OJK: Pelaku Bisnis Sektor Keuangan Perlu Cermati Gerak-gerik Kebijakan The Fed
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Agus E Siregar menilai pelaku bisnis sektor keuangan perlu terus mencermati perubahan sikap atau "stance" bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve terhadap pergerakan pasar ke depan.

"Secara historis, sekitar dua tahun sebelum rencana kenaikan suku bunga, The Fed akan mulai pelan-pelan mengurangi secara bertahap pemulihan likuiditas dari pasar. Indonesia punya pelajaran yang bisa dijadikan acuan, di 2013 kita sudah pernah menghadapi taper tantrum, dan itu memberikan tekanan terhadap pasar keuangan di emerging market," ujar Agus dalam sebuah seminar daring di Jakarta, dikutip dari Antara, Selasa 6 Juli.

Agus menyampaikan, taper tantrum (gejolak keuangan sebagai dampak dari pengurangan pembelian obligasi leh bank sentral AS Federal Reserve) pada 2013 menekan pasar keuangan di negara berkembang, khususnya yang memiliki ketidakseimbangan eksternal tinggi.

Saat ini, keseimbangan eksternal negara-negara berkembang membaik, termasuk The Fragile Five yaitu Turki, Brazil, Indonesia, Afrika Selatan, dan India. Namun, kerentanan baru perlu diperhatikan, terutama apabila memiliki beban pembiayaan yang sudah cukup tinggi.

"Kalau kita lihat Indonesia current account deficit atau CAD-nya dibandingkan PDB, kondisi sekarang lebih baik dibandingkan 2013. Demikian juga beberapa faktor lain. Hanya satu faktor Indonesia yang lebih jelek dibandingkan 2013 yaitu Debt to Service Ratio, tapi ini aspek yang pengaruhnya tidak signifikan," kata Agus.

Pada 2013, defisit neraca transaksi berjalan (CAD) Indonesia mencapai 2,03 persen, sedangkan saat ini berada di posisi 0,36 persen. Inflasi pada 2013 melonjak hingga 8,08 persen, sedangkan saat ini inflasi mencapai 1,68 persen. Porsi kepemilikan asing di Surat Utang Negara (SUN) pada 2013 mencapai 32,5 persen, sedangkan saat ini di posisi 23,8 persen.

Sementara Debt to Service Ratio (DSR) pemerintah pada 2013 mencapai 7,9 persen, sedangkan saat ini lebih tinggi yaitu di posisi 17,4 persen.

"Kondisinya berbeda, sehingga dengan kondisi berbeda itu mudah-mudahan impact dari taper tantrum apabila dilakukan oleh The Fed, tidak terlau bedampak signifikan ke Indonesia namun tetap harus dicermati," ujar Agus.

The Fed sendiri sudah mulai berubah sikap dalam pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) terakhir. Bank sentral AS itu sudah mulai lebih ketat atau hawkish dengan menyatakan akan berencana menaikkan suku bunga acuan Fed Fund Rate pada 2023.

"Jadi kalau taper tantrum itu biasanya dimulai dengan mengurangi pembelian aset-aset baru mulai menaikkan suku bunga. The Fed kan saat ini melakukan kebijakan quantitative easing, melakukan pembelian aset-aset dari sektor riil langsung ke bank sentral dan juga menurunkan suku bunga. Ke depan kalau mereka mulai taper tantrum itu tanda-tandanya The Fed mulai mengurangi pembelian aset-aset dari sektor swasta, baru pada 2023 memikirkan menaikkan suku bunganya," kata Agus.