Mendag M. Lutfi Blak-blakan Ungkap Tantangan Menjebol Pasar Inggris Pasca Brexit
Menteri Perdagangan, M. Lutfi. (Foto: Dok. Kemendag)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mengaku terdapat sejumlah tantangan yang mesti dihadapi oleh para pelaku usaha nasional untuk memasuki pasar Inggris Raya pasca keputusan negara itu yang keluar dari Uni Eropa (Brexit/British Exit).

“Pasca brexit masih terdapat beberapa tantangan utama bagi Indonesia untuk dapat memasuki pasar Inggris,” ujarnya dalam webinar bertajuk UK SME’s Business Summit 2021 pada Kamis, 29 Juli.

Menurut Mendag, hal tersebut tidak lepas dari keinginan negara Ratu Elizabeth itu untuk mempertahankan kualitas barang dan jasa yang masuk ke negaranya.

“Standar inggris sangat tinggi dan terkadang membutuhkan private certification yang kerap membebani pelaku usaha, terutama UMKM,” tuturnya.

Selain itu, Mendag juga menilai jika pola perdagangan dengan Inggris telah berubah tidak lagi seperti beberapa tahun belakangan ini.

“Beberapa kebijakan perdagangan Inggris pasca brexit juga akan mengalami perubahan dari aturan Uni Eropa sebelumnya. Sehingga, dapat berpotensi menjadi hambatan bagi ekspor Indonesia,” imbuhnya.

Guna mengatasi hal tersebut, pemerintah disebut dia telah berhasil mencapai kesepakatan melalui penandatanganan kontrak kesepahaman pembentukan Komite Ekonomi dan Perdagangan Bersama atau Joint Economic Trade committee (JETCo).

“Diharapkan dengan adanya JETCo dapat membantu mengidentifikasikan dan menghilangkan hambatan bagi ekspor Indonesia dalam memasuki pasar inggris,” tegasnya.

Untuk diketahui, Indonesia dan Inggris telah memiliki hubungan bilateral selama 72 tahun. Pada 2020 Inggris merupakan negara peringkat 22 tujuan ekspor Indonesia, dan juga peringkat 20 sumber impor nonmigas bagi Indonesia.

Total nilai perdagangan kedua negara mencapai 2,2 miliar dolar AS. Dari jumlah itu, Indonesia masih menikmati surplus perdagangan dengan Inggris sebesar 327 juta dolar AS.

Adapun, nilai ekspor ekspor Indonesia ke inggris pada 2020 sebesar 1,28 miliar dolar AS, yang mencakup produk alas kaki (foot wear), produk kayu, furniture, hingga produk CPO dan turunannya.

Terkait