Buka-bukaan Bos Indofarma: 90 Persen Bahan Baku Farmasi Indonesia adalah Impor dari China dan India
Ilustrasi. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Direktur Utama Indofarma Tbk Arief Pramuhanto melakukan pemetaan terkait peluang investasi di industri farmasi pasca pandemi COVID-19. Menurut dia pemetaan ini dilakukan agar mengetahui peluang-peluang mana saja yang bisa digarap.

Arief mengatakan bahwa manufacturing obat sudah terdapat sekitar 4 Badan Usaha Milik Negara (BUMN), 212 perusahaan swasta dan 24 penanaman modal asing (PMA). Sehingga, kata dia, tingkat kompetisinya sudah tinggi. Karena itu, menurutnya, perlu dipetakan secara lebih detail.

"Tadi saya sampaikan kalau seperti wellness itu peluangnya masih besar. Kemudian ada beberapa kelas lain seperti Ken juga masih besar dan pemainnya belum banyak mungkin itu peluang bagi investor yang ingin masuk ke industri manufacturing obat jadi," ujarnya dalam Investor Daily Summit 2021, Kamis, 15 Juli.

Kemudian, kata Arief, peluang jangka panjang industri farmasi akan mengarah pada kebutuhan terhadap obat herbal yang terstandar atau fitofarmaka. Menurut dia, obat-obat herbal yang diproduksi di dalam negeri dapat masuk dalam e-katalog.

"Nanti itu bisa dibiayai BPJS. Ini menarik jadi tidak hanya obat-obat farma yang bisa dibiayai BPJS tetapi obat herbal juga bisa dibiayai BPJS," katanya.

Lalu, lanjut Arief, mengenai bahan baku farmasi. Kata dia, ini bisa menjadi salah satu peluang investasi. Sebab, saat ini Indonesia masih ketergantungan bahan baku farmasi dari China.

"Bagaimana cara kita mengurangi ketergantungan bahan baku farmasi yang 90 persen masih impor baik dari China maupun India. Ini peluangnya masih sangat besar," ucapnya.

Senjatanya, kata Arief, ada pula contact research (CRO) yang membuat banyak klinik trial dilakukan di Indonesia. Menurut Arief, pasar uji klinis dengan bertambahnya industri farmasi ini pasti akan ikut naik.

"Tidak hanya farmasi sebetulnya, kosmetik juga bisa menggunakan CRO," katanya.

Kemudian, kata Arief, peluang selanjutnya adalah produk biologi. Seperti, vaksin, bioteknologi atau antibodi. Karena, sampai saat ini produksinya masih minim di Indonesia.

"Contohnya kalau misalnya vaksin COVID-19 harapannya mungkin vaksin merah putih atau vaksin BUMN harapannya di kuartal I 2022 sudah masuk uji klinis. Sehingga di kuartal II atau III tahun 2022 kita sudah bisa produksi vaksin sendiri. Tidak perlu impor untuk vaksin COVID-19," ucapnya.