Talattov mengatakan pemerintah harus mencari jalan keluar untuk mengatasi surplus listrik nasional. Menurut dia, hal tersebut perlu dilakukan agar tidak terjadi ketimpangan kebijakan atas rencana pemberlakuan pajak karbon bagi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

“Selama sembilan tahun terakhir sektor kelistrikan kita mengalami surplus kurang lebih sebesar 25 persen. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi pada produksi emisi yang dihasilkan. Jadi pemerintah tidak hanya fokus untuk pajak karbon tetapi juga bagaimana meningkatkan permintaan maupun konsumsi listrik supaya surplus ini semakin menipis,” ujarnya dalam sebuah webinar beberapa waktu lalu.

Disebut Arba jika cara lain untuk menekan surplus setrum adalah dengan pembaharuan kebijakan maupun jumlah incaran yang ingin dicapai.

“Cara kedua adalah dengan mengurangi target produksi listrik di dalam RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik). Nah ini akan memiliki dampak signifikan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di sektor kelistrikan,” tuturnya.

Berdasarkan data yang dipaparkan oleh Arba, biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik adalah sebesar Rp1.348 per kWh (2020), maka over supply yang terjadi pada tahun lalu mengakibatkan pemborosan senilai Rp120 triliun yang harus ditanggung PLN. Adapun, kompensasi listrik pada APBN 2020 adalah sebesar Rp19,9 triliun.

“Jadi bukan hanya di hilir mengenakan pajak karbon, tetapi disisi hulunya pemerintah juga harus fokus bagaimana bisa memproyeksikan suplai listrik sesuai dengan kebutuhan. Pajak karbon ini adalah kebijakan adanya di hilir, pemerintah seharusnya bisa mengarahkan langkah yang tepat di sisi hulunya, yaitu bagaimana produksi listrik itu sendiri,” jelas dia.

Asal tahu saja, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan bahwa energi fosil masih menjadi penyokong utama pembangkit listrik di Indonesia dengan persentase 85,3 persen. Dari angka tersebut PLTU menjadi yang terbanyak membakar batu bara dengan kontribusi 49,6 persen nasional.