Agus Martowardojo Ungkap Masa-Masa Sulit Bank Mandiri saat Krisis 1998 Rugi Rp124 Triliun, tapi Sekarang Labanya Rp12,5 Triliun
Agus Martowardojo. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Mantan Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Agus Martowardojo menceritakan tentang masa-masa sulit awal berdirinya bank pelat merah tersebut pada periode 1998 - 1999.

Pada 2 Oktober 1998, Bank Mandiri didirikan untuk menerima penggabungan empat bank, yaitu Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor Indonesia, dan Bank Pembangunan Indonesia.

"Saat itu, kondisi sedang krisis, total kerugian empat bank yang bergabung ke Bank Mandiri mencapai Rp124 triliun," ujar mantan Gubernur Bank Indonesia ini saat menerima penghargaan lifetime achievement Bank Mandiri, dalam rangkaian HUT ke-23 perseroan, dikutip Minggu 3 Oktober.

Lebih lanjut Agus menuturkan, pada 1999 atau tepatnya saat legal merger, masih ada kerugian yang diderita perseroan sebanyak Rp68 triliun. Beruntung, negara memutuskan untuk melakukan merger dan memberi suntikan modal sebesar Rp174 triliun kepada Bank Mandiri pada 1999.

"Kami bersyukur sekarang pada hari ulang tahun bank mandiri ke-23. Kalau kita lihat tahun 1998-1999, total aset Bank Mandiri hanya Rp240 triliun, sekarang, total aset Bank Mandiri Rp1.600 triliun, sudah berlipat-lipat,” jelas Agus.

Sejak didirikan, kinerja Bank Mandiri senantiasa mengalami perbaikan terlihat dari laba yang terus meningkat dari Rp1,18 triliun pada 2000 hingga mencapai Rp5,3 triliun di tahun 2004. Sampai dengan semester I 2021, perseroan membukukan laba bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp12,5 triliun atau tumbuh 21,45 persen secara tahunan (year on year/yoy).

Pertumbuhan laba terutama didukung oleh pendapatan bunga bersih sebesar 21,50 persen yoy menjadi Rp35,16 triliun. Selain itu, pendapatan berbasis jasa (fee based income) yang tumbuh 17,27 persen yoy menjadi Rp15,94 triliun, turut menopang pertumbuhan laba.

Adapun penyaluran kredit naik 16,37 persen secara tahunan menjadi Rp1.014,3 triliun, sedangkan dana pihak ketiga (DPK) naik 19,73 persen secara tahunan menjadi Rp1.169,2 triliun. Dari total DPK, komposisi dana murah sebesar 68,49 persen atau mencapai Rp800,8 triliun.