Bagikan:

JAKARTA - Harga minyak tergelincir sekitar dua persen pada akhir perdagangan Senin waktu setempat (Selasa 21 September pagi WIB), karena investor semakin menghindari risiko, yang merugikan pasar saham dan mendorong dolar AS lebih kuat, membuat minyak lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.

Dilansir dari Antara, minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman November anjlok 1,42 dolar AS atau 1,9 persen, menjadi menetap di 73,92 dolar AS per barel setelah sempat tenggelam ke terendah sesi di 73,52 dolar AS.

Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Oktober terpuruk 1,68 dolar AS atau 2,3 persen, menjadi ditutup pada 70,29 dolar AS per barel setelah sempat jatuh ke level 69,86 dolar AS.

Dolar, dilihat sebagai tempat yang aman, naik karena kekhawatiran tentang solvabilitas pengembang properti China Evergrande menakuti pasar ekuitas dan investor bersiap untuk Federal Reserve mengambil langkah lain menuju pengurangan pembelian aset atau tapering minggu ini.

"Karena dolar AS biasanya merupakan tempat yang aman, nilai tukarnya terhadap mata uang lainnya menguat, sebuah perkembangan yang melengkapi lingkungan penghindaran risiko dan mempengaruhi harga-harga komoditas, terutama minyak," kata analis pasar minyak Rystad Energy, Nishant Bhushan.

"Minyak menjadi lebih mahal untuk pasar non-dolar dan harga mendapat pukulan sebagai akibatnya, sebuah pergerakan bearish yang didukung oleh pasar saham itu sendiri dalam lingkungan penghindaran risiko," imbuhnya

Namun, minyak mendapat dukungan dari tanda-tanda bahwa beberapa produksi Teluk AS akan tetap offline selama berbulan-bulan karena kerusakan akibat badai.

Brent telah melonjak 43 persen sepanjang tahun ini, didukung oleh pengurangan pasokan oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya yang dikenail sebagai OPEC+, dan beberapa pemulihan permintaan setelah keruntuhan akibat pandemi tahun lalu.